Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 18

(Rega Damasatya-Beberapa bulan lalu)

•••

Menutup laptop, aku menghela napas berat. Lantas bersandar punggung ke belakang, menengadah, menatap langit-langit putih rumah. Apa sebaiknya aku terima tawaran kerja dari Kenzie, menikmati jabatan yang aku dapat bukan atas usaha sendiri? Atau istilahnya pemberian orang dalam?

Terhitung dengan yang barusan, sudah ada tujuh perusahaan yang menolak surat lamaran kerja yang aku kirim beberapa minggu ke belakang. Alasannya macam-macam. Namun besar kemungkinan karena termakan berita yang tersebar. Meski conferrensi pers sempat dilakukan oleh PT Sinar Jaya dan pihak yang bersangkutan, nama baikku tetap tidak bisa dipulihkan.

Sebenarnya, masalah ini cukup pelik dan menyita banyak perhatian. Hanya saja, setelah aku menceritakannya secara keseluruhan, Marwah memilih acuh dengan apa pun yang dibicarakan di luaran. Dia juga memintaku demikian, dan melanjutkan hidup seolah tidak ada hal besar.

Bunyi notifikasi terdengar. Aku merogoh saku celana, mengeluarkan gawai. Pesan dari Marwah.

Istriku
Mas, help!

Seketika aku menegakan badan. Jantung kontan berdebar tidak keruan. Dengan tergesa jariku mengetik balasan.

Anda
Mar, ada apa?

Anda
Kamu enggak apa-apa, kan?

Istriku
Masa baru jam segini aku udah laper. Hua!

"Lap ... Ya Allah, Mar." Gerutuku, sedikit kesal. Namun tak ayal menghela napas penuh gelegaan. Demi Tuhan, aku kira sudah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan Marwah benar-benar meminta bantuan. Aku kembali menyandarkan punggung. Ketegangan yang sempat merayap tengkuk perlahan mengendur.

Istriku
Padahal tadi pagi udah sarapan.

Istriku
Dua kali lipat porsi kamu pula.

Istriku
Kalau nanti aku gendut, gimana?

Istriku
Terus pipiku tambah bulet.

Istriku
Saingan sama Mochi.

Istriku
Mas Mas Mas, salah satu efek dari hormon yang menghasilkan asi, itu bikin badan jadi bau. Belum lagi karena skin to skin sama bayi yang suhu badannya anget terus, perempuan bakal cepet keringatan. Fyi, kalori yang terbakar sekitar 300-500 per hari.

Istriku
Kalau aku gitu, kamu bakal gimana?

Istriku
Terang-terangan bilang aku bau? Terus enggak mau deket-deket lagi?

Istriku
(Emoticon nangis)

Aku membiarkannya. Lebih tepatnya menunggu dia menuntaskan apa pun yang ada di kepala.

Istriku
Mas, misal aku lagi ngomel karena anak kita enggak mau makan, apa kamu bakal pura-pura enggak denger dan milih keluar?

Istriku
Misal anak kita nanti jatuh sampai benjol, apa kamu bakal bilang aku ini enggak becus ngurus anak?

Istriku
Kalau aku enggak masak karena repot, apa kamu bakal nyalahin aku dan anggap aku yang enggak bisa bagi waktu?

Istriku
Kalau rumah berantakan, apa kamu bakal diem aja atau inisiatif sendiri buat beresin?

Istriku
Kalau anak kita bangun malem-malem, apa kamu bakal nemenin aku?

Istriku
Aaa, help. Otakku ovt.

Istriku
Mas?

Istriku
Ih, kok diread doang. Hiks.

Anda
Sudah?

Tidak ada balasan. Aku menempelkan gawai ke telinga, melakukan panggilan. Perlu beberapa kali bunyi tut sampai akhirnya mendapat jawaban. Bising di latar belakang menyambutku lebih dulu.

"Kamu ada niatan berubah jadi Marwah yang lain?" tanyaku to the poin.

Aku bisa membayangkan alis Marwah berkerut kebingungan.

"Selagi kamu masih Marwah Syaiqila yang ini, aku akan tetap jadi Rega Damasatya yang kamu kenal." Nada bicaraku santai tapi serius. "Selagi kamu masih istriku, aku akan memenuhi peran, tanggungjawab dan kewajiban sebagai suami kamu. Dan selagi kamu masih menjadi ibu dari anak-anakku, aku adalah partner kamu."

Jika aku ada di sana, barangkali Marwah akan menunduk sambil mengaduk isi gelas menggunakan sedotan. Bibirnya pasti terkatup.

"Kamu percaya enggak kalau sekarang aku pengen nyusul kamu? Percaya kalau aku bilang aku pengen bikin status gini, 'selain berat, rindu juga kurang ajar. Seenaknya saja membuatku tidak betah diam, padahal baru beberapa menit istriku pamit keluar'?" Aku menengadahkan kepala, bertumpu pada bantalan sofa. Mata terpejam. "Kalau jawabannya 'iya', berarti kamu paham. Tapi kalau jawabannya 'enggak', detik ini juga aku jalan buat jemput kamu pulang."

Tak ada sahutan.

***

"Pilihan ortu emang selalu bener."

"Bukan gitu konsepnya, Un," bantah Marwah. "Perjodohan enggak selamanya bakal cocok dan happy ending. Yang gagal juga banyak."

"Kasih paham, Mar." Itu suara Gina.

"Aku nyimak." Hilda, yang paling muda di antara istriku dan dua temannya, nimbrung. Mereka bertiga sedang video call grup.

"Apa yang gue alami ini, menurut gue, itu murni bentuk kasih sayang Tuhan."

"Maksudnya?"

"Gini, Un. Duh, gue juga bingung gimana jelasinnya. Tapi intinya, jodoh itu termasuk takdir yang bisa diupayakan. Salah satunya dengan doa orang tua. Ortu gue selalu minta sama Tuhan biar gue dapat laki yang baik secara agama, yang bisa bimbing gue ke jalan-Nya. Dari sana, munculah seorang Rega Damasatya. Terus bagi gue, sebab gue berusaha ikhlas nerima perjodohan karena pengen lihat ortu bahagia, Tuhan kasihlah kemudahan bagi gue buat ngejalanin hubungan sama misua, dan dikasih chemistry yang bikin hati kita klik meski punya watak yang berbeda."

"Berarti selama ini bokap-nyokap gue enggak doain gue, dong, Mar."

"Bukan gitu, Uni." Marwah berdecak kecil. "Mereka doain lo, cuma belum terkabul aja. Mungkin Tuhan pengen lihat lo hijrah dulu jadi lebih baik. Dan selama itu, penantian lo terhitung sebagai ujian sabar. Kalau lo bisa tuntas ngelewatin, lo bakal dapat gift yang enggak pernah dikira-kira."

"Ck, Marwah udah kayak Ustadzah."

"Bener, Gin. Sejak menikah, Marwah jadi solehah." timpal Hilda.

Istriku tergelak. "Kalau dulu solehot, ya."

"Asli. Definisi lirik lagu 'hijrah cintaku menguatkan alasanku untuk menjadi manusia lebih baik'."

"Pak Rega beneran paket komplit." Uni berujar setelah sempat senyap. "Tampangnya oke, soleh, enggak pernah neko-neko pula. Idaman banget ... Eh, Mar, lo udah enggak pakai handsfree, ya?"

"Ehm. Pegel telinga gue disupel begituan."

"Duh, berarti pak Rega denger dong omongan kita-kita, terlebih gue yang barusan?"

"Iya, lah." Marwah menyandarkan kepala ke pundakku. Hp di arahkan sampai wajahku tertangkap layar. "Nih, orangnya."

Aku hanya memandang sekilas. Masih sibuk menyetir dan memperhatikan jalanan di depan. Kadang kali menengok spion samping guna menilik keadaan di belakang.

"Ih, parah lo. Ngeghibahin suami sendiri langsung di depannya. Btw, Pak, punten ye. Jangan baper soal yang tadi."

"Jangankan kamu, Un," jawabku, enteng. "Perempuan satu dunia saja akan saya abaikan."

"Eleh. Kalau perempuannya secakep cewek-cewek Eropa, yakin bakal diabaikan .... Hehe. Canda, Pak."

"Terserah kalau kamu enggak percaya." Aku mengedikkan bahu. "Tapi saya maklum. Kamu belum menikah. Belum ada laki-laki yang menjadikan kamu perempuan satu-satunya. Wajar kalau kamu berpikir begitu."

"Mas." Marwah menegurku.

"Eng ... Ck! terpantau masih sepedes cabe ya, Pak, mulutnya." Dumel Uni. "Ampun, deh."

"Eh, ngomong-ngomong cabe, seblak yang ada di persimpangan kantor apa kabar?" Mata Marwah melirikku penuh peringatan. "Kapan-kapan ke sana, yuk. Kangen gue."

Setelah itu, obrolan mereka tak lagi aku indahkan. Lalu entah di menit ke sekian, Marwah memukul pahaku tiba-tiba. "Kebangetan, ih."

"Apanya?"

"Ucapan kamu."

"Lho, aku cuma bercanda."

"Bercanda kamu enggak lucu."

"Apa Uni kira bercandanya lucu?" Aku sedikit defensif. "Kalau dia bisa dengan enteng mengklaim ucapannya sebagai candaan. Kenapa aku enggak?"

"Kamu terkesan sarkas, tahu."

"Dan Uni terkesan sembrono," kataku, enggak mau kalah. "Atau okelah dia ngomong gitu karena tahu kamu enggak akan baper meski dia terang-terangan mengidamkan suaminya. Tapi, apa dia enggak punya rasa kehati-hatian, was was kalau bisa saja kalimatnya menimbulkan kontra? Gimana kalau yang denger ucapannya itu bukan kamu dan aku? Besar kemungkinan bisa menyebabkan masalah."

"Kamu terlalu serius nanggepinya. Uni tuh gitu orangnya. Asal ceplos."

"Ini bukan tentang aku yang terlalu serius, Mar. Tapi tentang menempatkan sesuatu pada tempatnya."

"Ya, kamu sama aja berarti." Marwah kukuh. "Emang dengan kamu kayak tadi, Uni bakal sadar?"

"Sadar kalau dia berpikir."

"Ah, tau lah!" Dia kalah, melengos ke arah jendela dengan kesal.

Aku menghela napas. Jika sudah begini, aku bisa repot sendiri. Jalan satu-satunya adalah mengalah. "Ya sudah. Sekarang kamu telpon Uni, gih. Aku mau minta maaf."

Marwah diam.

"Yang."

Masih diam. Agaknya mode ngambeknya sudah aktif. Baiklah. Akan aku gunakan trik lama agar dia bicara. Biasanya tempat bumbu, toples selai dan sejenisnya yang menjadi sarana. Kali ini tumbleware di dekat perseneling yang aku ambil diam-diam. Mengapitnya di antara dengkul sebelum mengeratkan tutup menggunakan satu tangan. Lalu mengembalikan benda ini ke tempat semula tanpa ketahuan.

Tak lama berselang, Marwah meraihnya. Lewat ekor mata, aku bisa melihat wajah istriku memerah, kesulitan membuka. Dia bahkan menggeram pelan. Bibirku tersenyum samar.

"Ck, tadi perasaan gampang, deh."

Aku pura-pura tak mendengar.

"Susah, ih!" Marwah berseru.

Kode keras. Namun sebelum dia memanggilku, aku akan tetap mengacuhkannya.

"Aku bilang susah!" Dia menatapku. "Ini susah."

"Ehm."

"Bantuin, Mas. Enggak peka banget, si, jadi suami."

"Lho, tadi aku panggil enggak nyaut. Aku kira kamu lagi enggak mau ngomong sama aku." Aku mengambil alih tumbleware. Sama seperti saat mengeratkan tutupnya, kali ini pun aku menggunakan cara serupa untuk membuka. Setelahnya diserahkan pada Marwah.

"Makasih," katanya, tidak ikhlas. Lantas mulai meneguk air.

"Jangan suka ngambek, ah, Yang." Aku mengusap kepalanya. "Kamu tahu, kalau kamu ngambek ...."

"Kayak kabut asap. Bikin sumpek pikiran," potong Marwah, mendengkus kecil. "Aku tahu. Ayah pernah bilang gitu."

Senyumku terkulum. Menarik tangan, kembali mengoperasikan setir sepenuhnya.

"Tapi lain kali kamu jangan kayak tadi. Kamu tahu, kamu tuh terkenal judes di mata temen-temenku."

"Kamu maunya aku yang murah senyum, gitu?"

"Ih, buk ...."

"Iya, enggak. Aku paham maksud kamu." Aku buru-buru menyela sebelum dia meledak lagi. Entah karena apa, tapi setiap kali kumat, sikap alemannya jadi berkali-kali lipat sejak pulang dari rumah Mama. Dan ini mengingatkanku pada Marwah ketika akan aku tinggal. "Nanti aku minta maaf sama Uni lewat DM instagram. Oke?"

Tidak ada sahutan. Kakinya menghentak kecil di lantai mobil. Aku membiarkannya. Alih-alih menyalakan musik di dashboard. Namun sedetik setelah diputar, tombol off langsung Marwah tekan.

"Ya Allah, Yang. Kenapa si, kamu?" tanyaku, gemas.

Bibirnya mencebik.

"Mau sesuatu?"

"Enggak," jawabnya, singkat.

"Pengen jajan?"

"Enggak."

Aku menarik napas dalam, ditahan sebentar sebelum diembuskan perlahan. Jika Marwah sedang begini, kesabaranku benar-benar diuji.

Barang sejenak keadaan di dalam mobil pun membeku.

"Kamu suka cewek bule?" tanya Marwah tiba-tiba. Tidak tahu juga kenapa bule justru dibawa-bawa ... Apa karena Uni sempat menyebut perempuan Eropa?

"Aku cuma suka sama istriku."

Marwah mengeluarkan debas napas. Memeluk lenganku dan menyembunyikan wajah di sana.

"Mas," panggilnya, khas.

"Ehm."

"Aku suka gaya rambut kamu." Dia berkata begitu seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa.

"Ehm."

"Potong di mana?"

"Salon."

"Salon mana?"

"Persimpangan dekat pasar."

Mendongak, Marwah menatap lekat. Matanya yang bulat dan jernih seperti sedang meneliti bagaimana riak wajahku. Lalu dia mengecup pipi. "Maaf. Mas jangan ngambek, ya?"

Aku tersenyum. Curang, memang, karena suasana hatiku bisa segampang ini diluluhkan. "Iya."

Sejurus kemudian, kita sampai ke super market tujuan. Marwah yang meminta ke sini. Katanya ingin membeli beberapa keperluan sebelum pulang.

"Mas, aku mau ke toilet dulu," kata Marwah begitu aku menghampiri setelah memarkirkan mobil. "Pengen pipis."

"Aku tunggu sini?"

"Iya, sini aja. Enggak lama, kok."

"Ya sudah. Hati-hati."

Marwah berbalik badan. Melangkah dengan tergesa. Gamis toska bunga-bunga yang dikenakan menggantung beberapa senti di atas permukaan tanah. Sementara, bagian belakang kerudung melambai di punggungnya.

Aku mengedarkan pandang sesudah eksistensi istriku sempurna hilang. Mulanya semua biasa saja. Namun di antara lalu lalang orang, aku melihat Sarah. Otomatis alisku menegang penuh waspada. Aku pun gegas menarik gawai dari saku celana. Meneleponnya.

Di seberang, dia yang berjongkok di depan anak laki-laki seumuran Disa, membuka tas kecil di pangkuan. Langsung menerima panggilan. Agaknya tidak terlalu sadar nama siapa yang tertera di layar.

"Halo ...."

"Mohon kerjasamanya." Aku menukas cepat. "Jika nanti kita tidak sengaja bertemu, tolong jangan katakan apa-apa pada Marwah. Balasan pesanku tempo hari sudah sangat jelas. Aku harap kamu mengerti."

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro