Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Tekanan Atmosfer

Suatu tekanan yang menggerakkan udara bagaikan jatuh pada lubang yang sama.

.

.

.

Sepulang sekolah Vale langsung mengganti pakaian lalu ikut Wulan untuk melihat rumah baru dari hasil uang asuransi kecelakaan pesawat tersebut.

Tentu, beberapa hari yang lalu mereka habis bertengkar saat Wulan mengatakan bahwa sudah membeli rumah tanpa konfirmasi dan membuat keduanya tak bertegur sapa.

Sekarang Vale memutuskan untuk menurunkan gengsinya agar bisa ikut melihat rumah itu bersama Wulan. Bagaimanapun Vale tidak tega bila membiarkan mamanya pergi sendiri karena wanita paru baya itu terbiasa ditemani oleh supir.

"Kok berani banget sih langsung bayar total tanpa tau kondisi rumah yang sebenarnya, Ma. Nggak takut hasilnya zonk?" ucap Vale ketus saat mereka sedang berada di taxi dengan Aditya dan Kenzi yang ditugasi Wulan untuk menjaga Keira yang sedang tidur di kontrakan.

Perkataan Vale yang sarkas membuat ibu-anak itu sering bertengkar dan tidak cocok antara satu dengan yang lain.

"Ya, karena Mama takut nanti kalo nggak dilunasi duluan rumah itu bisa keduluan sama yang lain soalnya tempatnya strategis banget. Kamu pasti bakalan suka banget, Ve. Mama juga kalo pegang uang banyak suka kalap. Makanya langsung Mama iyain aja deh soalnya Mama yang minta tolong buat cariin rumah itu ke temen Mama ... tenang aja, Ve. Dia amanah kok. Percaya deh sama Mama."

Mendengar hal itu Vale hanya mendengus kesal lalu menatap ke arah jendela.

"Mama ngerasa nggak enak aja kalo nolak, soalnya dia udah susah-susah nyariin rumahnya buat Mama."

Vale menatap lagi ke arah Wulan. "Yakin temen Mama nggak ada maksud lain? Apalagi kata Mama kemarin itu kalo nggak salah dia temen baru Mama di arisan, gimana Ve nggak ragu!"

Perkataan yang bernada sindiran tersebut membuat Wulan juga ikut menoleh.

"Kakak kok seakan nuduh temen Mama yang aneh-aneh. Meskipun itu temen baru Mama tapi semua orang juga tau kalo dia itu baik, Kak. Di arisan dia sering bantuin temen-temen Mama yang lain juga kok. Nggak mungkin lah kalo dia sampai nipu Mama. Mama yakin itu." Wulan menjeda kalimatnya.

"Iya dulu ada papa, Kak. Biasanya papa yang ngurusin ini semua, sekarang Mama bingung kalo mau minta tolong ke siapa jika bukan ke temen Mama," ucap Wulan saat pertengkaran dua hari yang lalu itu kini terjadi lagi.

Ada sedikit luka di hati Vale saat Wulan mengucapkan hal tersebut.

"Lah terus Vale dianggap apa, Ma, selama ini?" Kali ini nadanya naik beberapa oktaf. "Mama, bisa cerita ke Ve atau seenggaknya konfirmasi dulu kek biar nggak terkesan ambil keputusan sendiri. Soalnya bagaimanapun itu masih tetep uang papa. INGAT, itu bukan uang Mama jadi harus cari keputusan bersama. Jangan main hakim sendiri!"

Perkataan itu membuat supir taxi menoleh.

"Mohon maaf mengganggu waktunya. Sudah sampai, Bu."

Mendengar hal itu Vale langsung menoleh saat supir taxi menatap wajahnya.

"Bu, bu, bu dikira gue ibu lo apa, hah? Gue belum nikah, ya. Jangan sembarangan kalo ngomong!"

Kemudian Vale keluar dari taxi hingga terdengar suara pintu taxi yang ditutup cukup keras, sedangkan Wulan cepat-cepat membasuh buliran bening yang berada di ujung matanya. Entah, wanita itu selalu kalah jika berdebat dengan anaknya dan selalu berakhir dengan tangis.

"Aduh. Ma-maafin anak saya, Bapak. Dia kalo lagi emosi emang gitu."

Dengan santai supir taxi itu menjawab, "Nggak apa-apa, Bu. Namanya juga remaja, emosinya masih labil. Pengennya cuman dimengerti tanpa mau ngerti."

Wulan hanya tersenyum tipis lalu memberikan ongkos kepada supir taxi tersebut.

"Terima kasih, Bu. Semoga hari Ibu menyenangkan."

"Iya, Bapak. Sama-sama. Terima kasih juga."

Wulan pun turun kemudian taxi itu pergi meninggalkan tempat tersebut.

Kini yang berada di hadapan mereka hanyalah tanah kosong sebagai tempat pembuangan sampah. Ke mana rumah itu berada? batin Wulan.

"Nggak salah nih, Ma? Ini sih cuman tempat bau yang penuh dengan kuman," kata Vale dengan ekspresi jijik. "Jangan-jangan Mama kena tipu lagi," tambahnya dengan nada menyindir.

Raut wajah Wulan seketika berubah waswas saat mendengar pernyataan dari Vale. Ada benarnya juga, batin Wulan membuat pikiran negatif merasuki tapi dengan segera menggeleng.

Wanita itu adalah tipe orang yang mudah terpengaruh.

Di lain sisi saat melihat perubahan ekspresi wajah mamanya, membuat Vale terdiam. "Dicek lagi nyoba, Ma. Apa bener ini alamatnya."

Wulan mencocokkan kembali alamat itu. "Bener kok ini tempatnya. Seharusnya di sini tuh ada rumah kita, Ve."

"Telfon aja, Ma. Barangkali temen Mama salah ngirim alamat kali."

Kemudian wanita paruh baya itu mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. Namun, beberapa kali terdengar suara operator bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif.

"Langsung ke rumahnya aja kalo gitu!" ucap Vale menyeret tangan Wulan untuk pergi dari tempat tersebut.

Cewek itu memang tidak suka dengan sifat mamanya yang mudah mempercayai orang hanya dengan perkataan saja.

Sebab, dulu masalah seperti ini pernah kejadian dan untung saja ada papanya yang mencegah. Namun, mengapa tak belajar dari kesalahan?

***

Genta masih sibuk dengan pekerjaan paruh waktunya sebagai pelayan kafe.

Lahir dari keluarga pas-pasan membuat Genta harus bekerja lebih giat agar adik satu-satunya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat selama ini cowok itu bersekolah hanya mengandalkan beasiswa sedangkan ayahnya meninggal saat Genta masih kecil dan ibunya bekerja sebagai guru TK yang pendapatannya pun tak seberapa.

Tidak ada moto dalam hidup Genta. Ia selalu pasrah mengikuti arus hanya saja Genta memang terlahir cerdas dan tidak pernah melewatkan kesempatan hingga keberuntungan-keberuntungan seperti beasiswa, memenangkan sebuah olimpiade datang menghampiri. Namun, tidak dengan kondisi lingkungan sosialnya.

"Eh, Anak magang! Bersihin tuh meja yang ada di depan. Udah tau kotor malah diem aja."

Predikat anak magang yang identik dengan penakut dan selalu diremehkan masih melekat pada diri Genta padahal ia bekerja di kafe itu sudah lebih dari setahun.

Tanpa melawan Genta langsung membersihkan meja yang kotor.

Beberapa menit kemudian datang customer yang marah-marah menghampirinya. "Jadi kamu pelayan di kafe ini?"

Genta menoleh, ia tampak bingung.

"Siapa nama kamu? Mana manajer kamu? Saya mau aduin ke atasan kamu kalo service di sini amat buruk."

"Mohon maaf, Bu. Maksudnya bagaimana? Bisa bicara dengan tenang biar semuanya jelas."

"Ini loh kata anak saya. Mentang-mentang yang beli anak kecil jadi kurang ajar ngelayaninya. Saya tidak terima."

Hingga customer tersebut memaksa untuk mencari manajer kafe tapi Genta halangi hingga keributan itu membuat manajer kafe keluar dari ruangannya. "Ada apa ini?"

Melihat ada manajernya, Genta pun langsung terdiam.

"Ini, Bapak, saya juga kurang paham. Ibu ini dateng tiba-tiba memarahi saya."

Lalu customer itu langsung menjelaskan maksud kedatangannya kepada manajer kafe, membuat Genta hanya menunduk pasrah sambil melihat ke bawah hingga pandangannya tak sengaja menatap sesosok yang ia kenal.

Hah, itu bukannya Rio pacarnya Va-Va siapa sih? Oh iya Vale. Ngapain tuh berduaan sama cewek lain, mesra lagi, gumam Genta saat manajernya sedang sibuk menjelaskan pada customer yang berada di hadapan.

Siapa sih yang tidak mengetahui pasangan yang sangat famous di sekolahnya? Rio dan Vale adalah sejoli yang sama-sama memiliki kekuasaan di sekolah.

"Genta!"

Lamunan itu tersadar saat seseorang memanggil namanya. Ia menoleh mendapati customer tadi sudah pergi dan menyisakan dirinya dengan manajer kafe yang berdiri berhadapan.

"Sebagai hukuman karena membuat customer tidak nyaman, mulai besok kamu pindah ke shift malam!"

Kemudian manajer itu kembali ke ruangannya.

"Ta-tapi, Pak. Itu bukan saya," ucap Genta melemah di akhir kalimat.

***

Sesampainya Vale dan Wulan berada di rumah tersebut. Tertulis di bagian pagar bahwa rumah itu dijual dan banyak sekali orang di sana yang sedang berkerumun, beberapa yang terlihat juga sedang menangis.

Vale bingung, ia memilih untuk berdiri di tempat sedangkan mamanya bertanya pada orang sekitar.

"Maaf. Ini ada apa, ya? Dan penghuni rumahnya di mana? Nomornya juga tidak aktif."

Orang yang sedang ditanyainya pun menjelaskan. "Kartika itu ternyata penipu, Mbak. Uang saya dibawa kabur padahal itu tabungan untuk biaya pendidikan anak saya."

Disusul suara teriakan tangis korban lain dari penipuan tersebut.

Mendengar hal tersebut seakan dunia Wulan runtuh. Uang rumah dan tanah yang sudah dibayarkan juga uang tabungan yang ia bayarkan semuanya untuk memenuhi biaya hidup diikutkan arisan itu pun lenyap sudah.

Wulan terduduk di tanah padahal ia takut jika uang itu dipegang sendiri bisa habis tapi mengapa begini jadinya?

Vale menghampiri Wulan dan membantu mamanya untuk berdiri saat wanita paruh baya itu terlihat tak berdaya dengan pandangan yang tampak kosong.

"Mama, ini kenapa?"

***

Marhaban ya ramadhan.

Bagaimana part ini? Tulis di kolom komentar.

Jangan lupa meninggalkan jejak

Senin, 4 April 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro