Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 1.

(Sekarang – Marwah Syaiqila)

•••


"Udah mendingan?" tanya Ibu. Beliau duduk di pinggir ranjang, memperhatikanku dengan khawatir.

Aku yang masih menyeruput teh anget mengangguk. Kepala yang sempat keliyengan kerasa enteng setelah dipijat Ibu.

"Besok kamu ada jadwal cek up, kan?"

Sambil meletakan gelas ke nakas, aku menjawab, "iya, Bu."

"Sekalian minta obat pereda mual, Mar. Ibu lihat makin ke sini kayaknya makin menjadi."

"Kalau obat pengempis kaki yang bengkak ada enggak, si, Bu?" Melirik miris keadaan kaki, aku mencicit, "Malu aku tuh."

"Kaki bengkak itu wajar. Nanti juga normal lagi."

"Pengennya si sekarangan aja kalau bisa. Badan udah melar, masa kakinya ikut-ikutan."

"Justru kalau kakinya enggak ikut melar malah jadi enggak proposional." Ibu tersenyum tipis. "Lagian, kamu lagi hamil kok maunya tetap kaya gadis. Ya enggak bisa."

Aku menghela napas panjang. "Jadi ibu ternyata secapek ini ya, Bu. Hamil selama sembilan bulan, lengkap sama rasanya yang ... Ya pegel, ya mules, ya lemes, ya pusing .... Enggak keruan lah pokoknya. Belum lagi perubahan fisik sama hormon yang bikin mood berantakan. Pas lahiran, nyawa yang jadi taruhan. Sesudahnya masih harus mengurus dan mendidik anak. Enggak heran kalau surga ada di telapak kaki Ibu."

"Iya, makanya balasan bagi anak yang durhaka itu diturunkan langsung di dunia sama Allah."

"Iya, ya Bu." Aku manggut-manggut. Tapi tiba-tiba teringat satu topik yang akhir-akhir ini lagi banyak banget dibicarain. "Cuma misal orangtuanya yang toxic itu gimana, Bu? Apa si anak tetap durhaka kalau ngasih perlawanan dengan maksud mempertahankan haknya?"

"Memang ada orang tua toxic? Orangtuanya lho, ini. Bukan cara asuhnya?"

"Dari curhatan anak-anak di media sosial si gitu. Bahkan ada yang sampai ninggalin komentar gini di salah satu video kajian di YT, 'banyak banget kajian yang mengkaji tentang perlunya hormat pada orang tua, tapi hampir enggak ada yang membahas hal sebaliknya. Kenapa?'. Dia juga ngaku pernah dihina orangtuanya di depan umum."

Ibu terdiam. Dan aku tahu apa yang Ibu pikirkan. Karena jujur aja, aku juga miris pas baca. Maksudnya, apa udah segitunya sampai dia merasa perlu mencari validasi untuk menyalahkan orang tua?

Bukan. Aku enggak mau menghakimi pihak mana pun. Aku tahu konflik semacam ini sangat komplek dan krusial. Ibaratnya kaya nyimpan bom waktu, kapan masanya pasti meledak. Dan yang hancur adalah rasa respect antar keluarga, yang mana bisa bikin hubungan darah jadi enggak ada artinya.

"Gini, Mar." Ibu menatapku. "Ibu si enggak bisa berpendapat gimana-gimana, ya. Cuma menurut pandangan Ibu sebagai seorang ibu, kayaknya enggak ada deh orang tua yang pengen buat anaknya sengsara. Maksudnya, terlepas dari cara dan sikapnya yang salah, tujuan orang tua itu baik. Dan kadang, kita sebagai anak suka lupa kalau orang tua juga manusia biasa, enggak mungkin bisa sempurna atau lepas dari sifat manusiawinya yang kadang nyebelin, otoriter, pemarah, cerewet dan semacamnya.

"Dulu, Ibu juga sering menganggap orang tua ibu egois---atau kata anak jaman sekarang itu toxic---cuma karena beberapa hal. Sekarang, setelah Ibu jadi orang tua, Ibu sadar kalau apa yang beliau lakukan ternyata tindakan benar. Karena bisa jadi, bukan orangtuanya yang toxic, tapi pemikiran kita yang belum nyampe untuk bisa paham. Bukan orangtuanya yang toxic, tapi ego kita yang terlalu dikedepankan sampai enggak bisa introspeksi diri.

"Dan terkait seseorang durhaka atau enggak, Ibu rasa enggak ada satu pun yang berhak memvonis selain Allah dan dirinya sendiri. Apalagi menghakimi. Lalu kenapa banyak kajian yang mengkaji tentang perlunya hormat pada orang tua, tapi hampir enggak ada yang mengkaji hal sebaliknya, ya ... Gimana. Wong lagi digembar-gembor saja masih banyak anak durhaka, kok. Apalagi kalau ada kajian yang membahas hal sebaliknya. Bisa-bisa pada lupa daratan dan makin menjadi."

"Tapi, bukan berarti kita menutup mata sama masalah toxic parent atau toxic parenting kan, Bu?"

"Tentu. Cuma Ibu tetap enggak setuju kalau ada pembenaran terkait anak yang bersikap seenaknya sama orang tua. Bagaimanapun, kunci bahagia seorang anak itu ada di tangan orang tua. Sedikit mengalah untuk orang tua enggak ada ruginya. Malah dapat pahala. Toh, kalau kita nyimpen benci ke orang tua, dan pada masanya orang tua kenapa-napa, ujungnya juga kita yang bakal nyesel." Ada jeda sebentar. Ibu kayak lagi mengingat-ingat sesuatu. Lantas kembali menatapku. "Atau, kalau memang orang tua kita enggak seperti yang kita inginkan, kata ulama, maafkan mereka agar kita pun kelak gampang dimaafkan sama anak.  Sebab, dua orang yang paling berhak menerima maaf kita adalah orang tua dan pasangan."

Mendengar dua kalimat terakhir Ibu, dadaku berdesir terenyuh. Seolah Ibu ngomong gitu buat aku. Ya, aku sama kaya anak-anak lain yang kadang sebel sama kecerewetan ibu. Yang suka banting pintu kamar kalau habis kena omel—padahal jelas-jelas aku yang salah. Yang enggak sekali dua kali ngerasa kecewa dengan keputusan orang tua. Tapi aku bersyukur karena ayah-ibu berhasil bikin keenggakpuasanku pada mereka menjadi suatu pembelajaran, bukan luka batin yang menyakitkan akibat salah paham yang dibiarin tanpa penyelesaian. Maksudnya, orangtuaku bukan tipe orang tua yang bakal segan buat minta maaf ke anak. Setiap kali habis berselisih, mereka selalu datang lebih dulu dan menjelaskan alasan dibalik sikapnya. Kalau udah gini, endingnya aku yang ngerasa bersalah sampai nangis-nangis sambil minta maaf.

Kata Ayah, "orang tua adalah role model-nya anak. Kuncinya bukan dengan mendikte, tapi mencontohkan."

Aku menggenggam tangan Ibu. Tangan yang merawat penuh kasih, bahkan sampai hari ini, di saat usiaku udah bukan bocah lagi. "Aku pengen bisa kayak Ibu."

Ibu menepuk-tepuk punggung tanganku. "Enggak. Kamu harus lebih baik dari Ibu. Menjadi orang tua adalah pengalaman pertama buat semua orang, dan diperlukan waktu seumur hidup untuk belajar. Masa Ibu dan masamu jelas berbeda. Masa kamu dan masa anakmu nanti juga enggak sama."

***

Rumah sakit sudah ramai—atau memang enggak pernah sepi—pas aku sampai. Tapi poli obgyn yang aku kunjungi masih lumayan lengang, cuma ada tiga perempuan, termasuk aku. Eh, ada dua laki-laki juga, deng. Suami mereka. Dan salah satunya ngingetin aku sama Mas Rega. Bagaimana dia merengkuh dan mengusap lembut kepala istrinya yang bersandar di pundak persis kaya suamiku.

Aku tersenyum kecut, duduk di belakang pasangan ini bikin aku ngerasa jadi nyamuk. Ya, salahku si karena melarang Ibu ikut---bukan maksud gimana, aku cuma enggak mau Ibu tahu kalau minggu lalu aku melakukan beberapa tes, seperti tes darah, tes urine, juga USG doppler, dan hari ini hasilnya keluar. Tes tersebut dilakukan karena mendadak aku punya darah tinggi, yang sebenarnya wajar buat perempuan hamil. Tapi dokter tetap menyarankan aku buat memastikan.

Sebagai pengalih fokus, aku mengeluarkan hp dari saku gamis. Pesan yang aku kirim ke Mas Rega ternyata udah dapat balasan setelah hampir 24 jam diabaikan.

Mas Rega
InsyaAllah pulang, Yang. Tasyakuran tujuh bulanannya tiga minggu lagi bukan?

Anda
He'em.

Anda
Mas lagi ngapain sekarang?


Aku enggak terlalu berharap bakal direspon sekarang. Tapi pas status aktif suamiku tertulis sedang mengetik---tumben banget hp bisa dipegang lama---enggak urung aku tersenyum senang.


Mas Rega
Baru beres isya. Kamu sendiri lagi apa? Sudah sarapan belum?

Enggak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku mengabaikan pertanyaannya dan malah bercerita panjang lebar. Apa aja. Intinya ketik ketik ketik lalu kirim. Ketik ketik ketik ... Penting enggak penting, kirim. Bodo amat kalau dia kewalahan buat membalas. Ya, gimana. Kita udah hampir tiga bulan enggak ketemu. Rasa kangenku yang udah segede gunung cuma berkurang seupil pas video call. Ah, pokoknya gitu lah. Orang yang pernah ngerasain LDR pasti tahu rasanya.

Mas Rega
Ulu lu lu, kasian banget istriku.

Mas Rega
Mau aku temani biar enggak nelangsa?

Mas Rega
Ngomong-ngomong, Ibu ke mana? Tumben kamu cek up sendirian.

Anda
Kumenangis beneran ini, Mas.

Aku baru balas kayak gitu pas namaku dipanggil asisten dokter buat masuk ke ruangan. Setelah mengangguk pada si penyeru, aku buru-buru pamitan ke Mas Rega.

Anda
Udah dulu ya, Mas. Baik-baik di situ. Jangan lupa salat, jangan lupa makan dan jangan lupa istirahat.

Anda
Jaga mata jaga hati. Awas aja kalau pecicilan. Aku gorok entar.


Begitu hp masuk ke saku, aku berdiri dan menemui dokter. Sama kaya yang udah-udah, dia menyabut dengan ramah. Aku dipersilakan duduk di kursi seberang mejanya.

"Sendiri?" tanyanya. Jangan heran kalau terkesan santai. Sebab ... Percaya enggak kalau aku ke sini setiap dua minggu?

Bukan. Jadwal cek up sebenarnya sebulan sekali. Cuma berhubung Mas Suami yang mewanti-wanti, mau enggak mau ya harus aku penuhi.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Buat beberapa menit pertama dokter bertanya perihal keluhanku. Kemudian mengangsurkan amplop putih berlogo rumah sakit. Air wajahnya menyiratkan sesuatu.

"Sebatas saran. Kalau bisa, malam ini kamu langsung diskusikan sama Rega."

Tbc ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro