part 25.
"Kamu yakin, Nak? Nggak mau dipikirin lagi?"
"Insa Allah, Rayhan yakin, Yah."
"Kita pergi sekarang?"
"Rayhan ada perlu sebentar. Ayah tunggu di mobil aja."
Sebuah buku bersampul biru muda dikeluarkan dari tas hitam punggung. Dipandangi beberapa saat sebelum membalik badan untuk menuju perpustakaan. Meninggalkan pelataran rumah abi Umar. Berjalan sangat pelan sambil sesekali berhenti sekadar mengamati setiap inci suasana kampung asri ini. Tempat Rayhan singgah selama kurang lebih tiga bulan, merangkai berbagai kisah kasih yang tidak akan pernah terlupakan. Rayhan menyunggingkan senyum mengingat kilasan-kilasan dirinya di sini. Gelak tawa, canda gurau, pun tentang bagaimana ikatan teman terjalin erat. Semuanya terasa indah.
Menarik napas kecil, Rayhan kembali melangkah. Bertegur sapa dengan orang-orang yang berpapasan. Entahlah, menyapa lebih dulu, atau bahkan bersalaman pada setiap lelaki yang lebih tua saat bertemu kini terasa menjadi kebiasaan.
"Rayhan!" kang Ihsan melambaikan tangan. Sepertinya pria itu baru keluar dari perpustakaan.
Rayhan tersenyum, membalas lambaian tangan seraya mendekat ke teras perpustakaan. Kang Ihsan sudah duduk di bangku semen sana sambil membetulkan kopiah hitamnya yang miring.
"Ck ck ck." Menggelengkan kepala, bibir kang Ihsan tertarik lebar. Garis senyumnya nampak menawan, menimbulkan lubang kecil di pipi kanannya. "Keren bener jaketmu, Ray."
"Ah, bisa aja." Rayhan terkekeh. Duduk di sebelah kang Ihsan sambil memasukan kedua tangannya di saku boomber armi keluaran brand kenamaan itu. "Bang Ihsan lebih keren. Gagah, pinter ngaji, banyak fansnya lagi."
"Alhamdulillah, ada yang ngakuin," kelakar kang Ihsan. Membuat kekehan kembali terdengar mengisi sepi di sekiar. Perpustakaan sudah kosong, anak-anak kecil yang tadi mengisi sesak sekarang sudah kembali pulang. "Kamu udah dijemput?"
"Udah," jawab Rayhan. Menatap lurus ke jalanan tanah di depannya yang sesekali di lewati kendaraan motor. Kedua tangan yang sejak tadi di sembunyikan di dalam saku dikeluarkan, menopang di atas kaki yang menggantung. "Ayah lagi nunggu di mobil."
"Ray." Tangan kanan kang Ihsan mendarat di pundak Rayhan. Empunya menolehkan wajah dengan kedua alis bertaut. "Ana curiga kalo kamu pulang sebab kata-kata ana waktu itu."
Menyemburkan tawa, Rayhan menuduk singkat lalu membuang napas lewat mulut. "Ah! Itu udah dua bulan lalu, Bang. Lagian, kayaknya gue emang udah harus pulang, deh."
•••
Para bocah itu berhamburan keluar mushala sambil memdekap jilid di dada. Berteriak girang, saling kejar, pun tertawa terbahak karena guyonan. Mereka nampak sangat bahagia, layaknya taman bunga dengan pelangi cantik yang mengelilinginya. Tidak seperti Rayhan. Cowok yang kini bersender di tiang lorong pesantren sambil memperhatikan sekumpulan bocah tadi. Wajahnya sayu pun tangan yang terlipat di bawah dada.
Suara di dalam kepalanya terus bising, hingga keramaian di sekitar lorong itu tak dapat terdengar. Lalu lalang manusia-manusia berkoko dengan kopiah tak sedikitpun mengusik lamunannya. Hasna, haruskah dia menyerah atas cewek itu? Tetapi kenapa hatinya merasa tidak pantas untuk meraih Hasna. Mengingat cowok yang akan disandingkan adalah Abian.
Kang Ihsan menyugar rambutnya ke belakang, kembali memakai kopiah hitamnya lalu menghampiri Rayhan. "Galau, bos?" Ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa, hm?"
"Eh, Bang Ihsan." Rayhan tersenyum culas. Menggerakan kepala ke kanan dan ke kiri dengan raut bingung. "Nggak ngajar ngaji, Bang. Kok, tadi keluarnya dari kantor bukan dari mushala?"
"Bian yang ngajar," jawab kang Ihsan. Duduk di undakan sana yang diikuti Rayhan di sampingnya.
"Abian?" alis Rayhan bertaut samar.
"Sebenernya, ana cuma gantiin Bian doang. Dari awal emang dia yang jadi guru ngaji."
Hati Rayhan mulai diserang desiran was-was. Dia takut jika alasan Abian meminta kang Ihsan untuk menggantikan adalah dirinya. Bisa saja Abian merasa tidak enak hati apabila menjadi guru ngaji Rayhan, 'kan?
Rayhan menautkan kedua tangan di atas paha, membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa kering sebelum melontar tanya. "Bang Ihsan tau alasannya?"
"Alasan apa?" Bang Ihsan menggaruk alis kanannya. "Alasan Abian minta digantiin sementara?"
"Iya," jawab Rayhan sambil mengangguk kecil.
Kang Ihsan berdeham. Memperhatikan lalu lalang santriwan yang lewat di depanya. "Kamu, Ray." Lalu menoleh ke arah Rayhan yang mematung dengan raut yang susah untuk diartikan. "Bian nggak mau karena takut ntar kesannya jadi sok pintar. Padahal mah, dia emang udah pinter ya. Hafal 17 juz si Bian itu."
Seketika wajah Rayhan tertunduk. Memperhatikan jempol kakinya sambil menghela napas kecil. Abian, cowok itu benar-benar luar biasa. Jika dibandingkan, Rayhan jelas jauh berada di bawah Abian. Iya, cowok berkaos hitam itu sadar.
"Bang?" Mengangkat kepala, Rayhan menatap serius pria di sebelahnya. "Gue pengin tanya sama, lo."
"Apaan?" dahi kang Ihsan berkerut.
"Apa bener kalo jodoh itu ceriminan dari diri kita sendiri?"
Awalnya mimik kang Ihsan terlihat penasaran, akan tetapi pertanyaan yang Rayhan katakan berhasil membuat lelaki berkoko putih itu membuang napas yang sejak tadi tertahan. "Ck, kirain apaan, Ray. Emang kenapa, kok tiba-tiba tanya gituan?"
"Nggak papa, cuma ..." Rayhan berhenti sejenak. "Penasaran aja."
"Oh." Kang Ihsan mengangguk. "Bener si, kalo jodoh cerminan diri kita. Tapi sayangnya, kata-kata itu kadang disalah artikan oleh sebagian orang.
Kayak fenomena yang lagi marak sekarang ini. Banyak orang yang berlomba-lomba hijrah cuma pengen dapat jodoh yang baik. Kebanyakan tuh instan, cuma berubah penampilan doang. Dari yang pakaiannya mini, langsung pakai cadar. Dari yang begundal, tiba-tiba bersorban. Nggak papa si, sebenernya, karena hijrah juga nggak harus nunggu baik dulu. Tapi ya harus diinget, jika kita berhijrah itu harus total dan hanya karena Allah. Biar nggak dikit-dikit, cekrek! Foto lagi ikut kajian, diunggah. Cekrek! Habis salat di buat status cuma karena pengen keliatan hijrah. Oh, ya. Kamu pernah denger kalo menikah itu pelengkap agama?"
Rayhan yang sejak tadi diam menyimak lantas mengangguk. Membuat kang Ihsan sedikit menyerongkan tubuhnya, menghadap Rayhan.
"Itu juga banyak yang salah tafsir. Ada beberapa orang yang beranggapan kalo udah nikah berarti agamanya udah sempurna. Mereka lupa kalo separuh agamanya lagi ada pada dirinya sendiri. Sebab, ada tiga tahapan, Ray. Islam berarti orang yang bersyahadat, Iman itu keyakinan yang datang dari hati, dan Ihsan adalah cara pun rasa seorang muslim dalam beribadah. Jadi, kalo tahapan itu udah kita miliki, maka disitulah separuh agama kita terisi, sementara separuhnya lagi ada pada saat kita sudah menikah."
"Apa berarti orang yang buruk nggak bisa dapat jodoh yang baik?"
"Nggak." Kang Ihsan menggeleng. "Ray, Allah menciptakan setiap makhluk hidup itu berpasangan. Dan setiap yang dipasangkan, pasti untuk saling melengkapi kekurangan. Intinya, terus muhasabah diri. Benahin diri sedini mungkin, niatan hanya pada Allah, dan untuk Allah."
•••
Rayhan tersenyum penuh arti mengingat percakapannya waktu itu. Bangkit dari sana sambil membuang napas lega. Kang Ihsan ikut bangkit, melirik buku di tangan kanan cowok itu sekilas.
"Itu buku buat Hasna?" tanya kang Ihsan. Dia sudah tahu tentang Hasna dan Rayhan. Itulah sebabnya kadang kang Ihsan merasa tidak enak saat mengingat dulu pernah membicarakaan ke hebataan Bian. Padahal waktu itu Rayhan tengah merasa sedih soal masalahan perasaan.
"E'em." Mengulurkan buku tadi, Rayhan menyengir. "Mita bantuannya yah?"
"Siap. Ntar ana kasihkan Yumna, biar dia yang ngasih ke Hasna."
"Makasih ya, Bang. Gue pamit."
Selesai
Hamdalah, alhamdulillah, cerita ini bisa kelar di WP. Niatan mau pindah pf cuma wacana. Aku terlalu mager copi tempel draf. Wkwkwk. Semoga suka, dan maaf atas kekurangan yang ada. Terima kasih. Sekian, aasalamualaikum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro