part 14
(Marwah Syaiqila-Beberapa bulan lalu)
•••
"Capek, ya?"
Aku yang masih bersandar di pundaknya menggeleng lesu. "Cuma bad mood. Udah lima belas menit macet, tapi belum ada tanda-tanda kapan jalan."
"Maklum, weekend gini memang banyak yang pergi-pergi."
"Pinjem hp kamu dong, Mas." Aku menaruh hp-ku ke pangkuan. Menengadahkan tangan.
Mas Rega merogoh saku celana. Lalu menyerahkan hp-nya. Di sini ada banyak aplikasi game yang aku unduh suka suka. Enggak tahu kenapa, tapi main pakai hp mas suami tuh beneran ngasih sensasi beda. Kayak ... Ya, siapa tau aja tiba-tiba ada apanya.
Bukan, eh. Bukan maksud enggak percaya. Cuma kekhawatiran begituan suka terbesit di kepala. Belum lagi kalau si suami seringnya di luar. Imajinasi tentang pegawai genit yang suka godain, atau klien cantik yang karismatik sampai bikin doi tertarik, kadang bikin uring-uringan sendiri.
Mobil bergerak. Awalnya selambat siput dan sesekali berdenyut saat Mas Rega menginjak rem. Lama kelamaan mulai lancar yang kemudian sepenuhnya keluar kemacetan.
Aku menegakan badan. Terdiam sambil berusaha bersendawa tapi enggak bisa. Tiba-tiba kayak mau mabuk.
"Mas ...." Tangan refleks menutup mulut.
"Kenapa, Yang?"
"Minum," kataku, enggak jelas.
"Apa?" Mas Rega melirik. Lalu pas sadar, tangannya langsung menarik botol di cekungan pintu mobil di sampingnya. Diangsurkan.
Aku meminum dua teguk. Sesudahnya lidah malah jadi pahit asem gimana.
"Mas, kamu punya permen enggak?"
"Ada. Di tas punggungku, di jok belakang."
Lewat celah kedua kursi, tanganku terulur mengambil tas Mas Rega. Aku meletakkannya di pangkuan sebelum membuka. Dan ... Jeng jeng jeng, permen yang Mas Rega bawa adalah permen yang dia dapat dari dokter waktu itu. Permen yang harusnya ada di aku karena sejak awal emang dibeli buat aku. Cuma, ya, gimana. Aku mah orangnya ogah ribet sebenarnya.
"Mas." Aku mengalihkan permen di dalam mulut ke sebelah kiri. "Oma Tari beneran datang ke acara haul Kakek?"
"Ehm. Sekarang sudah di rumah Mama malah."
"Nanti beliau nginep juga di rumah Mama?"
"Enggak. Besok Oma punya acara sendiri di luar kota."
"Oh."
Sejurus kemudian, mobil Mas Rega masuk ke komplek perumahaan. Sekitar lima rumah dari pos satpam, kita sampai. Gerbangnya dibuka lebar. Di halaman udah ada tiga mobil yang berjajar dan Mas Rega memilih menghentikan kendaraan di pinggir jalan depan rumah.
Aku keluar duluan, disusul Mas Rega. Dia mengulurkan tangan minta gandengan. Dengan senang hati aku menyambutnya. Jari-jariku digenggam erat.
"Nanti enggak usah bantu-bantu di dapur, ya? Langsung ke kamar saja," kata Mas Rega.
"Lha, kenapa?"
"Sudah ada banyak orang yang bantu."
"Ya kali boleh gitu. Apa kata saudara-saudara kamu nanti?"
Mas Rega enggak merespon karena kita udah masuk ke dalam. Orang-orang yang lagi asyik ngobrol di sofa sudut ruangan menoleh sambil menjawab salam.
"Eh, panjang umur. Baru diomongin," kata Oma Tari. Senyumnya semringah.
Aku menyalami beliau, bercipika-cipiki sebentar sebelum bergeser buat ngelakuin hal serupa ke yang lain. Mas Rega bersalaman sekadarnya, terus beranjak ke dalam, bergabung sama para laki-laki di belakang. Sementara, aku duduk di samping Oma.
Oma itu kakak tertua Papa. Enggak heran kalau Oma belum sepuh-sepuh amat. Jalannya juga masih tegak meski udah enggak bisa cepat. Kacamata minus dan kerudung instan yang selalu dimasukin ke dalam kerah baju batik jadi ciri khasnya.
Oma menyentuh perutku. Tersenyum. "Cowok-cewek."
"Oma tahu?"
"Feeling orang tua."
Aku tersenyum. "Aamiin. Minta doa-nya, Oma."
"Pasti lah Oma doain. Cucu Oma ini." Oma merengkuh pundakku. Lalu mulai memberi wejangan. Aku mengangguk-angguk. Endingnya kita sibuk ngobrol berdua di saat yang lain heboh sama rencana arisan keluarga.
Sekitar setengah jam berselang, mbak Rahma datang sambil berseru, "saudari sayang, dipanggil Mas suami."
"Sayang siapa?" Oma Tari bertanya sangsi. Mbak Rahma mengedikkan dagu ke arahku. "Oalah." Sambung Oma, terkekeh kecil.
Mukaku panas. Sebelum jadi bahan ledekan, aku buru-buru bangkit dan pamit. Mbak Rahma itu suka iseng orangnya. Mas Rega mana mungkin bilang gini, "mbak, panggilin sayangku, dong."
Hih, bayangin aja udah bikin bergidik merinding.
Aku melipir ke dalam. Di dapur, Mas Rega lagi disuapi Mama pakai tangan. Beliau duduk di kursi meja makan, dan Mas Rega membungkuk sambil membuka mulut. Aku tebak kalau tadinya Mas Rega enggak sengaja lewat, terus dipanggil Mama buat ikut sarapan. Tapi karena Mas Rega udah makan, dia cuma minta nyicip ayam. Ya, maklum aja. Sebagai anak semata wayang, suamiku memang deket banget sama orangtuanya.
"Eh, Mar," kata Mama.
Mendekat, aku duduk di depan Mama. "Kata Oma, Mama lagi belanja. Pulang kapan? Kok aku enggak lihat Mama masuk?"
"Mama masuk lewat pintu belakang." Tangan Mama kembali ke piring. Mas Rega beranjak ngambil air di dalam kulkas. "Soalnya plastik yang buat bungkus ikan bocor. Takut amis netes ke lantai." Sambung Mama.
Aku ber-oh, mengangguk.
Enggak lama, Mas Rega kembali menghampiri meja. "Ayo."
Otomatis, aku mendongak. "Ayo ke mana?"
"Ke depan."
Aku berdiri. "Permisi dulu ya, Mah."
Mulut Mama sibuk mengunyah. Beliau menggunakan tangan buat mempersilakan.
Dari suara-suara yang kedengaran tambah ramai, bisa dipastikan semua saudara udah datang. Tapi alih-alih beneran ke depan buat menemui mereka, Mas Rega malah berbelok ke arah kamar.
"Mas, kok ...."
"Nurut aja." Dia meraih tanganku pas di anak tangga pertama. Begitu kamar dibuka, Mas Rega membawaku masuk dan langsung mengunci pintu. Lalu menekan remote AC yang menempel di tembok dekat sana.
"Ih, kebiasaan deh, kamu."
"Aku lagi enggak mood basa-basi, Yang."
"Ya, paling enggak setor muka dulu lah, Mas."
Mas Rega menghempaskan badan ke kasur dengan posisi tengkurap. Kakinya menggantung di pinggir ranjang. Aku menempatkan diri di samping.
"Nanti tiba-tiba nongol pas acara makan-makan kan enggak enak. Mana aku belum sempet bantu apa-apa pula."
"Enggak enak kenapa, wong kita makan di rumah sendiri kok. Dan aku ngajak kamu ke sini bukan buat bantu-bantu."
"Ih, kamu mah."
Dia enggak menyahut.
"Terus sekarang kita ngapain?"
Berguling, Mas Rega beralih jadiin pangkuanku sebagai bantal. Tangannya melilit di pinggang, muka ndusel ke perut. Selama beberapa menit, suara AC mengisi lengang. Aku menyisir rambutnya pakai jari. Udah agak gondrong. Paling bentar lagi dipotong.
"Yang."
"Hem."
"Sekarang tanggal berapa?"
"Enggak tahu. Aku belum lihat kalender. Kenapa emangnya?"
"Aku lagi pesan skin care kamu. Estimasi sampai tanggal 24."
"Padahal aku udah bilang enggak usah."
Dia diem.
"Mas, kamu mau nyoba konsultasi sama Dokter Yuda, ya? Semalam sayup-sayup aku denger kamu ngobrol sama dia."
Dokter Yuda, teman lama Mas Rega sekaligus psikolog yang dulu pernah nanganin aku. Hubungan kita udah kayak keluarga. Cuma, ngobrol malam-malam sampai hitungan jam jelas bukan sekadar basa-basi tanya kabar. Pasti ada topik yang dibicarain.
"Yuda ngasih undangan ulang tahun anaknya," kata Mas Rega, terlentang.
"Kapan?"
"Besok. Tapi aku sudah bilang kita enggak bisa datang, dan katanya enggak apa-apa."
"Kok mba Arini enggak ada bilang ke aku, ya? Kapan hari kita baru chat-an, lho."
"Enggak sempet mungkin." Tangan Mas Rega terulur memasukkan anak rambutku yang mencuat dari ciput di sekitar pelipis. Kerudung kain motif bunga ini dia yang pilihin. "Lagian alasan Yuda hubungi aku, itu karena aku pernah ngajak dia diskusi."
"Soal?"
"Banyak. Terutama tentang rumah tangga dan parenting." Dia menurunkan tangan, dilipat di atas perut. Kakinya saling menyilang. "Mas keinget ucapan kamu beberapa hari lalu."
"Yang mana?"
"Perumpamaan mendaki gunung. Setelah dipikir-pikir, aku paham banget maksud kamu. Dan sekarang aku mau tanya, apa selama menikah, ada keinginan kamu yang bersebrangan sama aku? Keinginan yang menyangkut visi misi pernikahan kita. Atau barangkali, ada sikap aku yang kamu kurang suka?"
"Kenapa tiba-tiba tanya gitu? Maksudnya, enggak mungkin kan tiba-tiba terbesit gitu aja. Pasti ada pemicunya. Apa aku udah buat salah?"
"Enggak. Kamu enggak buat salah.
"Terus?"
"Sebentar lagi kita jadi orang tua. Kalau di antara aku-kamu masih ada yang belum sejalan, takutnya pola asuh kita akan berbenturan. Tapi lebih dari itu, aku pengen kita sama-sama nyaman ngejalanin rumahtangga. Aku enggak mau lagi kamu ngerasa kalau kamu enggak pantas buat aku. Jujur saja, Yang. Setiap kali kamu ngomong gitu, aku pengen marah."
"Mas ...." Aku urung bersuara. Melipat bibir dengan sangsi. Oke, aku sempet lupa kalau suamiku ini type orang yang apa-apa dibawa serius. Padahal aku kan enggak sampai yang gimana banget, dan enggak setiap hari juga ngerasa insecure ke dia. Cuma di waktu tertentu doang. Itu pun masih ... Ya, mungkin kebanyakan orang enggak bakal dipikir banget.
"Aku pernah baca salah satu riwayat tentang kisah Fatimah Azzahra. Mau denger?"
Kepalaku mengangguk.
"Disebutkan, kalau dulu Fatimah pernah giling gandum sambil nangis karena capek sama pekerjaan rumah, dan terpergok Rasulullah. Lalu Rasulullah berkata, 'Ya Fatimah, jika perempuan berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya, maka Allah menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit. Jika ia meminyaki dan menyisir rambut anak-anaknya, pun mencuci pakaian mereka, Allah akan mencatatkan pahala orang yang memberi makan seribu orang lapar dan memberi pakaian seribu orang telanjang. Jika perempuan menghalangi hajat para tetangganya, Allah akan menghalanginya dari air telaga Kausar di hari kiamat. Namun hal yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jika suamimu tidak ridha padamu, tidaklah akan aku doakan kamu. Tahukah engkau bahwa ridha suami bernilai lebih di hadapan Allah dan kemarahannya adalah kemarahan Allah?'." Mas Rega ngambil salah satu tanganku. Digenggam erat. Cara dia natap bikin dadaku berdesir. "Mar, aku ridha dengan hal-hal yang enggak bisa kamu beri. Aku ridha dengan semua kekuranganmu sebagai istri. Dan aku ridho dengan kamu yang hanya seorang Marwah Syaiqila, ibu negaranya Bapak Rega Damasatya. Pun sebaliknya. Jadi, berhenti, ya, mandang aku sedemikian wah dan menganggap diri kamu rendah."
Mataku berkaca-kaca. Melting parah.
"Toh, setelah Mama, kamu adalah orang yang paling tahu sekeras kepala apa aku. Segede apa egoku. Sama sebau apa kentutku."
Lah ...
"Ih." Pundaknya aku pukul main-main. Berasa udah seneng diajak makan crush terus endingnya disuruh bayar. "Merusak momen."
Dia ketawa. "Lho, bener kan kentutku bau?"
"Tau, ah." Nadanya ketus.
Mengangkat badan, Mas Rega duduk bersila. Lalu menangkup pipiku. Matanya mengunci mataku. "Enggak, ini serius. Kamu paham kan sama apa yang aku bilang barusan?"
"Paham."
"Apa?"
"Aku, Marwah Syaiqila, perempuan paling baik, paling cantik, paling pinter dan paling semuanya buat Rega Damasatra."
Mas Rega tersenyum. Terus mukanya maju. Tapi sebelum niat itu terealisasikan, pintu kamar udah lebih dulu digedor brutal dari luar.
"Uncle!" Suara Disa. "Uncle!"
Menghela napas, Mas Rega beranjak dengan enggan. Bergumam, "ganggu aja, ah."
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro