part 13.
Acara haul di pondok Pesantren Nurul Taqwa begitu meriah. Dihadiri banyak sekali ulama-ulama dari berbagai kota. Semua santri dan santriwati juga berkumpul dalam satu tempat---menyiapkan dan mengontrol apa-apa saja yang diperlukan di sana. Aroma khas minyak misik, busana muslimah, serta suka-cita dari warga sekitar yang ikut menyemarakan acara sukses membuat pelataran Pesantren Nurul Taqwa sesak padat. Karpet merah terbentang luas sepanjang mata memandang, sekat kain berwarna biru setinggi setengah meter menjadi pembatas akhwat dan ikhwan.
Di atas panggung besar dengan backround banner gambar Pesanten Nurul Taqwa, abi Umar dan para ulama lain tengah duduk bersila, menundukkan wajah serta menggulir butiran tasbih di jari-jemari tangan kanan. Kompak berbusana serba putih, para ulama-ulama di depan sana nampak khusuk memanjatkan do'a yang diiringi ucapan 'Aamiin' oleh setiap pengunjung.
Atmosfer sakral menguar sangat kentara saat suara asmaul husna yang dilantunkan bersama kian terdengar khidmat. Berbagai kalangan, berbagai usia, berbagai ras suku berkumpul menjadi satu kesatuan. Sama rata tanpa pembeda. Memanjatkan doa untuk sanak saudara yang sudah tiada, menyambung ukuah islamiah, juga ajang temu dengan para guru Besar sebagai bagian dari mencari ridho Allah melalui mereka.
Rayhan dan Abian duduk di antara santri putra dan bapak-bapak di bagian kanan. Sementara bagian kirinya di isi oleh para perempuan yang terlihat hanyut dalam suasana. Bahkan banyak di antara mereka yang menangis haru dan tersentuh, membuat Rayhan beberapa kali melirik saat celah dari sambungan kain pembatas tersingkap hembusan angin.
Hasna, gadis mungil itu juga terlihat tersedu-sedu---duduk tak jauh dari Rayhan bersama Halimah dan mbak Yumna, menundukan wajah sambil sesekali menyeka air mata.
Rayhan iri melihat itu. Dia merasa jika mungkin hatinya sudah terlalu keras hingga tak bisa seperti para wanita-wanita itu, atau beberapa teman Rayhan yang ikut menundukkan wajah sangat dalam. Termasuk Jaka, anak itu tidak sedikitpun mengangkat wajah dari kertas do'a di pangkuannya. Rasa takut akan mengerasnya hati membuat Rayhan gelisah. Dia tahu jika seburuk-buruknya manusia adalah manusia yang berhati mati, seperti sabda Rasulullah; 'Ketahuilah, dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, seluruh tubuh akan baik. Jika daging itu rusak, seluruh tubuh juga akan rusak. Ingatlah, segumpal daging itu adalah sebuah hati” (HR Bukhari dan Muslim).
Rayhan ingat betul tiga belas ciri-ciri hati yang mati, yaitu;
1. Tidak gelisah saat meninggalkan ibadah.
2. Berani meninggalkan shalat.
3. Tenang saat melakukan dosa.
4. Tidak tersentuh saat mendengar ayat Al-Qur'an.
5. Terus menerus berulang maksiat.
6. Sibuk mengumpat, fitnah, dan berburuk sangka.
7. Membenci nasihat baik dan para ulama.
8. Tidak ada rasa takut akan peringatan kematian, kuburan dan akhirat.
9. Gila pada dunia tanpa takut dosa.
10. Senang melihat orang susah dan menderita.
11. Tidak pernah bersyukur pada Allah.
12. Tidak berbakti pada orang tua (suami jika sudah berkeluarga.)
13. Selalu memiliki rencana keburukan.
Astagfirullah. Rayhan mengusap wajahnya sambil beristigfar beberapa kali. Menyadari banyak sekali ciri-ciri dari hati mati pada dirinya. Cowok berkoko putih itu menghembuskan nafas dalam. Dadanya terasa penuh dengan perasaan bersalah dan menyesal pada bunda, satu nama yang Rayhan sebut dalam doa panjangnya. Teman, mereka yang sekarang Rayhan sesalkan karena tidak pernah dia ingatkan untuk kebaikan, malah kadang kala Rayhan sendiri ikut terjerumus berbuat ke maksiatan.
Ya Allah, apa yang Rayhan lakukan selama ini?
Sungguh sia-sia sekali waktunya yang semakin hari semakin berkurang tetapi belum memiliki bekal.
"Ray!" Bian menepuk pundak Rayhan.
Rayhan meraup wajahnya, mengangguk paham lalu bangkit dari tempatnya karena acara telah usai. Banyak orang berbondong-bondong maju ke depan untuk sekadar bersalaman dengan para ulama.
"Mau ikut maju?" tanya Abian. Menelisik wajah Rayhan.
Mengangguk sambil membenarkan letak kopiah hitamnya, Rayhan mengikuti Bian di depan. Berdesakan dengan ratusan orang sampai akhirnya berhasil bersalaman.
Selesai acara, semua tamu undangan mulai meninggalkan pesantren Nurul Taqwa. Menciptakan suasana lengang---berbanding terbalik dari beberapa menit lalu di pelataran pesantren Nurul Taqwa.
Botol dan boks snack berserakan, sampah plastik kresek pun ikut menyebar ke penjuru tempat. Membuat para santriwati sigap mengambil sapu lidi dan sekop, sedangkan santriwan menggulung tikar dan membantu membereskan peralatan. Termasuk Rayhan dan Bian.
"Yan!"
"Emm," respon Bian tanpa menoleh. Menggulung kabel sound sistem di siku kanan. "Kenapa?"
"Ini acara rutin yah?"
"He'em. Acara haul sekaligus peringatan tragedi dua tahun lalu."
"Tragedi?" Ulang Rayhan dengan kerutan di dahinya. Bian menoleh, menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Tragedi apa?"
"Kecelakaan maut bis para calon peziarah." Abian menghela napas berat. Menghentikan kegiatannya sesaat. "Semuanya meninggal. Kedua orang tua dari salah satu orang yang aku kenal juga jadi korban. Termasuk orang tua Jaka."
Rayhan terdiam.
Hasna! Apa cewek itu ..., bukannya bunda pernah bilang jika orang tua Hasna sudah meninggal. Apa ....
"Aku ke sana dulu," kata Bian menunjuk belakang panggung.
Mengangguk, Rayhan mengedarkan mata, mengamati satu persatu cewek berkerudung abu-abu untuk mencari Hasna.
Di mana cewek itu?
•••
"Assalamualaikum." Rayhan mengusak rambut bagian belakangnya. Menundukan wajah, memperhatikan jari jemari kakinya yang telanjang tanpa alas.
Suara dari seberang telepon menjawab lirih.
Hening sesaat sebelum Rayhan kembali bersuara. "Lo nggak di pondok?"
Hasna bergumam. Terasa canggung. Rayhan duduk di ranjangnya, merebahkan punggung ke belakang. Menatap plafon di atas kepala sambil mengayunkan kakinya yang menggantung. "Besok belum balik ke sini?"
"Belum. Insya Allah lusa aku baru balik."
Rayhan mengangguk. "Lo lagi ngapain?"
Beberapa detik terlewat tanpa sahutan.
Bego! rutuk Rayhan dalam hati. Kenapa jadi secanggung ini? Bukankah mereka sudah akrab?
Ah! Menelpon Hasna sampai harus berbohong pada pengurus dengan dalih menelpon bunda ternyata ide buruk. Rayhan tidak tahu kenapa dia jadi sebodoh ini.
"Aku lagi di dapur," jawab Hasna, membuat Rayhan terduduk seketika. "Kamu lagi apa?"
"Gue lagi di asrama."
"Tau nomerku dari mana?"
Seketika pikiran Rayhan berlarian. Dia bingung apa harus jujur jika sebenarnya nomor Hasna sudah ada di kontaknya cukup lama? Atau ...?
"Dari bunda!"
Suara kekehan Hasna terdengar. Rayhan tersenyum lalu berderap ke arah meja belajar. Menekan tombol lampu belajar. Dihidupkan dan mematikan beberapa kali.
"Bu Ririn ngirimin aku kerudung, lho."
"Serius?" Alis Rayhan bertaut samar, bibirnya masih senantiasa tersenyum lebar. "Kapan?"
"Kemaren. Itu, lho, kerudung biru muda yang aku pakai pas ke rumah abi Umar. Oh, ya, sampaikan makasih sama bu Ririn, yah."
"Bunda pasti seneng kalo lo suka."
"Aku suka banget," suara Hasna antusias. "Enak banget bahannya."
"Alhamdulillah. Gu ...,"
"Assalamualaikum!" Jaka dan Bian masuk secara tiba-tiba.
Rayhan gelagapan, menggaruk rambutnya lalu berbisik pada Hasna jika ada urusan dan segera mematikan sambungan setelah mengucapkan salam.
Tbc ...
A/N
Ini cerita spiritual pertama yang aku tulis. Jadi, maaf kalau kesannya agak sok. ಥ‿ಥ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro