Tigang dasa pitu
"Cok, gue ikut turut berbahagia atas pernikahan lo. Tapi sori banget, gue nggak bisa ke Solo, Sar. Pekerjaan di sini numpuk banget, besok gue harus meliput di gedung KPK langsung. Ini juga soal mertua lo, Ansara. Gue masih cari siapa dalangnya, siapa tahu Bang Kama mau bantu gue."
Semalam, sebelum ia benar-benar menikah seperti hari ini Ansara tidak memiliki akses untuk berbicara dengan Laksmana ataupun memberitahu lelaki itu. Informasi yang Ansara dapatkan juga, semalam di kediaman Eyang Poer memang cukup serius, katanya keluarga Amidjaja semuanya tengah merayakan pesta bujang Laksmana dan tidak ada yang memegang ponsel sampai pagi buta.
Akses komunikasi yang Ansara punya hanya Gemi, jujur Ansara tidak mau acara pernikahannya berantakan, tapi jika menyangkut soal Om Sienggih jelas Ansara tidak bisa diam saja.
Ansara bahkan menghubungi Celina Widjaya dan Aditya Widjaya yang masih tidak ada kabar apa pun. Satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini hanya Gemi, tapi disaat genting begini pun Gemi masih belum memberikan kabar apa pun.
Jantungnya betulan lepas ketika petugas KPK menangkap mertuanya langsung ke tempat. Tidak ada basa basi, tidak ada perkiraan, semuanya terjadi begitu saja tepat di depan matanya. Rasanya, pemberkatan di gereja tadi hanyalah sebuah ilusi semata yang Ansara bayangkan.
Namun keberadaan Ibuk dan Asnamira membantu Ansara sadar diri kalau hari ini dia memang sudah menjadi istri orang. Dia memang sudah menjadi pengantin, dan hari pernikahannya benar-benar hancur setelah pemberitaan TV Nasional mengabarkan nama Sienggih Amidjaja sebagai pelaku utama menerima suap uang negara yang harusnya dikelola untuk megaproyek.
Semua keluarga Amidjaja pergi terbang langsung ke Jakarta. Tadi, Martha sempat menghampirinya sebentar dan bilang kalau Ansara tidak boleh kemana-mana sebelum situasi keluarga dikatakan stabil.
Tapi yang membuat Ansara kesal, gendok, dan ingin marah adalah; Laksmana ikut terbang ke Jakarta dan meninggalkannya sendirian di Solo setelah pemberkatan tadi pagi. How funny isn't right?
"Suamimu sedang bantu Papanya, kamu tenang duduk di sini. Sabar, Nduk. Nanti, kalau situasinya sudah lebih enakan, Laksmana pasti menghubungi kamu." itu yang dikatakan Eyang Poer setelah melihat Ansara termenung dia selama berjam-jam setelah ditinggalkan rasa bahagia yang hanya lewat sekejap mata.
Tidak apa-apa, pikir Ansara. Hanya saja dia merasa jadi manusia bodoh yang tidak bisa melakukan apa-apa sampai tidak diikutsertakan seperti ini. Apa salahnya jika sampai harus ditinggalkan begini? Bukankah Ansara sudah menjadi bagian keluarga Amidjaja? Kenapa Ansara ditinggalkan begini saja? Bahkan oleh suaminya sendiri yang melengos pergi begitu saja sejak tadi pagi?
"Nduk," panggil Ibuk menepuk bahu Ansara. "Makan dulu, ya? Mau Ibuk suapi?" tawarnya.
Ansara menunduk, melihat sesendok nasi yang ada di depannya. "Buk, aku harusnya ikut ke Jakarta juga, kan? Kenapa aku ditinggal begini, Buk?"
Ibuk menggeleng dengan senyuman tipis. "Kejadiannya begitu cepat tadi, semua orang kewalahan, Nduk."
"Tapi nggak begini caranya, Buk!" tekan Ansara tidak terima dengan apa yang orang-orang katakan di sisinya sementara pikirannya melayang kemana-mana. "Aku tahu lebih dulu sejak semalam, tapi orang-orang itu..." kata-katanya terhenti menyadari kalau saat ini amarahnya pada keluarga Amidjaja bukan main-main. "... orang-orang itu sejak semalam susah dihubungi! Setidaknya, semalam aku bisa menyelamatkan mereka, dan tadi pagi aku malah sibuk ngurus pernikahanku meskipun aku udah tahu! Aku sebodoh itu, Buk!"
Asnamira yang ada di depannya lantas berdecak dingin tidak suka dengan apa yang kakaknya katakan. "Kak, itu semua bukan salah Kakak!" tekannya meyakinkan Ansara dengan serius. "Sejak kejadian penculikan itu sampai sekarang, status Kakak itu masih dirumahkan! Dan kalau Kakak bekerja, dan semua tragedi penculikan itu nggak terjadi, udah dipastikan Kakak akan tahu semuanya. Tapi ini kasusnya berbeda, udahlah Kak... jangan bikin capek pikiran sendiri!"
"Nggak bisa sesimpel pemikiran kamu!" lawan Ansara mulai mendebat adiknya. "Tadi pagi Kakak baru aja menikah, Mir! Dan keluarga yang Kakak nikahi itu harusnya bisa Kakak—"
"Tapi mereka sengaja nggak mau membebani Kakak, udahlah Kak."
"Maksud kamu?" ujar Ansara sedikit tersinggung.
Asnamira memutarkan bola matanya dengan malas. "Kakak itu karyawan Mata Indonesia, Mas Laks, Om Sienggih—tahu kalau semua ini pasti ulah Mata Indonesia dan mereka nggak mau menempatkan Kakak di posisi yang sulit, ngerti?!"
"Sudah-sudah!" lerai Ibuk membentak kedua anaknya. "Kenapa jadi kalian yang perang sana sini? Nduk, tolong sabar dulu sebentar..." Pinta Ayunda dengan memohon. "Tolong kendalikan dulu pikiran kamu, ya? Benar apa kata adikmu."
Ansara menundukkan kepalanya dengan lunglai. "Itu berarti, menandakan kalau aku memang nggak berguna apa-apa buat jadi menantu dari keluarga Amidjaja, Buk." katanya dengan rendah diri.
Eyang Poer menggelengkan kepalanya pelan, memandangi wajah cucunya yang kusut dan kalut. "Kalau kamu mau membela keluarga suamimu, sana pergi ke Jakarta." tegas Eyang Poer memberikan keputusan pada Ansara.
Ayunda menoleh dengan terkejut. "Buk!"
"Biarkan," potong Eyang Poer lagi. "Sekarang, anakmu punya tanggung jawab untuk melindungi nama baik keluarga suaminya, kenapa kamu membiarkan dia untuk terus diam di sini?"
Ansara serasa mendapatkan secercah harapan dari apa yang Eyang Poer katakan padanya. Mungkin, itu terdengar jahat dan sangat sinis, tapi Ansara mendapatkan banyak makna yang tersirat dari apa yang Eyang Poer katakan.
"Pergi, Nduk." kata Eyang Poer lagi dengan yakin. "Kamu punya hak untuk maju sekarang, sekalipun karier kamu mungkin akan terancam setelahnya."
Ansara menoleh kepada Ibuknya meminta izin. "Buk, aku nggak bisa tenang, tolong biarkan aku pulang ke Jakarta lebih dulu ya?"
Ayunda berdecak gusar, setengah hatinya mengatakan kalau Ansara harus diam di Solo sampai keadaan semuanya tenang. Tapi, di sisi lain apa yang Ibuknya katakan soal tugas Ansara yang kini berstatus seorang istri juga tidak bisa ia sangkal bulat-bulat.
"Janji sama Ibuk, jangan ikut campur urusan apa pun. Kamu ke Jakarta, hanya perlu mendampingi suamimu, dan lihat apa yang keluarga Amidjaja lakukan. Jangan pernah lakukan apa pun ngerti?" pinta Ayunda dengan serius.
Ansara mengangguk. "Aku janji, Buk."
***
Ruang keluarga besar Amidjaja dipenuhi oleh para lelaki. Tentu saja, Rajasa Amidjaja, Luki, Laksmana, Adjie, Gianjar dan Tjarda. Nakula Brata sudah menjalankan tugasnya dan tengah menyelidiki kenapa nama Sienggih Amidjaja kliennya yang maha penting itu bisa masuk ke dalam daftar hitam.
Motif apa yang diinginkan oleh pelaku sehingga memfitnah orang sebersih Sienggih Amidjaja? Bahkan, total kekayaan bersihnya saja lebih dari uang yang dituduhkan ia ambil dari mega proyek. Semua ini terasa janggal dan tidak masuk akal. Orang yang sengaja bermain dengan Sienggih Amidjaja sepertinya tidak tahu sekaya apa Sienggih Amidjaja sampai harus mendapatkan hal kotor dari gelontoran dana yang tidak seberapa.
"This is ridiculous." ujar Nakula Brata pada semua orang. "Pihak KPK tidak akan mendapatkan data apa pun dari hasil pengeluaran dan pemasukan bank data Pak Sienggih, kekonyolan apa ini?!" tanyanya pada semua orang.
Rajasa yang sudah tegang sejak tadi terduduk dengan tegap. "Siapa yang berani mencemarkan nama anakku seperti itu?" tanyanya pada Nakula.
Nakula Brata menggeleng tidak yakin. "Apa kita harus umumkan kekayaan bersih Pak Sienggih?" tanyanya pada Rajasa. "Saya siap untuk mengumumkan kekayaan bersih total keluarga Amidjaja ini."
Luki menggeleng tidak setuju. "Don't do that," pintanya pada Nakula. "Keluarga kami tidak pernah berani-beraninya memamerkan nominal yang kita miliki bahkan sepeser pun."
Yang Luki katakan itu memang kenyataan. Selama ini, masyarakat menilai keluarga Amidjaja secara telanjang—terang-terangan—tanpa bukti konkret seberapa besar nominal dan jumlah yang dimiliki keluarga Amidjaja.
Berbeda dengan kasus keluarga Angkasa setelah kematian Darius Wreksaatmadja, yang dimana total kekayaan dan harta yang pria itu miliki langsung bisa diumumkan kepada publik.
Dan keluarga Amidjaja tidak bisa melakukan itu. Amidjaja sudah menjadi salah satu kaum elite Indonesia yang membantu perekonomian Indonesia dari hasil pertambangan minyak milik keluarga sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Jadi, bagaimana bisa karena kasus receh begini kekayaan keluarga Amidjaja harus diperlihatkan?
"Apa yang Luki katakan benar Nakula," kali ini Gianjar Amidjaja ikut bicara. "Cukup cari tahu siapa dalang yang telah memasukkan nama adik saya, karena saya bisa saja langsung menghubungi Presiden saat ini juga hanya untuk menghentikan mega proyek sialan yang tidak berguna itu."
"Pa, calm down." pinta Luki dengan serius. "Jangankan Presiden, ketua KPK saja belum menghadap pada keluarga kita,"
Laksmana memantau pergerakan semua anak-anak Traghana yang tengah bekerja mencari siapa dalang semuanya. Tjarda tengah sibuk menyelesaikan satu persatu stasiun televisi yang terus menyorot nama sang kakak agar ditenggelamkan hari ini juga.
Rajasa Amidjaja mengetuk jarinya di atas sofa sambil menarik napasnya dengan berat. "Panggil ketua KPK, saya ingin bicara dengan beliau." pintanya pada Gana.
Gana mengangguk, segera melakukan tugasnya ketika atasannya meminta. Sementara itu, Laksmana baru saja mendapatkan pesan masuk kalau Ansara sudah sampai di bandara dan menanyakan keberadaannya.
Damn, this woman...
Laksmana mengutuk dirinya sendiri yang membiarkan istrinya sejak tadi tanpa tahu perkembangan darinya. Sial, semua ini benar-benar menghancurkan hari pernikahannya.
Baru saja Laksmana akan pergi menjemput Ansara ke bandara, telepon masuk dari ketua penyidik KPK tidak bisa Laksmana anggurkan begitu saja.
"Aku akan ke kantor KPK sekarang," kata Laksmana kepada semua orang yang ada di ruangan.
Luki langsung beranjak dari duduknya dan menatap Laksmana. "Gue ikut." putusnya.
Rajasa masih terdiam, kepalanya sangat berat dan rasanya Rajasa ingin bisa tertidur. Tapi, memikirkan Sienggih yang tengah diperiksa oleh para cecunguk gila itu membuat tekanan darahnya tinggi.
Ini semua tidak bisa dibiarkan.
***
Prilly Widjaya mematikan televisi setelah melihat pemberitaan siang ini yang begitu ia nantikan sejak semalam. Hatinya tidak merasa tenang, setelah mata-matanya mengatakan kalau pemberkatan pernikahan Ansara dan Laksmana sudah terjadi dan bisa-bisanya keluarga Amidjaja tidak memedulikan gertakan yang Papinya berikan.
Ini semua sudah cukup memusingkan, Prilly perlu bertemu dengan Laksmana hari ini kalau bisa. Tapi melihat info dari sang Papi kalau hari ini mungkin tidak akan secepat proses yang Prilly bayangkan, sepertinya Prilly harus menunggunya kembali.
Brak!
Gebrakan pintu kamarnya baru saja membuat Prilly terlonjak dari tempatnya ketika tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi.
Penampilan kakaknya begitu amat kusut, wajah tegangnya bercampur dengan segala emosi. Prilly tahu kalau kakaknya pasti baru saja mengetahui soal rencana Papinya.
Dan tiba-tiba saja, Aditya Widjaya menamparnya tanpa belas kasih. "ARE YOU OUT OF YOUR MIND?!" teriak Aditya di hadapan wajah Prilly.
Sial, pipinya terasa kebas sekarang dan Prilly hanya bisa tertawa sinis setelah mendapatkan tamparan dari sang kakak. "Koh? Are you okay?" tanyanya meledek Aditya.
Aditya berdecak dan meraih dagunya dengan salah satu tangannya. "Lo gila! Apa-apaan ini huh?!" tanyanya dengan dingin.
Prilly melepaskan cengkeraman tangan sang kakak pada dagunya. "Koh! Berhenti sok bodoh begini!"
"Lo yang harusnya berhenti untuk bertindak bodoh!" bentaknya pada Prilly. "Apa yang lo minta dari Papi? Papi itu..." ujarnya dengan napas berantakan. "Lo secara nggak langsung sudah menggali makam Papi tahu nggak?!"
Prilly mendengus dengan sinis. "Koh! Lo pikir gue terlibat dengan permainan kotor Papi? I'm not!" teriaknya membela diri. "Papi melakukan tugasnya karena selalu diremehkan oleh Om Sienggih!"
"YA AND YOU LOVED HIS SON!" teriak Aditya tak mau kalah. "Lo gila, Prill... Papi memanfaatkan keberadaan lo untuk menyiram semua rasa haus dendamnya sama Om Sienggih! Mau ditaruh dimana muka kita?!"
Prilly berdecak lalu tertawa sinis. "Gue secinta itu sama Laksmana, Koh! Dan lo sendiri pun nggak bisa bantu apa-apa buat gue?"
"Prilly!" teriak Aditya dengan berang.
Tapi Prilly tidak lagi takut dengan apa pun, selagi semua apa yang Papinya lakukan itu benar, maka Prilly percaya dengan apa yang seharusnya ia miliki. "Bisa lo panggilkan Laksmana untuk gue, Koh?" pintanya dengan wajah memelas. "Sekali aja."
"Obsesi lo udah gila!" desis Aditya dengan tajam. "Dengar gue baik-baik, setelah ini Mata Indonesia akan hancur karena permainan kotor Papi dan lo! Dan setelahnya, gue akan pastikan lo menyesal dan lo harus bertanggung jawab!"
Setelah mengatakannya, Aditya pergi meninggalkan Prilly sendirian. Sekarang, Prilly tidak bisa bernapas dengan lega, dadanya begitu penuh dan sangat sempit, kepalanya terasa pusing dan ada satu nama yang ada di kepalanya. Dia harus menemukan Ansara, si perempuan yang tidak berguna dan tidak ada apa-apanya itu.
***
"Ya Tuhan, menantu Mama!"
Virginia menerjang Ansara dengan pelukan begitu tahu fisik sang menantu kini ada di hadapannya. Rasa penyesalan karena meninggalkannya begitu saja di Solo menjadi tak terbendung, harusnya tidak seperti ini kejadiannya jika petugas KPK tidak menjemput suaminya begitu saja.
"Kamu naik apa dari bandara? Kenapa nggak telepon Mama? Kalau Mama tahu kan bisa dijemput sama Pak Kardi,"
Ansara menggeleng dengan senyuman tipis. "Nggak apa-apa, Ma. Mas Laks tadi bilang dia masih nggak bisa jemput karena harus langsung ke kantor KPK,"
"Sara, Mama minta maaf karena hari ini harusnya pernikahan kamu—"
"Nggak apa-apa, Ma." potong Ansara lebih tidak enak dengan apa yang ia lakukan. "Sebenarnya di sini yang salah aku, sejak semalam aku tahu tapi aku nggak bisa menghubungi kalian,"
Virginia mengerutkan keningnya tak mengerti lantas mengajak Ansara untuk masuk ke kamar Laksmana beristirahat. "Maksudmu gimana, Nduk?"
"Semalam," Ansara menarik napasnya dengan gusar. "Temanku mengabari kalau nama Papa masuk daftar hitam dan sepertinya memang masuk berita Mata Indonesia paling utama, sejak semalam aku telepon Mama, telepon Mas Laks, telepon Mbak Martha juga, nggak ada yang bisa aku hubungi karena kalian lagi bachelor's party."
"Mama memang lihat beberapa log panggilan kamu, tapi kenapa kamu nggak ketik pesan aja, Nduk?"
"Aku takut, Ma..." bukan sekali dua kali Ansara menghadapi masalah begini. "Aku takut hapeku lagi disadap, mungkin sekarang pembicaraan kita berdua juga disadap, Ma."
"Kamu..." Virginia menatap menantunya dengan amat menyesal. "Aduh, Sara... kita hubungi Gana, ya?"
Ansara menggeleng. "Nggak Ma, ini penting banget, aku harus ke kantor KPK sekarang juga nggak apa-apa, ya?"
"Istirahat dulu, Sara." pinta Virginia. "Kamu kan baru sampai, sekarang udah jam sebelas malam juga."
"Nggak, Ma." putusnya tidak tenang. "Aku harus bicara sama Papa, aku juga harus kasih tahu Mas Laks,"
"Oke-oke, tapi kamu jangan pergi sendirian, Mama akan hubungi Gana dulu untuk panggil salah satu anak Traghana ya? Kamu nggak boleh sendirian."
Ansara mengangguk, dia lebih memilih menunggu perintah apa yang Mama mertuanya inginkan. Mungkin memang benar, posisinya saat ini bisa jadi berbahaya kalau Ansara pergi sendirian.
Lima belas menit kemudian, Kama sudah menjemputnya. Temannya yang tidak mengucapkan sepatah dua kata untuk pernikahannya hari ini. Sekalian, Ansara akan menagihnya.
***
a/n:
happy weekend guys :)
mau nanya dong, kalo udah putus kalian ngapain? ini seneng ngga, sedih juga ngga gitu. jadi, saya bingung sama perasaan sendiri, knpa ya😌
malah curhat
maap y
Sunday, 13 October 2024.
salam sayang,
ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro