9. Radang Dingin
Reaksi es batu mengenai kulit
.
.
.
Vale melepaskan pelukannya. "Ma, kita naik apa ke panti asuhan?"
Tiba-tiba muncul seseorang dibalik pintu keluar. "Biar saya saja yang mengantarkan, Tante."
Kini mereka sudah berada dalam perjalanan menuju panti asuhan. Keira tak henti-hentinya menangis, mungkin bayi itu merasa akan ditinggal oleh ibunya untuk jarak yang begitu lama.
"Sudah sampai." Freeya melepaskan sabuk pengaman begitu juga dengan Vale yang duduk di sampingnya. Kemudian Freeya turun dan membukakakn pintu saat Wulan akan turun—wanita itu tampak kerepotan saat bayinya tak henti-hentinya menangis.
Aditya dan Kenzi juga ikut membantu membawakan barang-barang milik Keira.
"Lo nggak turun, Ve?" sapa Freeya saat yang lain sudah masuk terlebih dahulu ke panti asuhan tersebut.
Tak ada tanggapan dari Vale, cewek itu masih terlihat menunduk dengan pandangan yang kosong kemudian terdengar suara tangis yang membuat Freeya cepat-cepat langsung membawa Vale dalam pelukan.
"Lo tau kan, Free. Gue dari dulu kepengen banget punya adik cewek." Freeya mengelus-elus punggung Vale. "Tapi kenapa Tuhan hanya nitipin itu ke Vale cuman sebentar di saat kebahagiaan itu datang dan semuanya hilang."
Freeya semakin mempererat pelukan, membuat Vale dengan leluasa meluapkan emosi hingga tangisan cewek itu teredam dalam pelukan sahabatnya.
Beberapa menit kemudian terlihat seorang anak kecil datang, membuat sejoli itu dengan segera melepas pelukannya. "Kak, dipanggil mama katanya nggak mau masuk dulu apa? Soalnya kita mau pamitan pulang," ucap Kenzo dengan nadanya yang cadel.
"Oh, iya. Sebentar." Kemudian Kenzo kembali masuk ke panti sedangkan Vale terlihat membersihkan sisa-sisa air mata.
"Gimana? Udah nggak kelihatan habis nangis, kan?"
Freeya mengangguk. "Udah, sana masuk. Cepetan ditungguin yang lain."
"Ayo, temenin," ucap Vale dengan nadanya yang manja sambil membawa tangan Freeya dalam dekapan.
"Dih, jijik," canda Freeya yang berusaha menjauhkan tangan Vale dari tubuhnya tapi ditahan oleh Vale saat cewek itu malah mempererat dekapan hingga membuat keduanya tertawa terbahak-bahak saat memasuki panti asuhan.
Sesampainya di sana, terlihat Vale sangat bahagia dan tidak terlihat sedih sama sekali membuat Wulan hanya bisa menggeleng pasrah.
"Baik, kalau gitu kami pamit dulu ya, Bu. Titip Keira, tolong jagakan anak itu seperti anak Ibu sendiri."
Suara tangis Keira yang sedari tadi tak berhenti kini bertambah kencang, membuat Wulan tak tega untuk meninggalkannya.
"Dengan senang hati, Bu."
***
Sudah tiga hari ini Freeya tak masuk sekolah lantaran ada urusan keluarga. Hatinya bertambah sepi saat Rio juga tidak ada kabar setelah pertengkaran itu apalagi saat mengingat momen perpisahan bersama mamanya di bandara setelah dari panti asuhan.
"Ngelamun aja!" sapa Heera saat membuyarkan lamunan Vale hingga membuat cewek itu mengerjap sangking terkejutnya.
"Ngagetin lo."
"Tumben jam segini udah dateng?"
Vale memang sengaja berangkat lebih pagi saat Aditya ada kegiatan di sekolah karena berkemah sedangkan Kenzi kebetulan sedang menginap di rumah temannya dan juga Vale takut ketinggalan angkot--lagi--sehingga memutuskan untuk pergi ke sekolah saja.
"Nggak papa. Pengen aja," jawab Vale sekenanya.
"Freeya belum masuk?"
"Gak tau. Kayaknya sih belum soalnya dia belum ngabarin gue."
Heera yang tadi berdiri kini meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi sebelah Vale. "Emangnya Freeya ke mana?"
"Kasihan dia."
Melihat perubahan ekspresi Vale, membuat kedua alis Heera menyatu. "Maksudnya?" tanya penasaran.
Sedangkan Vale seperti teringat sesuatu. "Ah sudahlah, lupakan." Vale mengibas-ibaskan tangannya yang bertanda bahwa cewek itu tak lagi minat membahas masalah yang sedang dialami oleh Freeya. Namun, hal itu malah membuat Heera mendengus kesal.
"Yahh kok gitu sih, Ve. Udah bikin anak orang penasaran juga. Sekarang you harus tanggungjawab," ucap Heera dengan wajah memelas.
Memang dari tampangnya, Heera ini seperti gadis polos yang sangat lugu. Ia sangat kalem dengan pakaiannya yang lebih anggun dan feminim, membuat Vale tidak berpikiran buruk tentangnya.
"Tapi janji, ya. Nggak bakal bilang ini ke siapa-siapa?"
Heera mengangguk. "I'm janji. Emang Freeya ke mana?" ulangnya dengan pertanyaan yang sama.
Vale terlihat kebingungan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. "Janji dulu, soalnya cuma gue yang tahu masalah ini bahkan Jovanka sama Veronica aja nggak tahu."
"Iya, emang apa?"
Vale dan Heera pun menautkan jari kelingking mereka lalu Vale berkata, "Lo tau kan kalo Freeya adalah anak selebritis dan pastinya segala tingkah lakunya bakal disorot media?"
Heera berdeham, ia tampak mendengarkan dengan antusias. "Terus?"
"Parahnya kakaknya hamil di luar nikah."
Bagaikan disambar petir di siang bolong, itu sungguh berita yang sangat mengejutkan. Pasalnya keluarga Freeya terkenal sebagai keluarga salah satu selebriti yang tidak pernah tersandung kasus satu pun dan hal tersebut yang menyebabkan Freeya tidak pernah ikut merundung jika teman-temannya sedang melakukan perundungan di sekolah karena takut akan merusak image keluarganya.
"You're serious, Ve?"
Dengan segera Vale membekap bibir Heera. "Jangan keras-keras."
"Ups, maaf."
Meskipun Heera lama tinggal di luar negeri tapi kurang lebih cewek itu sudah memahami latar belakang sahabat barunya.
***
Setelah semalam Kenzi pulang diantar oleh mama temannya kini sarapan pagi ada yang menemani saat kemarin Vale makan sendiri sedangkan Aditya masih belum pulang dari berkemah.
Aktivitas paginya sekarang berubah saat dulu selalu bangun kesiangan dan bangun-bangun sudah tersedia sarapan dan kini seakan berbanding terbalik. Vale harus bangun pagi dan menyiapkan segala keperluan sekolah Kenzi begitu pun dengan dirinya, masak, dan menyapu semuanya begitu melelahkan bagi Vale. Hari paginya tak seindah dulu.
Kenzi dan Vale pun sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah saat dengan telaten Vale harus menyuapi Kenzi yang tidak ingin menghabiskan masakan buatannya. Ternyata begini rasanya susah-susah masak tapi tidak dimakan oleh penghuni rumah, kini Vale merasakan menjadi mamanya saat dulu ia juga sering makan di luar ketimbang makan di rumah apalagi enggan merasakan masakan mamanya.
Kebetulan sekolahan Kenzi tidak begitu jauh dari rumahnya jadi sebelum berangkat ke sekolah, Vale mengantarkan ke sekolah Kenzi terlebih dahulu.
"Udah, sampe sini aja nganternya," ucap Kenzi seakan malu jika harus diantar sampai di depan kelas.
Hal tersebut membuat Vale dejavu. Sebab semasa sekolahnya dulu, Vale juga pernah merasakan hal itu saat ia selalu menolak jika papanya mengantarkan dirinya sampai di depan kelas padahal sekarang masa itu adalah masa yang sangat ia rindukan.
"Oke, oke," kekeh Vale. "Sekolah yang rajin, ya?"
Vale mengacak rambut Kenzi dengan gemas. Namun, anak itu malah menangkisnya dengan wajah yang cemberut kemudian meraih tangan Vale dan menciumnya lalu melenggang pergi dari hadapan Vale tanpa mengucapkan kata salam--seakan pencuri yang takut ketahuan oleh orang.
Cewek itu hanya tersenyum kecil. Perlakuan Kenzi barusan adalah seperti dirinya beberapa tahun yang lalu.
Vale pun berbalik dan kembali melangkah, mencari angkot yang lagi-lagi harus ketinggalan karena tadi pagi ia bangun agak kesiangan apalagi ditambah harus mengurus pekerjaan rumah. Melihat tak kunjung ada tanda-tanda angkot melaju, Vale pun menghentikan sebuah pick up pengangkut sayur untuk menumpang agar sampai ke sekolahnya agar mempersingkat waktu.
Sesampainya di sekolah, Vale langsung berlari dan untung saja gerbang sekolah belum sepenuhnya tertutup.
Vale langsung berlarian ke koridor sekolah tapi agak terkejut saat melihat mading sekolah tampak ramai dan banyak sekali orang bergerombol--tidak seperti biasanya. Pasti ada berita yang sangat booming hingga memutuskan Vale untuk melihat karena rasa penasarannya.
Setelah memasuki kerumunan dan ikut berdesak-desakan, mata Vale membulat saat melihat sebuah pamlet yang berisi berita bahwa kakak Freeya, seorang anak selebriti yang terkenal hamil di luar nikah.
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
14 April 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro