part 14.
Hasna tidak tahu kenapa dirinya susah sekali mengendalikan perasaan saat berada di dekat Rayhan. Gugup, tegang, deg-degan, tetapi juga sangat senang.
Tadi, setelah salat dzuhur, Hasna dikagetkan dengan kedatangan Rayhan ke rumahnya. Cowok itu masih mengenakan baju koko berwarna cokelat susu lengan pendek dipadukan sarung hitam. Kopiah hitam yang ada di saku baju koko berhasil meyakinkan Hasna jika Rayhan langsung datang kemari setelah salat Jumat di masjid. Rambut yang sedikit panjang---menjuntai sampai menyentuh mata---terlihat acak-acakan hingga membuat Rayhan mirip bad boy tampan yang bertobat karena seorang cewek lugu ala novel romansa remaja.
"Kamu tau rumahku? Perasaan aku nggak pernah bilang, Ray?"
Rayhan berdeham, memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak di kursi kayu itu. Haruskah Rayhan mengaku jika dia mencarinya lewat buku keanggotaan yang ada di meja mbak Yumna saat di perpustakaan? Ah, itu terdengar memalukan sekali, bukan?
"Gue nggak sengaja denger obrolan lo sama Mbak Yumna pas di rumah Abi Umar," kilah Rayhan sambil mengerjap.
Entah terlalu polos atau memang tidak mau memperpanjang urusan, Hasna langsung saja mengangguk percaya. Dia masih terduduk kaku di kursi samping Rayhan---di teras rumah sederhananya. Tidak ada siapa pun di sini, hingga rasa risi akan pandangan orang yang mungkin melihat saat melewati rumahnya terpancar jelas di wajah ayu cewek berlesung pipi itu. Mengajak Rayhan masuk pun rasanya sama saja seperti bermain pemantik api di dekat gudang minyak.
Lagi, Rayhan berdeham, berusaha mencairkan suasana sekaligus menarik perhatian Hasna agar mengangkat kepala. Cewek itu terus menunduk, memainkan lengan baju pink-nya yang berenda putih.
Hasna tersadar sesuatu. Segera dia bangkit, melempar cengiran kikuk pada Rayhan yang menatapnya sambil menautkan alis samar. "Eh, maaf, lupa kalau belum dikasih minuman, ya. Aku pamit mau ambil dulu di dapur."
Cewek itu memasuki rumah, membuat Rayhan mendesah pasrah. Padahal niatnya hanya ingin menyambung obrolan, bukan memberi isyarat jika dia sedang kehausan. Ah, Rayhan menyesal karena berbasa-basi.
Lima menit berlalu, Hasna keluar membawa nampan berisi segelas air putih dan satu toples kacang goreng yang tinggal setengah. Diletakkannya isi nampan itu di meja kecil yang menjadi sekat kedua kursi mereka. "Silakan diminum. Cuma seadanya."
"Makasih."
Hasna kembali duduk, memangku nampan plastik bundar berwarna merah muda dan kembali diam.
"Na," panggil Rayhan. Hasna menoleh. "Mau nemenin gue keliling daerah sini?"
"Hah?" Hasna mengerutkan dahi. "Keliling?"
Mengangguk kecil, Rayhan meneguk minumannya sampai setengah gelas. "Iya. Gue pengin ke alun-alun atau nggak ke kebun teh. Mumpung Jumat, kegiatan pondok senggang."
Hasna menipiskan bibirnya, terdiam sambil menautkan jari jemari di pangkuan. Dia bingung harus menjawab bagaimana, karena sebenarnya Hasna juga sedang suntuk dan berencana pergi ke kebun teh bersama Mbak Yumna minggu ini, sekaligus membeli keperluan bulanan. Akan tetapi, sekarang Rayhan mengajaknya pergi bersama. Haruskah dia menolak atau atau menerima ajakan itu? Ya Allah, Hasna bingung.
"Gimana?" tanya Rayhan memastikan. Akhirnya Hasna mengangguk gamang. Rayhan yang sudah harap-harap cemas mengembangkan senyum lega.
"Aku ambil tas dulu di dalam."
"Oke."
Sepeninggalan Hasna, Rayhan bersorak girang, bangkit dari duduknya lalu merapikan rambut di depan kaca. Tak lupa, sarung hitam yang membebat kaki lekas dilepaskan, menyisakan celana jeans yang ujungnya sedikit dipilin. Jelas, Rayhan tidak akan mengajak Hasna pergi tanpa persiapan. Bahkan gawai pintar yang seharusnya diserahkan pada pengurus pondok masih dia bawa di saku celana.
Mumpung sekolah pulang cepet. Nggak papalah sekali-kali keluar pondok, gumamnya dalam hati. Entahlah, Rayhan juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sebelumnya dia tidak pernah sesemangat ini saat hendak pergi bersama seorang cewek---meskipun pergi kali ini berarti naik angkot, menjaga jarak, dan tentu saja tidak ada kontak fisik seperti gandengan yang biasa dia lakukan.
•••
Selama di perjalanan, Hasna banyak sekali menunjukkan tempat-tempat menarik di kota ini. Sejarah dan asal usul nama tempat pun tak luput dari penjelasan Hasna yang sekarang berperan sebagai pemandu wisata untuk Rayhan. Cowok itu tampak menikmati tur kecil-kecilan ini dengan sukacita dan penuh semangat. Berswafoto di beberapa tempat, mencicipi aneka makanan khas---salah satunya apem, serta belajar menawar menggunakan bahasa Jawa saat membeli permen kapas pada bapak paruh baya dengan gerobak biru di tepi jalan.
Rayhan merasa senang hingga pada titik di mana dia ingin waktu berhenti sejenak agar dia bisa menikmati waktu lebih lama bersama Hasna.
Sebelum hari mulai sore, Hasna dan Rayhan memutuskan segera beranjak dari alun-alun kota agar lekas menuju kebun teh. Setelah sepuluh menit perjalanan ditempuh menggunakan angkot, mereka berdua sampai di tempat tujuan yang ramai pendatang.
Rayhan menarik napas panjang dengan kedua tangan terbuka lebar. Udara sejuk yang segar, pemandangan asri yang tersaji, serta Hasna yang menemani.
Cewek itu duduk di pondok kayu sambil mengayunkan kedua kakinya yang menggantung, memperhatikan para pengunjung lain yang sedang berfoto di tengah hamparan teh bersama para sanak saudara. Hasna tersenyum tipis. Tatapannya menyendu, mengingat almarhum kedua orang tuanya yang dulu sering mengajaknya berkunjung ke sini. Rayhan mendekat, berdiri di depannya dengan senyum yang mengembang. Cowok itu benar-benar merasa senang sekarang.
“Nggak mau foto-foto?” tanya Rayhan.
Hasna menggeleng sebagai jawaban. "Nggak, ah. Kamu aja sana foto, atau mau aku fotoin?"
Duduk di samping Hasna, Rayhan menggeleng. Dia mengeluarkan gawai di saku jeans, kemudian mengarahkannya ke depan wajah Hasna yang terlihat polos menatap ke arah kamera.
Cinta? Benarkah perasaan Rayhan sekarang adalah sebuah cinta? Lalu, harus bagaimana dia menyikapinya?
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro