Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 19

(Marwah Syaiqilia–Beberapa bulan lalu)

•••

Setelah baca pesan di hp Mas Rega, jujur aja hatiku langsung kebakar. Imajinasi juga melayang ngebayangin hal yang bukan-bukan. Bahkan sampai su'uzon, mengira kalau dia selingkuhan Mas Rega, dan anak yang dimaksud itu anak mereka. Sayangnya, aku enggak bisa bereaksi apa-apa. Di rumah Mama lagi ada acara, enggak etis kalau aku sama Mas Rega kelihatan enggak akur. Makanya, meski gondok setengah hidup, aku tetap bersikap biasa. Masih bisa senyum dan ketawa pula. Cuma, fisikku enggak bisa dipaksa sejalan. Berawal dari tegang di area perut, mual, lalu kepala nyut-nyutan yang pada akhirnya bikin aku ambruk di depan banyak orang.

Singkatnya, aku dilarang keluar kamar. Dan selagi Mas Rega di bawah, aku putuskan buat nelpon si pengirim pesan, meminta penjelasan. Dia ternyata istri Tomi. Namanya Sarah. Kita ngobrol berjam-jam. Kebanyakan diisi saling sela dan adu argumen, bikin bahasan muter enggak keruan. Terlebih pas dia ngasih statement seolah suamiku yang memang harus bertanggungjawab membereskan masalah kantor. Jadi, aku pun ngajak dia berbicara tatap muka. Tapi alih-alih lega, sesudahnya aku malah galau enggak ketulungan. Mood berantakan.

Pertama, sebab selama ini Mas Rega diam-diam masih nyari Tomi, dan sekarang udah tahu dia ada di mana. Ke dua, Sarah yang aku kira sengak dan angkuh, enggak lebih dari perempuan yang lagi putus asa nyari suaminya. Dia bahkan enggak malu mohon-mohon sambil nangis, minta aku bujuk Mas Rega biar mau bantu dia. Di sana aku masih bergeming. Maksudnya, suamiku udah berbuat banyak demi Tomi. Uang, pekerjaan dan nama baik. Masa iya masih harus repot mikirin nasib anak mereka yang katanya sampai sakit saking kangennya sama si papa ... Enggak. Hati nurani sebenarnya terusik denger itu, ingat aku pas kecil, yang kalau Ayah ke luar kota jadi suka duduk di teras, berharap beliau pulang. Juga ngebayangin seandainya aku ada di posisi Sarah, yang harus bohong setiap kali ditanya, "Ma, Papa mana?" Dan mendadak merasa maklum dengan sikap Sarah yang terus merongrong Mas Rega seakan enggak punya malu.

Udah. Malamnya aku lunas enggak bisa tidur. Bergerak lasak enggak keruan, pening karena isi pikiran berhamburan. Habis subuhnya, Mas Rega langsung ngajuin selusin pertanyaan. Dia yang juga ikut begadang sambil memijat kepalaku jelas enggak bakal diam.

"Jangan bilang enggak ada apa-apa." Tandas Mas Rega selagi aku sibuk nyari alasan. "Sejak pulang dari rumah Mama, aku sudah sadar dengan gelagat kamu. Kalau nanti aku tahunya bukan lewat mulut kamu, aku bisa saja marah ke kamu."

"Kamu mana mungkin marah." Aku pengen ngulur waktu. Beneran belum siap ngomongin ini. Atau lebih tepatnya takut sama feedback-ku nanti. "Kesabaran kamu kan setebal tembok cina ...."

Mas Rega bangkit. Tadi posisinya berbaring di pangkuanku. Sekarang, dia menatap lekat tepat di mata. Aku menelan ludah susah payah. Nyali seketika melempem kayak kerupuk disiram air. Raut serius Mas Rega emang enggak pernah gagal bikin lawan bicaranya terintimidasi. Enggak heran dulu dia cukup disegani meski usianya terbilang paling muda di jajaran para petinggi.

"Aku paling enggak suka kalau kamu sudah mulai nyimpen rahasia."

Bibirku merapat. Duh, kudu gimana ini?

"Mar?" panggilnya, penuh tuntutan. "Kenapa? Soal Mbak Susan?"

Aku agak tersentak karena Mas Rega malah bawa-bawa Mbak Susan. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala. "Bukan, Mas."

"Terus?"

"Ehm ...." Bimbang bukan main. Aku membasahi bibir. Lalu menelan ludah. Rasanya kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. "Kalau aku ngomong, kamu janji mau dengerin sampai selesai? Enggak bakal cubit bibir aku?"

Dia enggak langsung setuju. Wajahku ditelisiknya sedemikian rupa.

"Ini tentang aku ... Oh, ralat. Tentang kita. Aku, kamu dan seseorang."

Alisnya bertaut.

"Temen yang aku temui kemarin, itu Sarah ...." Aku buru-buru membekap mulutnya. Raut terkejut Mas Rega barusan bikin aku enggak yakin dia bakal tahan buat enggak menyela. "Plis, biarin aku jelasin pelan-pelan."

Mas Rega melepaskan tanganku. Agaknya udah bisa nebak ke mana arah obrolan. "Sarah ngomong apa saja ke kamu?"

Enggak ada jaminan Mas Rega bakal luluh sama cerita yang aku sampaikan. Sepanjang apa pun. Tapi, aku tetap melakukannya tanpa menambahi atau mengurangi. Dan selama itu, dadaku berdesir terenyuh. Wajah polos anak Sarah berkelabat. Suaranya saat memanggil "Tante" terngiang jelas. Genggaman jarinya yang lembut dan hangat masih membekas di tangan.

Aku menyelesaikan kalimat bersama air mata yang jatuh, lebih berperan sebagai sesama perempuan alih-alih pihak netral. Aku menyekanya secepat kilat. Berdeham kecil. "Gitu kira-kira."

Mengeluarkan debas berat, Mas Rega mengusap wajah sampai kepala dengan kasar. Mukanya keliatan frustrasi. "Dari awal aku enggak mau Sarah ketemu kamu, Mar. Ini yang aku khawatirkan."

"Mas, bukan gitu." Aku langsung membantah. Tahu banget apa yang lagi dia pikirin. "Kalau aku jadi Sarah, aku juga bakal ngelakuin hal sama. Malah mungkin lebih."

"Tapi, Mar ...."

"Mas, plis."

Mas Rega mendesah.

"Aku kenal kamu. Aku tahu banget kamu sebenernya uring-uringan tiap malam. Enggak henti-hentinya nyari alasan kenapa Tomi bisa nusuk kamu dari belakang. Dia temen kamu. Dulu dia pernah sangat berjasa buat kamu, dan kamu ngerasa hutang budi ke dia. Dan itulah yang bikin kamu milih kayak sekarang. Ngebiarin dia lepas, bebas berkeliaran. Sementara, diri kamu sendiri hancur. Aku tahu semua. Dan aku juga tahu kalau kamu pengen nyusul dia ke Amerika ... Iya, Sarah yang bilang ke aku."

Menggeleng, Mas Rega defensif. "Aku enggak bisa bantu dia."

"Mas." Aku menangkup kedua pipinya. Mata kita bertemu. "Kamu bukan enggak bisa bantu. Kamu cuma menahan diri, enggak mau seolah melakukan sesuatu buat Sarah. Dan yang terpenting, kamu enggak mau ninggalin aku. Tapi, Mas, selama ini kamu enggak pernah terang-terangan nolak permintaan Sarah. Atau sekadar ngasih jawaban iya. Sarah ngerasa digantung, dan akhirnya bersikap lancang karena terdesak keadaan."

Air wajahnya berubah. Tatapan meredup.

"Sekarang, coba tanya ke diri kamu, apa yang benar-benar pengen kamu lakuin? Lupakan soal Sarah. Kesampingkan soal aku."

Mas Rega diam. Dia adalah orang yang bisa sat set sat set soal pekerjaan dan sejenisnya, tapi lambat kalau menyangkut ginian. Beberapa tahun silam, kita bahkan hampir pisah cuma karena dia enggak tahu sama apa yang dimau. Kecenderungan buat mendahulukan orang yang dianggap berharga kadang seolah memblokir hak pribadinya, dan buat dia berpikir kalau keinginannya enggak relevan. Besarnya rasa tanggungjawab terhadap apa-apa aja yang jadi bagiannya juga sering bikin dia kelimpungan. Dan situasi sekarang menempatkan Mas Rega di antara dua hal tersebut.

Sementara, di sisi lain, ego yang memaksanya buat enggak peduli sama perkataan orang luar mengaburkan indikasi ke mana harus menentukan pilihan. Seandainya Sarah bisa sabar dengan enggak minta bantuan ke Mas Rega, peluang Mas Rega bersedia nyari Tomi sedikit lebih besar.

Percayalah. Meski semua permintaanku selalu dia tunaikan, buat yang satu ini, aku enggak punya power sama sekali. Contoh kecilnya kejadian pas sama Uni, yang mana ucapan Mas Rega memang beneran datang dari kesadaran, bukan isapan belaka biar enggak dianggap kegeeran, padahal jelas-jelas dia itu temen aku.

"Mas, kamu orangnya enggak suka dibuat nebak-nebak. Bawaannya resah. Enggak tenang. Sesepele ngambeknya aku, kamu bakal berusaha nyari tahu penyebabnya."

Dia tersenyum tipis. Enggak sampai ke mata. Tanganku diturunkan dari pipinya. "Enggak. Lagipula, enggak harus aku yang bantu dia."

"Justru kalau bukan kamu, misal nyuruh orang buat nyari Tomi, kamu terkesan ngelakuinnya demi Sarah."

"Aku akan buka kasusnya, dan biarkan polisi yang urus."

"Yakin? Kalau sejak awal kamu mau jeblosin Tomi, kamu enggak bakal bertindak sejauh ini."

Lagi, dia diam. Enggak lama, dua anabul masuk kamar. Suara ngeong dari salah satunya mengalihkan perhatian Mas Rega.

"Eh, Cimol."

Begitu aja, dia beranjak menghampiri mereka. Lalu menggendong Cimol---kucing baru kita dan melipir keluar bersama Mochi yang mengekor di belakangnya.

Aku berdecak kesal. Melepas mukenah, dilipat asal-asalan sebelum menyusul Mas Rega.

Di ruang makan, Mas Rega lagi jongkok buat ngambil makanan kucing di kardus di samping kulkas.

"Mas, kita belum selesai." Suaraku sedikit menyentak.

"Enggak ada yang perlu diselesaikan."

"Jangan berkelit."

Enggak ada respon. Mas Rega bangkit, berlalu ngelewatin aku.

"Ngerasa enggak berdaya tuh enggak enak!" Aku hampir berteriak. Muka panas. Mata mulai menggenang. Ih, sebel banget aku kalau tiba-tiba enggak jelas gini.

Mas Rega berhenti melangkah. Posisinya memunggungi.

"Masalah di kantor muncul setelah kamu sering absen dan limpahin kerjaan ke Tomi karena harus ngurus aku yang kecelakaan. Kamu lalai gara-gara aku." Air mata meluruh di pipi, jatuh di ujung dagu. Rahangku mengeras. Fakta yang lagi mati-matian aku sangkal, detik ini meluncur keluar. Oh, ya Allah, rasanya sakit banget. Di saat dengan bodohnya aku marah akibat keputusannya melepas saham dan keluar perusahaan, ternyata aku yang jadi asal muasal munculnya kekacauan. Di saat aku ngira kalau pendapatku enggak didengar, nyatanya enggak demikian. "Mas, aku udah cukup ngerasa bersalah sama itu semua. Jangan ditambahi lagi. Aku enggak mau dianggap beban buat kamu."

Debas napasnya terdengar kasar. Lantas berbalik. Mukanya kentara muak. "Apa harus kita ribut cuma karena ini? Dulu kamu yang sering keberatan saat aku izin nyari Tomi. Bahkan meminta aku melibatkan pihak berwenang untuk turun tangan."

"Dulu aku enggak tahu apa-apa. Sekarang beda. Aku udah tahu semuanya."

"Enggak merubah apa pun. Aku tetap enggak mau pergi. Enggak di saat keadaan kamu begini. Tomi memang temanku. Tapi kamu istriku."

"Mas ...."

"Mar, sudah."

"Kamu enggak ngerti!"

"Enggak ngerti apa?" Dia bertanya enggak habis pikir.

"Rasanya jadi pihak yang enggak punya kontribusi. Pihak yang dijaga kayak kaca. Dan pihak yang tinggal terima beres." Ada kalanya Mas Rega bersikap seolah aku ini rapuh dan butuh perlindungan. Setelah aku hamil, aktifitasku bahkan dia batasi. Istilahnya benevolent sexism. Ya, enggak salah si sebenernya. Tapi, aku yang sejak kecil dilatih buat jatuh dan bangkit sendiri, berdiri di kedua kaki sendiri dan tetep maju meski perempuan sendiri, kadang risi. "Kamu tahu, Mas. Dengan kamu yang begitu, aku kehilangan kepercayaan diri. Lantas mulai bertanya, kira-kira hal apa yang bikin aku pantas bersanding sama kamu yang begitu segalanya?" sambungku, rendah.

Mas Rega tertegun.

"So, biarin aku ngelakuin sesuatu. Sesederhana ngedukung setiap keinginan kamu." Aku mendekat. Membawa satu tangannya ke perutku yang makin kentara di balik baju. "Enggak lama. Cuma sampai mereka berusia 9 bulan. Dan selama itu, aku bisa bayangin kalau aku bakal bangga banget ke diri sendiri. Aku janji, aku bakal turuti apa pun instruksi kamu. Termasuk minum susu. Enggak keberatan ngasih kabar kamu soal perkembangan anak-anak kita setiap minggu."

Tbc ...

Entah kenapa part-nya panjang-panjang. Padahal aku pengen bikin A/N biar enggak terkesan sok kulkas. Wkwkwk. Btw, premisnya emang senyambung ini sama BSP (yang belum baca, mangga melipir ke sana biar lebih paham sama karakter tokoh, alur dan konfliknya)

P.s
Ndak ada yang berubah. Cuma ganti nama tokoh sampingan yang ternyata beda dari yang sebelumnya. (Aku lupa 🥲)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro