part 7.
Rayhan terkesiap saat suara decitan rem mobil menginterupsi. Kendaraan roda empat yang dia tumpangi berhenti di depan bangunan sederhana, bercat tosca dengan pagar bambu yang mengelilinginya.
Menoleh ke sebelah kanan, bunda tersenyum ke arah Rayhan. Beliau sedikit menganggukan kepala, meraih tangan kanan Rayhan dan digenggamnya erat. Mencoba meyakinkan hati untuk ikhlas melepas putra semata wayangnya itu menuntut keberkahan ilmu di sini.
"Ayo, turun."
Rayhan menghela napas dalam tanpa suara. Berusaha menghilangkan gugup. Lalu senyum tipis nan menawan tak lupa cowok berhoodie abu-abu tersebut sunggingkan.
Sebelum keluar, Rayhan menyisir rambut legamnya yang berantakan karena tertidur selama perjalanan dengan jari-jemari. Setelahnya keluar mobil sedan hitam, diikuti Ririn dari sisi yang lain.
Rumah-rumah sederhana khas pedesaan yang berjejer, dan wajah-wajah ramah yang ikut menyapa membuat Rayhan tersenyum tanpa sadar. Udara sejuk, asrinya pemandangan yang masih hijau, dan sayur mayur di pekarangan rumah warga kian menghantarkan rasa segar saat Rayhan menarik napas panjang.
Proses kepindahan yang memakan waktu kurang lebih satu bulan membawanya ke titik sekarang. Tempat singgah yang Rayhan harap akan bisa membantunya menata hati untuk menerima keadaan. Karena jujur saja, Rayhan masih sangat sulit menerima kehadiran Ara di rumahnya. Hingga keinginan pergi meninggalkan rumah adalah jalan tepat yang ada di pikiran, dan memilih nyantri di Pesantren Nurul Taqwa menjadi opsi terbaik untuk semua. Bunda yang tidak akan khawatir, Rayhan yang bisa menjauh dari ayah tanpa menyakiti perasaan bunda, dan ... ilmu bermanfaat yang insya Allah akan Rayhan dapat.
Bismillah, meski pun akan berat jauh dari bunda, teman, serta merubah kebiasaannya, Rayhan akan mencoba. Dia sudah yakin dengan apa yang dipilihnya, apalagi setelah membaca firman Allah dalam surah An-Nisa:100 yang artinya;
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa:100)
"Kopernya udah semua, Pak?" tanya Ririn pada pak Sukim---lelaki berjenggot tebal yang bekerja sebagai supir di kediamannya selama kurang lebih lima tahun---sedang mengeluarkan barang dari bagasi belakang mobil. "Tolong bawain ke dalam, ya, Pak."
"Beres, Madam," jawab pak Sukim lalu membawa tas dan satu koper hitam masuk ke pelataran rumah itu. Disambut dua pasutri yang sangat jelas memancarkan aura teduh dari manik keduanya.
"Ayo, Ray," ajak Ririn.
Saat hendak mengayun langkah, HP di saku hoodi Rayhan bergetar. Mengurungkan niat untuk lekas menyusul Ririn di depan.
Udin.
Anjir! Lo beneran tobat.
Udin.
Wah, gila sih! Gue kira pas lo bilang mau mondok itu efek kesambet jurig kali. Taunya seriusan!
Anda.
Bacot lo, sat!
Udin.
His! Pak ustaz, nggak boleh ngomong kasar.
Udin.
BTW, gue geli bayangin lo entar pulang jadi ustaz beneran. Bersorban putih, jenggotnya tebel sama tu jidat jadi gosong karena kebanyakan sujud. Wkwkwk
Rayhan terkekeh kecil membaca balasan Udin. Temannya itu tak henti-hentinya menyodorkan pertanyaan dengan topik yang sama. Menggeleng samar, Rayhan mengantongi gawai canggihnya sebelum menyusul Ririn di sana.
"Assalamualaikum." Rayhan tersenyum kikuk. Bersalaman pada pria tua bersorban putih, lengkap dengan kopiah hitam yang menutup rambut berubannya. Perawakan berisi, wajah yang terlihat bersih meskipun keriput dan kantung mata menghiasi.
"Waalaikumsalam warahmatullah," jawab kiai.
Ririn tersenyum. Mengelus lengan Rayhan saat bocah jangkung itu duduk di sampingnya. "Jangan nervous," bisik Ririn.
Walaupun Rayhan mantap menggeleng, tetapi Ririn tahu jika gugup sedang menyerang anak itu. Terlihat dari mimiknya yang tegang, telapak tangan dingin, dan gerakan jakun yang beberapa kali naik turun menelan ludah.
"Nak Rayhan Abimana?" tanya lelaki yang dikenal dengan sebutan kiai Umar---pendiri, pengajar sekaligus pengasuh di pesantren Nurul Taqwa. "Gagah pisan, masya Allah."
Mendengar itu, Ririn tertawa kecil. Menatap wajah putranya yang menciut, seperti seorang balita yang baru bertemu orang baru. Ah! Rayhan memang akan selalu menjadi bayi kecilnya sampai kapan pun. Bahkan, jika suatu saat nanti dia menjadi seorang ayah, Ririn masih akan menganggapnya demikian.
"Monggo diunjuk," ujar wanita berjilbab hitam lebar. Menyimpan nampan di bawah meja sebelum ikut duduk di samping kiai Umar.
•••
"Hasna!"
Hasna terlonjak sampai buku di genggaman terlempar jatuh. Memutar badan ke arah belakang, lalu mengerucutkan bibir saat dilihatnya Halimah---teman satu kamar---sedang berlari ke arahnya sampai jilbab hitam kain yang dikenakan berkibar ke sana ke mari.
"Kalo manggil, mbok ya tunggu deket dulu. Jangan teriak. Emang kamu mau disamain kaya keledai?"
Halimah menyeringai. Membetulkan kerudungnya yang terlalu maju lalu duduk di samping Hasna---bangku yang terbuat dari bambu di bawah pohon mangga di belakang pesantren.
"Ada apa?" tanya Hasna menutup buku. Membetulkan bros dagu di khimar jumbo maroon-nya. "Ada masalah lagi sama setoran hafalan surah Al-Kahfi?"
"Nggak." Halimah menggeser tubuh agar lebih merapat pada Hasna. "Ada penghuni baru di asrama laki-laki, tauk."
Cewek bergamis hitam itu menautkan alis lurus nan tebalnya. Menatap Halimah dengan raut penasaran.
"Dia datang dari Jakarta."
Mendengar kata Jakarta, mata Hasna berbinar. Sudut bibir tertarik samar. "Ini hari apa, Hal?"
"Kamis."
"Subhanallah!" Pekik Hasna. Langsung berdiri, dan menyerahkan bukunya di pangkuan Halimah. "Aku titip, ya."
"Mau ke mana?"
"Ada urusan. Nanti tolong kasihkan bukunya ke mbak Yumna."
Tanpa menunggu respon dari Halimah, Hasna langsung memacu langkah. Hari yang dia tunggu akhirnya datang juga. Beberapa minggu lalu kiai Umar sudah memberitahu Hasna jika akan ada santri baru bernama Rayhan Abimana.
Hasna senang mendengar itu. Tak lain dan tak bukan ialah karena kebetulan yang Alhamdullilah diridhoi oleh Allah. Brosur yang tertinggal, supir taxi yang memberikannya pada Rayhan, lalu rahmat Allah yang membawa cowok itu ke mari. Semuanya sempurna, masya Allah.
Sedikit terengah-engah karena berjalan cepat, Hasna dengan hati-hati membuka pintu belakang rumah kiai Umar.
"Assalamualaikum," bisiknya pelan. Mengendap-endap ke ruang tengah, lalu menyingkap sedikit tirai hijau muda itu untuk mengintip ke luar.
Kiai Umar, ibu Ririn dan Rayhan sedang berbincang. Hasna tersenyum memperhatikan wajah ... Rayhan. Astagfirullah. Hati Hasna terasa melompat di atas trampolin sekarang. Segera cewek itu menutup tirai, bersandar ke tembok sambil menggigit bibir bawahnya. Menahan senyum.
"Kenapa, Ndok?"
"Astagfirullah." Lagi-lagi Hasna dikagetkan oleh suara seseorang yang tiba-tiba. "Umi Salamah, Hasna kaget."
"Nguping yah?" ledek wanita berbusana syar'i itu.
Hasna menggeleng. "Mboten, Mi.
Hasna mboten nguping.¹"
"Hati-hati, lho. Inget, 'kan sabda Rasulullah SAW, 'Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.' [HR. Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]"
"Astaghfirullah hal adzim.
Astagfirullah hal adzim." Hasna mengelus dada, menyengir lebar dengan anggukan. "Maaf, Umi."
"Ya wes, bantu Umi aja bawa nampan minuman. Nanti bisa sekalian ikut ngobrol di depan."
Kontan Hasna cengengesan. Memainkan ujung himarnya sambil menggoyang-goyangkan kaki pelan. "Punten banget, Mi. Mboten maksud Hasna bade nolak, nanging Hasna rikuh.²"
"Eleh." Dengan pelan Salamah--- wanita seumuran bu Ririn---istri kedua kiai Umar, menyenggol bahu Hasna. "Rikuh tapi kok kepo."
Tbc ...
[¹] enggak, Mi. Hasna enggak nguping.
[²] maaf banget, Mi. Bukan bermaksud Hasna mau nolak, tapi Hasna malu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro