Tigang dasa tiga
Jakarta Fashion Week. Bukan hanya menjadi acara reuni para wanita Jakarta, tapi acara ini juga menjadi acara bergengsi yang memberikan penampilan secara visual, dengan berbagai mode platform untuk menyuarakan fashion setiap negara yang bisa mendunia.
Sponsor dan partner yang bergabung membantu acara Jakarta Fashion Week ini lah yang membuat Prilly bergerak mencari targetnya sekarang. Siapa lagi kalau bukan Martha Amidjaja? Adik dari lelaki yang sedang ia incar saat ini. Seharusnya, tidak sulit untuk mencari Martha karena Prilly memiliki kartu bebas akses.
Martha Amidjaja adalah pemilik brand mode mewah Gentle Woman Group Ltd., jadi memang sudah dipastikan wanita itu ada di sini dan memberikan peran yang lumayan besar. Apa lagi, akhir-akhir ini desain pakaiannya tengah digemari oleh semua kaum perempuan.
Prilly berjalan menuju area backstage dilihatnya Martha uang tengah sibuk sana sini mempersiapkan para peragawan busana brand-nya agar terlihat pas saat tampil.
Prilly sengaja ingin menyapanya di saat-saat crowded begini agar bisa meraih informasi semudah mungkin.
"Kak Martha!" sapa Prilly menepuk bahu Martha.
Martha menoleh ke arahnya, sempat bingung namun kemudian ekspresi wanita itu langsung berubah. "Oh, hai Prill? Apa kabar!" sapanya mengajak Prilly cium pipi kanan dan pipi kiri.
"Baik Kak, ya ampun... baru ketemu lagi sama Kak Martha setelah lahiran, gimana anak-anak sehat, Kak?"
"Sehat. Puji Tuhan, mereka udah mau sepuluh bulan nih!"
"Ya ampun... ikut senang dengarnya, aku tadi lihat semua koleksi brand Kakak lho, semuanya bagus banget... I'm in love with all this colour," kata Prilly sambil menunjuk pada peraga busana.
Martha mengangguk dan tersenyum ramah. "Thanks, sebetulnya memang sengaja tahun ini pilih soft-soft color, bosen sama yang ngejreng-ngejreng!"
Prilly terkekeh pelan, lalu dia berusaha menggenggam tangan Martha. "Kak, can I talk with you for a minute?"
Martha mengerjapkan matanya. "Why? Ada sesuatu yang penting kah?"
Prilly mengangguk antusias. "Very, aku rasa Kakak bisa menolongku."
"Oke, setengah jam lagi di ruang istirahatku ya, Prill. Sebentar lagi mereka semua akan tampil, aku harus maju diakhir."
"Oke, Kak!"
Mendapatkan Martha Amidjaja ternyata semudah itu, Prilly hanya cukup bersabar selama empat puluh menit setelah peragaan busana itu selesai, dan menunggu Martha selebrasi bersama para tim nya di backstage.
Martha benar-benar menepati janjinya dan meminta Prilly untuk duduk di kursi ruang istirahatnya. Ruangan yang sudah disiapkan untuk Martha Amidjaja hari ini. Sumpah ya, mimpi apa Prilly kalau sampai betulan menjadi ipar dengan Martha?
Martha Amidjaja itu definisi cewek keren, she got pediatrician, dan suaminya juga ternyata dari kalangan elite atas. Sungguh keberuntungan yang nyata, dan bagi Prilly, Martha Amidjaja adalah role modelnya. Selama ini, dia mengagumi Martha sampai tahap dimana setuju kalau keluarga Amidjaja memang tidak pernah lepas dari perhatian semua orang apa lagi tentang gaya hidup mereka yang keren.
"Hai, tunggu lama, ya? Sori ya, Prill..."
"Its okay, Kak. Aku malah nggak enak sama Kakak karena nggak enjoy karena kedatangan aku."
Martha berdecak tidak suka. "Nggak lah, aku malah senang lihat kamu juga bisa ikut peragaan Gentle Woman. So, ada hal penting apa, Prill? Sampai mendatangiku begini? Baru kali ini kita bicara panjang kali lebar lho, biasanya sih aku ngobrol sama kakakmu si Celina." ujarnya menyindir Prilly pelan. "By the way, Celina dimana? Masih sibuk?"
Prilly terkekeh pelan. "Kak Celina sibuk di Mata Indonesia, jadi gini Kak... aku kan pernah dan udah beberapa kali sering golf dengan Om Sienggih, dan kebetulan keluarga kita lagi ada proyek bareng juga Kak,"
"I know," kata Martha sambil menyeruput kopinya. "Aku dengar itu dari Papaku, kenapa, Pril?"
"Kak... maaf kalau aku lancang," ringis Prilly mengusap kedua tangannya. "But I believe you, nggak tahu kenapa feeling aku kuat banget sampai ingin bicara dengan Kakak hari ini,"
Martha masih memandanginya dengan tanda tanya, tentu saja ini akan menjadi hal paling canggung, tapi Prilly tidak bisa berhenti jika dia sudah melangkah sejauh ini.
"Kak, I have feeling towards Mas Laksmana," ujar Prilly kali ini berusaha memberanikan diri. "Beberapa kali kami berdua makan bersama, dan bertemu di rumah sakit, I just realized that I have feeling something spesial," Prilly menyembunyikan raut malunya dengan wajah menunduk. "... I love his personality, dan bagaimana Mas Laksmana ketika berbicara dengan aku... aku sangat happy."
Martha menganggukkan kepalanya secara lambat. "Dan maksud kamu memberitahu aku ini..."
"Aku ingin Kakak membantu aku untuk menyampaikan perasaanku pada Mas Laksmana, barangkali... Kakak bisa membantu aku untuk mendekatkan aku dengan Mas Laksmana?" tanya Prilly.
Martha menyipitkan matanya, tampak tengah berpikir namun masih kelihatan santai. "Did you know my brother... sudah mempunyai tunangan?" tanya Martha kepada Prilly.
Prilly mengangguk kecil. "I know, tapi itu cuman kabar selentingan saja sih, Kak. Sampai sekarang, buktinya nggak pernah terjalin, kan?"
"Kamu tahu siapa tunangannya?" tanya Martha lagi.
Prilly terdiam, sebaiknya dia berpura-pura tidak tahu saja daripada harus tahu. "Aku... nggak tahu, Kak."
"Masak iya?" tanya Martha tak percaya. "Tunangannya itu terjebak penculikan sama kamu juga lho, masak iya kamu nggak tahu? Ansara, reporter junior dari Mata Indonesia lho dia," ujar Martha dengan santai memberitahu Prilly.
"O-oh... aku... nggak expect kalau tunangan Mas Laksmana dia, Kak." ujar Prilly pelan. Apa aktingnya kali ini terlihat buruk? Kenapa Martha Amidjaja tidak percaya kepadanya?
"Semua orang tahu, harusnya sih Kakak kamu tahu lebih dulu... Mas Laks itu," lalu Martha geleng-geleng kepala sambil terkekeh pelan dan agak terdengar sinis. "... kakakku itu berkali-kali menyabotase pekerjaan Ansara hanya demi melindungi gadis itu, kamu betulan nggak tahu?"
Ah, sial.
Jadi... Ansara betulan bekerja dibawah privilege keluarga Amidjaja meskipun di perusahaan keluarganya? How bad is it!
"Aku nggak tahu lho, Kak!" kata Prilly berespons tenang. "Sungguh, jadi... oh.. ternyata Ansara ya?"
Martha mengangguk lagi. "Satu minggu lagi, mereka akan menikah. I'm sorry for that, Prilly... kakakku sudah mantap dengan calon istrinya, our family was waiting for this moment every single year! Mas Laks itu..."
"Oh..." Prilly mengangguk dan tertawa canggung. "Aku ikut senang dengarnya, Kak."
"Thank you," lalu Martha meraih kedua tangan Prilly dan menepuknya pelan berusaha menenangkan perasaan wanita itu. "Percaya, rahasia ini nggak akan bocor, I'll keep that... Thanks karena kamu sudah mau bicara denganku soal perasaan kamu. Tapi... yakin deh," katanya sambil tersenyum manis. "Kamu akan dapat yang lebih dari kakakku."
Oke, keputusannya salah. Martha Amidjaja tidak bisa menjadi sekutunya.
Prilly betulan kecolongan, bagaimana bisa Laksmana akan menikah dalam waktu secepat ini? Sudah Prilly bilang, bukan? Harusnya lelaki itu memberikan kesempatan kepadanya untuk lebih dekat. Prilly perlu menunjukkan dirinya kepada Laksmana kalau dia bisa lebih baik dari Ansara.
Jika sudah begini, Prilly akan meminta Papinya mempercepat rencananya. Tidak bisa dibiarkan begitu saja, Prilly tidak mau kehilangan cintanya.
***
Garin Saadah mendapatkan panggilan dadakan untuk membawakan kebaya khusus rancangannya untuk calon menantu keluarga Amidjaja. What a surprise? Ternyata, rancangan kebayanya begitu pas di lekukan tubuh Nona Ansara, kliennya kali ini.
Dengan wajah ayu, penuh misteri, dingin, dan mempesona seperti itu wajar jika anak sulung dari Sienggih Amidjaja bisa jatuh cinta. Sekarang, Garin mengerti tipikal kecantikan yang diinginkan oleh keluarga Amidjaja. Karena hampir rata-rata, spek menantu keluarga konglomerat ini memiliki kecantikan yang luar biasa.
"Soooo pretty!"
Garin membawa Ansara keluar dari kamar, dipertontonkan pada Virginia Misbach, calon mertua Ansara, lalu Ibu kandungnya, Ayunda dan Eyang Poer, serta tak lupa para menantu Amidjaja yang lain yang kini tengah terpesona melihat kecantikan Ansara.
"Oh my God!" seru Ariel dengan sumringah. "Cantik sekali..."
Eyang Poer berdiri, mendekat ke arah Ansara dan memutari tubuh cucunya. "Kebayanya cuantik tenan... pintar sekali yang buatnya." pujinya pada Garin.
Garin terkekeh pelan dengan bahagia. "Terima kasih, Eyang. Ini semua juga berkat tubuh Ansara yang sangat bagus, kencang, dan body goals!" lalu Garin dengan sengaja menyentuh pinggul Ansara. "This, saya suka pinggul kamu yang berisi, kokoh, dan membentuk. Dada kamu juga berisi, bagus sekali." pujinya.
Ansara menunduk, menutupi dadanya yang sedikit terbuka dengan malu. "Oh ya ampun... jangan digoda begitu ini calon menantuku!" bela Virginia. "Kamu suka, Sara?" tanyanya pada calon pengantin.
Ansara mengangguk. "Suka, Tante..."
"Kok masih Tante sih, Sayang?" protes Virginia. "Sekarang panggil Mama, can you?" pintanya dengan manis.
Ansara melirik pada Ibuknya, lalu ketika Ayunda memberikan anggukan maka Ansara pun mengangguk. "Bisa, Mama..."
"Astaga..." Virginia memeluk Ansara dengan begitu erat. "I don't know what to say, tapi hari ini aku bahagia sekali!" katanya kepada Ayunda dan Eyang Poer. "Terima kasih, karena kalian sudah memberikan kesempatan kedua untuk aku membiarkan mendapatkan menantu seperti Ansara,"
"Oooohh Tante... don't cry..." ujar Ariel yang memberikan sehelai tisu karena ikut terharu.
Denok sibuk mengambil foto Ansara untuk dikirimkan kepada Martha. Katanya, dalam beberapa hari Martha akan menyusul ke Solo. Tidak disangka, pernikahannya ternyata sudah di depan mata.
Tapi, bukan itu yang Ansara pikirkan, selama ini Ansara memikirkan pekerjaannya yang ditinggal begitu saja semenjak sakit. Lalu, cuti dadakan yang membuatnya harus pergi ke Solo dan sudah beberapa hari Ansara tidak menanyakan soal kabar kantor.
Mungkin, setelah acara fitting ini Ansara akan menelepon Ni Nyoman Wastukencana, atau tidak Gemi.
"Nanti akan ada veil yang cukup besar dan panjang," kata Garin memberitahu Ansara. "Veil itu sudah dicocokkan serasi dengan warna kebaya ini, jadi... tetap harus pakai veil ya, cantik. Karena pemberkatannya tetap di gereja, kan?"
Ansara mengangguk. "Iya,"
Nah, alasan baru lagi yang membuat kakinya memar-memar biru, Ansara sibuk menguruskan soal pernikahannya ke Disdukcapil, dibantu oleh asisten Opa Rajasa, Gana yang bulak balik Jakarta—Solo hanya untuk membereskan dokumen pernikahannya dengan Laksmana.
Aturan orang kaya, selagi ada uang, maka semuanya akan cepat. Dan Ansara baru percaya sekarang.
Keberadaan Rajasa Amidjaja di Solo juga yang berhasil membuat keresahan Eyang Poer dan keresahan Ibuknya bisa terkendali. Setelah ini juga, Ansara harus mengabari Gemi di Jakarta agar bisa datang ke Solo, tidak lupa juga Kama.
Tapi, mungkin bisa jadi Kama sudah lebih dulu tahu soal pernikahannya karena dia anak Traghana, kan?
"Habis ini, kita ke makam Ayah dulu ya?" pinta sang Ibuk padanya.
Ansara mendadak diam, memandangi wajah Ibuknya dengan sendu, namun kemudian Ayunda menggeleng meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Nggak apa-apa, kan cuman minta restu? Ayah juga perlu tahu anaknya yang paling besar ini akan menikah."
Ansara mengangguk. "Ibuk... nggak sedih?"
Ayunda menggeleng dengan tatapan heran. "Kenapa juga Ibuk harus sedih? Ibuk senang banget, akhir-akhir ini kamu kelihatan bahagia sekali, Nduk."
Ansara menahan air matanya yang akan turun. "Oh ya?"
"Iya," Ayunda memandangi wajah putrinya tanpa bosan. "Kamu kelihatan bahagia, dan kamu juga kelihatan lagi jatuh cinta, jadi... Ibuk nggak mau mengganggu kebahagiaan kamu, Nduk."
"Terima kasih ya, Buk." ujar Ansara dengan sangat tulus. Betulan, ini adalah rasa terima kasih yang pernah Ansara ucapkan dengan sangat tulus, belum pernah Ansara merasa betapa bersyukur nya hidup yang dia miliki. "Terima kasih, Ibuk nggak pernah lelah buat mendampingi aku, selalu kasih yang terbaik buat aku... makasih ya, Buk."
Ayunda meraih kepala putrinya dan menciumnya kening Ansara. "Sama-sama, Nduk."
Eyang Poer memukul lengan Ansara dengan kipas tangannya. "Wes ta lah... ojo pada nangis begini, suasana bahagia dibikin terharu sama kalian. Nggak lihat, orang-orang jadi pada sedih begitu?" tunjuknya pada Virginia, Ariel dan Denok yang tengah menyeka air mata mereka yang turun.
"Lho? Kok di tonton?" seru Ayunda tak kalah kagetnya.
"So Sweet..." ujar Ariel menyeka air matanya yang terus turun.
Denok ikut mengangguk setuju. "Aku dapat tugas dari Mbak Martha buat bantu Ansara siap-siap. Hari ini, kita pergi ke tempat khusus ya, Sar... tempat ini buat luluran khusus pengantin gitu,"
"Sekarang?" tanya Ansara melongo.
"Iya sekarang," jawab Denok. "Yuk, orangnya udah nungguin, tempatnya udah di reservasi sama Mbak Martha."
Astaga...
Perkara yang lain saja belum selesai sudah timbul acara baru?
***
Laksmana menjemput sang Papa di Bandara Adi Soemarmo dan niatnya setelah ini Laksmana memang akan pergi ke gereja untuk mengurus pernikahannya yang tinggal beberapa hari ini.
Begitu sang Papa masuk ke dalam mobil, Laksmana melihat wajahnya yang tidak biasa. Entah karena memang sudah lama Laksmana tidak melihatnya, tapi wajah Papanya memang kelihatan kuyu dan kelelahan.
"You okay? Papa tumben nggak segar begitu?" tanya Laksmana ketika Papanya sibuk memakai seatbelt.
Sienggih meraba wajahnya sendiri. "Am I? Papa lagi kurang tidur," jawabnya.
"Sudah aku bilang jangan forsir tenaga," balas Laksmana sambil menjalankan mobil. "Ingat umur, Pa. Kerja ya kerja, nggak usah diforsir kayak dikejar tenggat begitu, memang siapa juga yang mau tagih kerjaan Papa?"
Sienggih terkekeh pelan mendengarnya. "Ada salam dari Om Adidjaya dan Prilly, she admires you a lot you know?"
"Lalu aku harus apa?" jawab Laksmana seperti biasa, dingin dan tidak peduli.
"Dari dulu, Om Adidjaya sepertinya memang ingin menjadikan kamu menantunya, dan ya... mungkin memang bukan jodohnya, Papa sudah tawari kamu beberapa kali dengan Prilly pun kelihatannya nggak ada kemajuan dari kamu,"
Laksmana terkekeh sinis mendengarnya. "Kemajuannya sama Ansara lagi nih, Pa. Gimana? Aku sendiri aja bingung kok bisa aku balik sama gadis yang dulu aku benci setengah mati sama kelakuannya,"
"Menurutmu Ansara banyak berubah?"
"Nggak juga," jawab Laksmana lagi, jika dipikir-pikir perbandingannya tidak begitu signifikan. "Dia masih jadi gadis yang suaranya nggak bisa dikontrol, tapi... akhir-akhir ini aku suka dengan apa yang dia lakukan juga,"
Sienggih berdecak miris sambil geleng-geleng kepala menikmati pemandangan jalanan kota Solo. "Gawat, kamu betulan cinta sama dia,"
Laksmana enggan menjawab, mungkin benar kalau sekarang toleransinya mengenai Ansara semakin besar dan tidak bisa terkendali.
"Papa mau tanya sesuatu sama kamu," kata Sienggih kali ini dengan serius. "Kamu yakin dengan keputusan kamu ini? Kalian baru saja kembali bersama, maksudnya apa tidak terlalu cepat untuk ambil keputusan menikah?"
Laksmana menoleh sekilas. "Papa ini bagaimana? Kemarin-kemarin Papa sibuk minta aku untuk menikah, sekarang? Giliran aku mau menikah Papa malah—"
"Karena kamu memilih gadis itu," ujar Sienggih dengan nada bicara yang tidak seperti biasanya. "Papa bukan nggak setuju, tapi kamu tahu? Gadis itu berasal dari keluarga Mamamu, itu artinya kamu memang akan terus berurusan dengan keluarganya sampai kapan pun. Papa nggak melihat ada kebebasan dari kamu lho, Laks."
"Mama nggak pernah menyinggung soal ini sama aku, Pa." kata Laksmana berusaha meluruskan apa yang membuat Papanya khawatir. "I'm okay with that, namanya pernikahan memang pasti akan ada urusan dan ikut campur tangan keluarga lainnya,"
Sienggih menggeleng tidak puas dengan jawaban anaknya. "Bukan itu yang Papa maksud, kamu akan mengerti ketika kamu sendiri merasakan dampak dari keluarga kita sendiri. Oke, katakan sekarang kamu diberikan restu selancar mungkin, tapi jika ke depannya kalian ada masalah, Mamamu, mungkin Ibu mertua kamu, akan ikut campur. Dan tahu apa yang lebih buruk dari itu? Mereka berdua satu keluarga."
Laksmana heran, kenapa bisa Papanya berpikir sejauh itu? "Papa pernah bahas ini dengan Mama?" tanya Laksmana balik.
Sienggih menggeleng. "Nggak, kenapa?"
"Aku yakin, kalau Papa bahas ini dengan Mama, pasti Mama akan marah."
"Kenapa begitu?" kini giliran Sienggih yang heran.
Laksmana tersenyum tipis, sepertinya menikah puluhan tahun juga tidak membuat Papanya mengerti sifat istrinya sendiri. "Secara nggak langsung, Papa sudah meragukan keluarga Mama. Selama ini, Mama memang banyak membantu keluarga Ansara, tapi di luar kuasa Papa, kan?" ujarnya sedikit menyentil masalah yang pernah terjadi. "... dan sekarang Papa meributkan soal kondisi keluarga kita dengan Ansara karena Ansara adalah pihak keluarga Mama, kalau Mama dengar ini pasti Mama—"
"Jangan singgung soal masalah ini dengan Mamamu," potong Sienggih berdeham tak enak. "Papa hanya khawatir soal kamu."
Laksmana tersenyum miring mendengarnya. "Papa nggak perlu khawatir, cukup doakan aku dengan Ansara saja."
***
a/n:
GUDANG GARAM JAYAAA!
Eh salah, Laksmana Jayaaa!
Hati kalo udah kecantol memang susah, siapa yang sangka kalau bertahun-tahun benci sekarang malah cinta banget?
Minggu, 26 Mei 2024.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro