Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 2.

(Sekarang – Rega Damasatya)

•••

"Terima kasih. Aku tidak bisa membayangkan setakut apa Angelin saat melihatku terkapar di lantai. Mungkin jika tidak ada kau, anak malang itu akan ikut pingsan bersamaku."

Aku tersenyum tulus. "Jangan berterimakasih, Josh. Kau dan Glen sudah banyak membantuku. Sudah seharusnya aku juga berlaku demikian."

Tatapan Josh yang semula dipusatkan padaku dialihkan ke langit-langit kamar, menerawang jauh. Wajah rentanya berubah muram. Dan aku tahu alasannya. Lalu dia menghela napas berat. "Apa sudah terlambat jika aku ingin meminta maaf pada Glen, Damas?"

"Tidak ada kata terlambat."

Josh kembali menghela napas berat.

"Glen tahu kau sangat menyayangi dia," kataku, lagi. "Dan kau juga tahu kalau Glen menyayangimu. Kalian hanya perlu waktu untuk kembali dekat."

"Apa menurutmu sesimple itu? Maksudnya, aku menelantarkan Glen hampir seumur hidupnya. Kita tidak pernah menjadi dekat sampai akhirnya benar-benar berjarak."

"Maaf, Josh. Tapi ada yang perlu aku koreksi dari kalimatmu. Kau bukan menelantarkan Glen, melainkan menitipkannya ke daycare."

Josh mendengkus kecil. Senyum di bibir keringnya terlihat putus asa. "Apa bedanya? Aku yakin Glen lebih suka istilah menelantarkan."

"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?"

"Entahlah," jawabnya, mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Barangkali aku hanya takut menjadi tidak tahu diri."

"Dan itu yang membuatmu merasa malu mendekati Glen?" Aku bertanya hati-hati.

"Mungkin."

Jujur saja, aku tidak pernah ingin ikut campur masalah Josh dan Glen. Bagaimanapun aku adalah orang baru di sini. Namun, diam seolah tidak tahu apa-apa nyatanya lebih sulit. Josh percaya padaku. Dia tidak segan bercerita lebih dulu saat kita sama-sama sarapan di satu meja. Dan aku tidak bisa untuk tidak serius mendengarkannya. Kini agaknya aku sudah masuk terlalu jauh. Hingga di waktu-waktu tertentu, aku merasa harus menjalani peran sebagai penghubung antara Josh dan Glen. Seperti yang beberapa jam lalu aku lakukan.

Semalam, Josh ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku yang sudah setengah lelap dibuat lari tunggang langgang menuruni anak tangga karena jeritan Angelin. Lalu di ambang pintu kamar Josh, aku mendapati pria renta itu dalam pelukan cucunya yang menangis sesenggukan. Sekilas aku seolah melihat Marwah saat keadaan ayah memburuk. Jadi tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Josh ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Belakangan aku sadar jika sweater rajut dan celana khaki-ku sangat tidak pantas dikenakan ke tempat umum. Belum lagi di tengah cuaca dingin begini. Terakhir aku lihat berita, katanya perkiraan salju pertama akan turun pertengahan bulan ini, yang artinya tinggal menghitung hari. Jika Angelin yang tadi pamit untuk mengurus administrasi datang, aku akan langsung pulang. Para tetangga yang cukup dekat dengan Josh pasti sedang menunggu kabarnya. Kawasan tempat tinggal Josh memang rata-rata dihuni lansia. Mereka biasanya berkumpul di halaman samping rumah sambil minum teh di akhir pekan.

"Josh." Dia menoleh, dan aku memberinya senyum ringan. Tidak mau terkesan sok. "Prasangka sering menipu. Bayangan penolakan nyatanya hanya ada di kepalamu. Apa kau tahu, Glen sangat khawatir saat aku bilang kau ada di rumah sakit?"

"Kalau dia khawatir, kenapa dia belum menghubungiku? Oh, bahkan tidak pernah sama sekali."

"Menurutmu kenapa?"

"Dia membenciku."

"Bukan, Josh." Aku menyanggah yakin. "Sebrengsek apa pun seorang anak, dia tidak akan pernah benar-benar membenci orangtuanya. Glen mungkin hanya sedang terjebak dalam prasangka. Sama sepertimu."

Josh terdiam.

"Meski hanya sepintas, aku juga pernah ada di situasi itu."

Ada ketertarikan yang aku tangkap dari cara Josh menatapku.

"Dulu sekali, sekolahku mengadakan sebuah acara dan mengundang wali siswa. Karena aku bersekolah di luar kota, aku menghubungi orangtuaku untuk memberitahunya. Awalnya mereka berkata iya, tapi saat acara itu tiba, mereka tiba-tiba batal datang. Aku kecewa, sangat. Apalagi setelah mendengar alasannya yang ternyata hanya mengada-ngada agar aku tidak khawatir."

"Kau marah pada mereka?"

Kepalaku mengangguk. "Aku bahkan sempat tidak mau menerima teleponnya. Sampai akhirnya ibuku, untuk pertama kali, berkunjung sendirian."

"Apa Ayahmu ...." Josh memandangku was-was. Meski kalimatnya menggantung, aku paham apa yang dia pikirkan.

"Tidak. Ayahku baik-baik saja."

Helaan napas Josh diembuskan penuh kelegaan. "Aku kira. Lalu apa yang terjadi pada Ayahmu?"

"Beliau jatuh sakit dua hari sebelum hari H, dan masih dirawat di rumah sakit ketika Ibu datang. Waktu itu perasaanku lebih hancur dari sekedar anak yang tahu Ayahnya sedang sakit. Amarahku berbalik ke diri sendiri. Kecewaku berubah menjadi rasa bersalah dan malu. Aku meminta maaf pada Ibu sambil tersedu di pangkuannya. Tapi sesudah itu aku masih tidak baik-baik saja. Rasanya seakan aku perlu menghukum diriku."

"Kau sangat menyayangi orangtuamu." Josh tersenyum iri.

"Begitu juga dengan Glen. Aku bisa membayangkan akan sehancur apa dia, jika akhirnya tahu alasan sebenarnya kenapa kau menitipkan dia ke daycare di saat kau sudah tidak ada."

Mata Josh berkedip lambat sebanyak dua kali, pandangannya kembali menerawang. Ada sesuatu yang sukar aku artikan. Aku membiarkannya untuk menit ke sekian agar Josh memiliki cukup jeda.

Pintu di seberang ruangan lantas aku tengok. Sudah lebih dari setengah jam dan Angelin ... Entah ke mana gadis itu. Setahuku, dia hanya perlu tandatangan sebagai wali Josh. Tersesat di gedung rumah sakit pun rasanya tidak mungkin. Maksudnya, ini bukan rumah sakit besar yang memerlukan denah andai seseorang ingin mencari ruangan. Kamar rawat Josh juga di lantai dasar, tak terlalu jauh dengan bagian resepsionis. Apa dia ....

"Damas."

Aku mengalihkan pandang pada Josh yang masih betah menerawang plafon bercat biru pudar ruang rawat.

"Apa kau pernah kesulitan saat harus mengungkapkan perasaanmu, seakan bendaharaan kata di kepala tidak ada yang sesuai untuk menggambarkannya? Atau merasa sesak oleh banyak emosi, tapi tak satu pun mampu kau identifikasi karena hatimu kebas?" Debas napasnya terdengar penuh beban. "Aku tersesat dalam badai pikiranku sendiri, Damas. Sebelum kau datang, aku bahkan sudah akan menyerah dan memilih menunggu badai itu meleburkanku sepenuhnya."

"Dari yang aku lihat, hubunganmu dengan Helen cukup baik."

"Helen dan Jo. Aku dekat dengan keduanya. Mereka menantu yang baik."

Helen adalah istri Glen. Dia sering mengirim makanan untuk Josh. Dan Jo, ayah Angelin, sudah tiga tahun terakhir menetap di Chicago bersama Marta.

"Meski begitu, aku tetap segan untuk sekadar menitip salam untuk anak-anakku."

Josh adalah definisi orang tua yang merasa kehilangan hak atas anaknya. Berdasarkan cerita yang aku dengar, dia menikah di usia muda karena incident, dan kehidupan rumahtangganya tak berjalan baik. Hingga di tahun kelima, mereka memutuskan untuk bercerai. Marta serta Glen ikut bersama sang istri. Lalu beberapa bulan kemudian, istri Josh dikabarkan meninggal akibat kecelakaan, yang membuat hak asuh otomatis beralih tangan. Josh tidak sanggup merawat mereka bukan hanya soal materi, tapi juga kesiapan psikologinya yang belum mumpuni. Dia tidak ingin menyakiti anak-anaknya. Jadi dia pun memutuskan untuk menitipkan mereka. Namun agaknya hanya Glen yang memiliki luka batin paling dalam.

Tiba-tiba Josh tertawa. "Kau pasti ikut pusing dengan masalahku ya?"

Aku tersenyum. Pasti sejak tadi aku bergeming.

"Aku juga kadang bingung kenapa bisa segampang ini terbuka padamu. Mungkin sebab kau adalah orang yang lebih banyak mendengarkan alih-alih berbicara." Josh bergerak menyamankan punggung di brankar yang sengaja setengah di naikan. "Ngomong-ngomong, sudah sejauh apa perkembangan terkait orang yang sedang kau cari, Damas?"

"Masih sama." Aku terkekeh kecil. "Ini lebih sulit dari yang aku bayangkan."

"Aku bisa membantumu jika kau mau. Aku punya kenalan polisi."

"Ehm ...." Bersandar ke belakang, aku melipat tangan di dada. Sengaja bergumam agar tak terkesan menolak Josh mentah-mentah. "Aku rasa tidak perlu, Josh. Aku pikir akan lebih baik jika aku menyelesaikannya dengan tanganku sendiri. Tapi terima kasih sebelumnya atas tawaranmu."

"Kau yakin? Maksudnya, apa istrimu tidak keberatan? Bukankah dia sedang mengandung ... Oh, maaf. Aku pernah tak sengaja mendengar obrolanmu."

"Tidak apa-apa ...."

Derit pintu menginterupsi ucapanku. Aku dan Josh kompak mengalihkan perhatian. Angelin muncul dari sana sambil membawa tas jinjing di salah satu tangan. Gadis itu sempat menatapku sebelum tersenyum pada Josh.

"Bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?" tanyanya, mencium singkat pipi Josh dan duduk di pinggir brankar.

"Ya, tentu saja."

Aku bangkit. "Josh."

Keduanya menoleh.

"Karena Angelin sudah di sini, aku pamit dulu."

"Hati-hati. Terima kasih sekali lagi."

Setelah mengangguk kecil, aku beranjak keluar. Namun baru tiga langkah kakiku terayun menjauhi pintu, Angelin memanggil. Mau tidak mau aku berhenti dan berbalik badan.

"Iya, ada apa?"

"Um ...." Angelin menipiskan bibir, ragu-ragu berbicara. Tangannya saling terjalin di depan badan. Kakinya berjengkit kecil. Lalu entah bagaimana, bibirnya tiba-tiba mendarat di pipi kananku. Aku yang syok hanya mampu tertegun sambil terperanjat tak percaya, bahkan setelah dia mundur satu jengkal sembari tersipu dan berkata, "terima kasih."

Lalu secara ajaib aku seolah bisa melihat Marwah berlari melewatiku. Dia nampak sedang resah. Kepalanya tak henti-hentinya bergerak ke sana ke sini. Kerudung hitam dan gamis merah mudanya nampak mencolok. Kemudian saat dia menoleh dan mata kita bertemu, dadaku mencelos. Dia benar-benar nyata. Eksistensinya bukan sekadar bayangan yang muncul karena aku sangat merindukan dia.

"Marwah." Mulutku menyebut namanya tanpa perintah.

"Hum?" Angelin memegang lenganku. "Kau bilang apa, Damas?"

Oh ... Sial! Perhatian Marwah beralih pada tangan Angelin.

Tbc ...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro