part 12
(Beberapa bulan lalu – Rega Damasatya)
•••
Aku tahu Marwah kecewa. Aku tahu dia masih belum bisa menerima keputusanku. Aku juga tahu jika ucapannya beberapa hari lalu---tentang pengemis dan seorang ibu---bertujuan untuk menyindirku.
Aku akui aku memang salah, dan tidak sedikitpun keberatan akan sikap Marwah. Meski, jujur saja hatiku terluka. Ada bagian dari diriku yang ingin marah. Sayangnya aku tidak berdaya. Baik sekarang maupun waktu itu---saat para buruh berdemo di depan kantor untuk ke sekian kali. Sungguh, melihat peluh di wajah lelah mereka, aku tidak tega. Teriakan penuh harapnya pun terasa menghakimi telinga. Dan aku yakin, tidak ada manusia waras yang akan berpangku tangan di saat dia memiliki kuasa untuk membantunya. Tapi aku tidak bisa membuat Marwah sepenuhnya mengerti soal itu sebab dia tidak benar-benar ada di sana. Sementara di sisi lain, posisi Marwah adalah seorang istri dan calon ibu yang mengkhawatirkan masa depan anak kita.
Ya, masa depan anak yang ... Entah. Mendadak aku jadi ikut mengkhawatirkannya.
Menghela napas berat, aku mengusap wajah frustrasi. Duduk di teras rumah singgah yang menghadap langsung ke alam tidak mampu merilekskan pikiran. Padahal tanah lapang di hadapan---biasa digunakan untuk bermain bola---membebaskan mata mengedar. Angin dari bukit di ratusan meter sana pun berembus tanpa halangan.
Bangunan satu lantai ini memang berada di dataran tinggi. Jarak dengan beberapa rumah yang juga ada di sekitar lumayan jauh, tak heran jika suasana terasa sepi. Jalannya yang masih berupa tanah kemerahan hanya sesekali dilewati kendaraan. Sisanya orang-orang yang berjalan kaki. Dan saat sedang kemarau debunya akan mudah berhamburan.
Aku menoleh saat seseorang menepuk pundak. Kenzie, si pelaku, duduk di sebelahku. Dia pulang ke tanah air untuk mengurus perpanjangan visa. Keikutsertaannya ke mari hanya sampai besok pagi. "Jangan ngelamun, nanti kesambet."
Kembali ke depan, aku mengabaikan ucapan Kenzie.
Dia berdecap lidah. "Kamu mah kayak enggak biasa aja sama masalah ginian."
Aku mengedik. Ada banyak harap yang kadung melambung tinggi terkait proyek ini. Benar. Aku melepaskan perusahaan bukan tanpa persiapan. Sejak kantor bermasalah, aku mulai serius mengembangkan bisnis. Beberapa bulan lalu lahan pertanian bahkan resmi diperluas hingga sekian hektar. Penambahan bibit ayam serta pembangunan kandang di beberapa lokasi juga sudah rampung.
Namun sebab pikiran sedang bercabang tidak keruan, perhitunganku terkait modal dan keuntungan meleset jauh. Ditambah dengan adanya masalah hama dan virus yang merebak, membuat sejumlah sayur gagal panen dan matinya ratusan ekor ayam dalam sepekan. Banyak upaya penanggulangan yang telah dilakukan agar kerugian tak terlalu besar. Sayangnya hal itu tak memberi hasil signifikan. Nominal ratusan juta dari hasil patungan tetap melayang.
Atas dasar itu, aku nekad mengambil loncatan. Dengan waktu yang serba cepat, aku menyusun proposal sekaligus mencari klien dari kelas atas agar bisa segera balik modal. Tetapi lagi lagi aku salah perhitungan. Hingga di detik-detik terakhir menuju penandatanganan kontrak, pihak sana memilih membatalkan.
"Enggak perlu merasa bersalah sama kita, Ga. Ini bukan salah kamu."
"Uang segitu enggak sedikit, Ken."
"Iya, tapi kan kita memulainya sama-sama. Jadi udah sewajarnya kerugian ditanggung bersama."
Aku tak menyahut. Setengah keberatan. Karena bagaimanapun, sejak awal aku yang paling ngoyo.
"Lagian, Ga, aku kan udah bolak balik bilang, misal kamu butuh bantuan, bilang ke aku. Apa pun itu, aku siap. Jangan terlalu keras lah sama diri sendiri."
"Ini masalah harga diri, Ken. Aku enggak mau terlihat payah di depan Marwah."
"Ga, dia istrimu. Enggak apa-apa ...."
"Justru karena dia istriku." Aku memotong cepat. Menatap Kenzie. "Aku bisa menolerir diriku yang cengeng. Aku bisa menolerir diriku yang lemah. Tapi enggak untuk payah."
Sedetik setelahnya, aku sadar sudah salah melampiaskan amarah. Aku mendesah berat, berkata pelan, "Maaf. Aku enggak bermaksud."
Kenzie tersenyum maklum, kembali menepuk pundakku. "Kalem. Aku tahu pikiranmu lagi runyam."
Kemudian dia bangkit. "Yuk, lah, dhuhur ke masjid. Nanti enggak kebagian saf paling depan kalau ke sananya udah adzan."
Aku berdiri. Bertepatan dengan ustaz Ihsan beserta rombongan keluar dari dalam. Kita semua lantas berangkat ke masjid dengan jalan kaki. Guyonan tak henti dilontarkan pihak sana sini, dan aku hanya tersenyum untuk menanggapi---agaknya memang cuma aku yang terpuruk. Lalu di tengah kelakar Kenzie, tiba-tiba Ahmad berhenti. Membuat yang lain ikut berhenti.
"Kenapa, Mad?" Aku bertanya.
"Uang yang buat beli titipan Ibu ndak ada, Mas," katanya, satu tangan sibuk meraba-raba saku kemeja.
"Ketinggalan di rumah singgah, po?"
"Ehm ... Enggih kadose, Ust. Di meja."
[Ehm ... Iya kayaknya, Ust. Di meja.]
"Mau diambil dulu?"
Dia menggeleng. "Ndak usah lah, Mas Rega. Nanti gampang aku balik lagi. Toh, katanya kalau salat enggak boleh saku uang."
"Iya, mbok pas ruku duite merojol, engko bukane Subhaana robbiyal 'adziimi wabihamdih, macane malah duitku duitku duitku, ya, Mad." Kenzie merangkul Ahmad.
[Iya, takut pas ruku uangnya jatuh. Nanti bukannya subhaana rabbiayal 'adziimi wabihamdih, bacanya malah uangku uangku uangku, ya, Mad.]
Aku ingat betul dulu Abah berkata demikian sambil bergurau.
Jadi aku pun menambahi hanya agar Ahmad tidak stuck pada ucapan Kenzie. "Cuma, maksud Abah lebih mengacu pada larangan membawa-bawa urusan duniawi pas salat. Kalau sekiranya ada sesuatu hal yang nantinya mengganggu khusu, ada baiknya diselesaikan dulu selagi masih ada waktu sebelum adzan. Contohnya seperti makan. Kalau lagi makan terus terdengar adzan, ada anjuran untuk menghabiskan yang di piring sebelum salat. Dengan catatan jangan sengaja diperlambat untuk mengulur waktu."
***
Karena tak menemukan Marwah di depan atau dapur, aku melipir ke tempat cucian yang menyatu dengan jemuran. Di sana dia sedang bergeming.
"Mar?"
Marwah berbalik badan. "Eh, Mas."
"Ngapain?"
"Oh ... Enggak." Bibirnya tersenyum. Kaos kotorku yang semula didekap dia masukan ke dalam mesin cuci. "Kamu butuh sesuatu?"
"Aku lagi nyari balsem. Kamu lihat di mana?"
"Yang buat pusing itu ya?"
"Ehm."
"Ada. Bentar." Dia memutar tombol, suara air diaduk terdengar dari mesin cuci
Aku membiarkannya lewat lebih dulu sebelum mengikuti sambil batuk berkali-kali. Meski sudah memakai masker, aku masih merasa segan terlalu dekat dengan Marwah. Khawatir dia akan tertular, yang mana hal itu sempat membuat Marwah kesal.
"Ini bukan?" tanya Marwah, menunjukan tabung kecil yang diambil dari kotak P3K.
Mengangguk, aku menerima uluran tangannya. Kembali terbatuk-batuk.
"Aku buatin jahe madu, ya?"
Sesudah mengiyakan, aku melipir ke kamar. Kepala yang sedang berdenyut tak keruan aku pijat menggunakan balsem begitu sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Namun tak lama, notifikasi e-mail menyela. Mau tak mau aku beranjak ke meja kerja. Di situasi sekarang, aku tak bisa bersikap abai. Setidak penting apa pun, aku harus tetap menjawab pesan dari beberapa kolega agar relasi tetap terjaga. Atau barangkali ... itu adalah notifikasi pesan terkait perkembangan proses pencarian Tomi. Kegagalan menangkapnya di Batam bukan alasan untuk lantas memilih diam. Aku benar-benar penasaran kenapa dia mengkhianati kepercayaanku. Dan kabar terakhir yang aku terima, Tomi pergi ke luar negri.
Aku duduk di kursi. Tanpa sadar, aku larut menekuri layar dan papan tik. Lalu entah di menit ke berapa, ada jari yang terasa dingin mencubit lembut pipiku.
"Bandel, ya," kata Marwah saat aku menoleh. Dia berkacak pinggang. Mata mendelik sok galak. "Lagi sakit bukannya istirahat malah pacaran sama laptop."
"Tadi ...."
"Enggak ada alasan." Dia menarik tanganku. "Ayo."
Aku menurut saja diseret ke kasur, pun dipaksa duduk bersandar di kepala ranjang. Marwah lantas menempatkan diri di pinggir dipan setelah mengambil mangkuk dari nakas.
"Sereal ...."
"Enggak boleh nolak," katanya. Padahal aku hanya ingin bilang kalau susu yang dia tuang terlalu banyak. "Bubur sama nasi udah berakhir di tong sampah. Kali ini harus masuk perut. Terakhir asam lambung naik, kamu sampai kayak orang kena serangan jantung. Pengen kayak gitu lagi, huh? Ayo buka maskernya. Aku suapi."
Menurunkan masker ke dagu, aku berkata, "Makan sendiri saja."
Marwah meletakan sendok yang sempat diangkat sebelum menyerahkan mangkuk. Selagi aku menyuap, dia sibuk memijit kakiku.
"Kamu itu gampang drop, Mas. Harus pinter-pinternya kamu jaga badan. Jangan diforsir. Selama di pesantren pasti gadang, ya, kamu, makanya tumbang gini?"
"Enggak begadang."
"Berarti ada sesuatu yang lagi ganggu banget di pikiran."
Aku pura-pura menikmati sereal.
"Enggak mau cerita? Perlu aku tanya orang lain buat tahu masalah suamiku?"
"Masalahnya masih sama. Kamu sudah tahu."
"Yakin? Selain hidung, telinga dan mataku juga sensitif, lho."
"Ehm ...." Menutup mulut menggunakan lengan, aku terbatuk.
Marwah mengusap-usap dadaku. Terlihat khawatir. "Ke dokter aja ya, Mas?"
Aku menggeleng, meletakan mangkuk ke nakas. Lekas meneguk air putih sebelum menyesap teh jahe. Sensasi hangat dari suhu air dan ekstrak jahe sedikit meredakan gatal di tenggorokan, dan asap tipis yang tercium hidung mengantarkan aroma khas.
Lalu untuk sebuah alasan, Marwah menghela napas dalam. Dia menatap lekat dengan sorot tak biasa. Namun aku tak ingin bertanya kenapa.
"Berapa bungkus?"
Alisku menyudut. Mulut masih menempel di bibir gelas.
"Udah beberapa kali aku nyium bau rokok di baju kamu. Aku kira aku cuma salah cium. Tapi aroma di baju kotor kamu kali ini nyengat banget dan itu jelas bukan sekadar ketempelan asap. Berapa bungkus? Apa batang nikotin itu lebih nyaman buat dijadiin temen stres ketimbang aku?"
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro