Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Mimpi buruk

.

.

.

Es batu tak selamanya membeku juga

.

.

.

"Apa sih, Dit. Gue ngantuk banget!"

Mata cewek itu terasa bengkak karena menangis semalaman kemudian ia kembali tertidur.

"Udah, Kak. Beresin baju dan barang-barang seperlunya aja." Kelopak mata Vale terbuka lagi saat mendengar suara Wulan. 

Ia menoleh ke sumber suara. Ada apa ini semua?

Tatapan Vale beralih menatap Aditya. Ia tertegun saat melihat muka adik yang menyebalkan itu seperti abis menangis lalu pandangannya beralih ke arah lain. Ternyata di kamarnya bukan hanya ada Mama dan Aditya saja. Ada Kenzi, Pak Joko dan Mbak Mina yang sedang menggendong adik bayinya. Namun, ada juga beberapa pria lain yang tak dikenalnya masuk. "Eh, mereka sia--ini ada apa, Ma?"

Akhirnya pertanyaan itu pun terlontar juga.

"Ru-rumah ini disita sebagai jaminan, Kak. Karena papa ternyata mempunyai hutang dan ini sudah jatuh tempo dari tanggal yang dijanjikan," ucap Wulan sambil mengusap-usap wajah Aditya yang sedang memeluk mamanya karena menahan tangis.

Seperti mimpi di siang bolong. Vale tak salah dengar, kan?

Vale langsung terduduk dari tidurnya. Ini bukan rutinitas pagi seperti yang biasa cewek itu lakukan tanpa menggeliat. Vale mengucek bola mata, berharap bahwa ini mimpi dan kembali tertidur lalu bangun-bangun sudah seperti semula.

Vale tersenyum kemudian tertawa puas. "Jangan bercanda, Ma. Nggak lucu." Kemudian melihat Aditya yang sudah menangis dan menutupinya di pelukan Wulan juga melihat koper yang sudah berserakan di lantai membuat Vale kembali pada kenyataan. "Serius, Ma?"

Wulan hanya menahan tangis sambil mengangguk.

"Lalu jika rumah ini disita, kita tinggal di mana, Ma?"

Di kolong jembatan.

Itu adalah perkataan Vale dulu yang pernah ia lontarkan saat merundung murid lain di sekolah.

Selintas ingatan itu muncul bertubi-tubi hingga membuat Vale berteriak sambil menutupi telinganya. "Nggak!" Dan untuk pertama kalinya lagi Vale menangis tanpa memikirkan penilaian orang terhadap dirinya.

Ia menangis sejadi-jadinya saat berada di atas kasur lengkap dengan selimut tebalnya. Akankah ia suatu saat nanti masih bisa menikmati tidur di spring bed king size miliknya seperti sekarang?

"Ayo, Kak," kata Wulan lagi dengan lembut.

Vale menghirup lendir yang berada di dalam hidungnya. "Tinggalin Vale sendirian dulu di kamar, Ma. Vale mau beresin barang-barang ini sendiri."

"Mohon maaf. Sesuai perjanjian saat beres-beres harus terpantau dan diawasi, maka dari itu—"

"Kalian harus keluar dari sini kalo mau cepet!" Vale mengusap sisa-sisa air mata lalu berdiri dan berjalan mendekati pria itu. "Apa? Mau nantang?" Vale menarik kerah pria tersebut lalu dengan cepat Wulan menengahi.

"Sudah-sudah." Wulan berjalan pada pimpinan pria tersebut saat pria itu sedang merapikan kembali pakaian akibat ulah Vale sebelumnya. Di lain sisi sang pembuat ulah sedang dipegangi oleh Pak Joko saat Vale tetap memasang wajah menantang.

"Baik, Bapak. Sebelumnya mohon maaf atas perlakuan anak saya. Bagaimana jika, Bapak, menuruti permintaan itu? Jujur, ini terlalu mendadak buat kami menerima kenyataan, mengingat musibah beberapa hari yang lalu yang membuat keluarga kami sebenarnya masih dalam keadaan berduka. Beri kami waktu buat memahami ini semua, Bapak. Mohon pengertiannya." Wulan menunduk.

Sang atasan bukannya iba dan memberi keringanan malah menyuruh anak buahnya untuk membereskan barang-barang itu secara paksa, membuat Wulan sampai bersujud dan mencium kaki pria tersebut sambil menangis karena permintaannya tidak dituruti.

Hal tersebut langsung membuat Vale murka--saat Pak Joko berusaha melindungi barang-barang milik Vale—cewek itu langsung membanting lampu tidur. Napas memburu terlihat saat Vale berteriak, "Stop!" Hingga membuat suasana menjadi hening. "Ayo kita pergi dari rumah ini, Ma! Biar barang-barang itu mereka beresin!"

***

Vale, Aditya, Kenzi dan Wulan lengkap dengan bayi digendongan mamanya tampak melangkah di pinggir jalan sedangkan Pak Joko dan Mbak Mina memimpin di depan. Mereka meminta tolong pada sepasang suami-istri itu untuk mencarikan tempat tinggal--sementara saja--selagi menunggu uang asuransi kecelakaan pesawat yang belum cair.

Setelah turun dari angkot, mereka memasuki perkampungan. Bukan perumahan elit seperti rumah Vale sebelumnya. Cewek itu tertegun saat menginjakkan kaki di tempat ini. Kumuh, jalanan becek dan tidak selevel dengan dirinya yang dulu, bukan sekarang.

"Nah sudah sampai," ucap Mbak Mina. "Kontrakan ini dekat dengan rumah saya, Buk. Jadi semisal kalian butuh apa-apa bisa hubungi kami," sambungnya.

Mbak Mina dan Pak Joko sudah lama bekerja dengan Wulan, apalagi keluarga itu sering membantu keluarga mereka hingga membuat Mbak Mina dan Pak Joko merasa mempunyai hutang budi dan sekaranglah waktu yang tepat untuk membalasnya.

Wulan meletakkan tas bepergian itu di balai bambu--yang berada tepat di halaman depan kontrakan—dengan Kenzi yang duduk di atas balai bambunya kemudian Wulan berucap, "Duh, nggak usah manggil buk. Kan aku bukan majikan kamu lagi." Wulan tampak tersenyum simpul. "Terima kasih ya, Mbak Mina. Kalau nggak ada kalian mungkin kami masih ada di jalanan sekarang."

Sedangkan Vale dan Aditya meletakkan koper mereka di depan pintu kontrakan. Tak ada kursi bagus--hanya balai bambu--di depan halaman kontrakan ini hingga beberapa menit kemudian Pak Joko datang membawa seseorang yang sepertinya adalah pemilik kontrakan.

Pak Joko membuka rumah sedangkan Wulan mengobrol-ngobrol dengan pemilik kontrakan di halaman yang ditemani dengan Mbak Mina.

Ruang tamu dengan kursi yang terbuat dari bambu menyapa kedatangan mereka. Cepat-cepat Vale dan Aditya mencari ruangan--yang untung saja tersedia tiga kamar.

"Yes, gue dapet kamar depan!" seru Aditya.

"Gak! Ini kamar gue. Sebagai adik yang baik, lebih baik lo ngalah aja deh sama gue. Inget, gue ini kakak lo. Gue ini senior di sini!"

"Enak aja. Kan gue duluan yang dapet."

Hingga pertengkaran itu pun terjadi.

Wulan menoleh ketika mendengar suara barang pecah, membuat Pak Joko, Mbak Mina, dan untung saja pemilik kontrakan sudah pergi saat Wulan sudah membayar DP untuk mengontrak rumah ini selama setahun saat wanita itu menggunakan tabungan miliknya yang tersisa.

"Astaga, ada apa ini?" Wulan terkejut saat belum beberapa jam menempati rumah ini tapi sudah dibuat berantakan.

"Adit duluan, Ma."

"Nggak! Kakak tuh yang ngerebut kamar Adit, Ma."

Mereka saling tuduh satu sama lain. Namun, tingkah itu malah membuat Pak Joko tertawa saat melihat penampilan keduanya tampak acak-acakan tapi terbilang lucu.

Sontak membuat Vale dan Aditya menoleh. "Diam!"

***

Kini Vale, Aditya dan Wulan sedang membereskan barang-barang. Untung saja bayi kecil tanpa nama itu sudah tertidur sementara--di kamar nomor tiga--sehingga tak menghambat aktivitas mereka.

Berulang kali Aditya menampakkan ekspresi mengejek saat kamar utama berhasil didapatkan.

"Ma, kok belain Adit, sih?" kesal Vale sambil mengerucutkan bibirnya. "Nggak adil dong!"

Wulan yang sedang mengepel lantai pun terhenti sambil mengembuskan napas pasrahnya.

"Kamu selalu bilang gitu. Nggak pernah mau disalahin padahal salah. Ya udah, ya udah. Kamar utama buat Mama," tutur Wulan karena sudah tau topik permasalahan dari penjelasan kedua belah pihak. Pasalnya cewek itu memang selalu merasa menang sendiri sehingga jika adu omong pun tak akan ada habisnya dan berakhir bertengkar sehingga untuk kali ini Wulan malas berdebat.

Keputusan itu membuat Aditya mendengus kesal. "Yaah, Ma. Kok gitu, sih! Kan sebenarnya itu kamar Adit. Kakak aja tuh yang ngerebut."

Terlihat Vale tersenyum bahagia. Ekspresi mengejek balik Vale berikan hingga kegiatan beres-beres itu pun selesai.

Kini mereka sedang makan di ruang makan yang tergabung langsung bersama ruang tengah lengkap dengan TV. Makanan ini mereka dapat dari Mbak Mina yang memberinya saat tadi sibuk dengan aktivitas bersih-bersih.

"Jadi gini. Maaf kalau Mama ngasih taunya ndadak biar besok kalian udah bisa masuk ke sekolah soalnya biar nggak ketinggalan pelajaran."

Vale dan Aditya pun terhenti dari aktivitas makannya sedangkan Kenzi dengan santai tetap melahap makanan yang ada di hadapan.

"Tadi Mama udah rundingan sama Pak Joko dan Mbak Mina kalau ...."

"Kenapa emang, Ma?" potong Vale.

"Kalau Mama ngomong tuh dengerin. Jangan motong," sahut Aditya.

"Udah-udah."

Lagi, dengan santai Kenzi tetap menghabiskan makanannya.

"Kalau Mama bakalan ngomongin itu sekarang. Aditya sama Kenzi udah diurus perpindahan sekolahnya sama Pak Joko."

"Loh, Ma?" protes Aditya. Jujur, dalam hati sebenarnya Aditya senang jika harus pindah sekolah. Mengingat di sekolah lamanya Aditya sering mendapatkan perundungan sehingga tidak mempunyai teman.

"Sabar dulu, Mama belum selesai ngomongnya. Sebelumnya Mama minta maaf, ya, ke kalian tentang orang-orang yang tadi pagi langsung masuk ke rumah dan menyita rumah kita. Sebenarnya Mama udah dikasih peringatan sama mereka sesaat setelah papa dikabarkan meninggal dan Mama nggak enak buat ngasih tahu kalian, mengingat kondisi keluarga kita yang masih berduka. Dan Mama nggak tahu kalau mereka bakalan datang dengan cara yang brutal kayak tadi." Wulan berhenti sebentar.

"Sejak Mama tahu info itu cepat-cepat Pak Joko yang meng-handle semuanya, termasuk nasib sekolah kalian kelak. Pak Joko langsung mengurus surat perpindahan dan mendaftarkan kalian ke sekolah baru bahkan seragam baru kalian sudah ada."

Wulan menatap ke arah Vale. "Kecuali kamu, Ve."

"Aku?" ulang Vale. Menggunakan kata aku--bukan gue.

"Jangan protes, sedangkan Aditya masih kelas dua SMP terus Kenzi masih TK besar, kan? Mama pindahkan mereka juga buat meringankan biaya pengeluaran di sekolah yang agak murah juga karena agar lebih dekat dari kontrakan kita. Lagian kalau kamu pindah juga udah kelas tiga, nanggung. Bentar lagi mau lulus."

Mendengar hal itu Vale langsung bangkit. Bagaimana jika teman-temannya tahu kalau keluarga Vale sekarang bangkrut?

Cepat-cepat Vale berlari kemudian terdengar suara teriakan.

Sontak hal itu membuat Wulan khawatir jika terjadi apa-apa dengan anaknya--karena yang ditakutkan jika menceritakan kondisi keluarganya sekarang--Vale bakalan melakukan hal yang nekat.

Wulan langsung mencari sumber suara yang ternyata berada di kamar mandi. "Ada apa?" ucap mamanya terengah-engah.

Vale dengan tampang kebingungan lalu menggigit bibir bagian bawahnya. "Itu, Ma ... itu. Tempat WC-nya jongkok bukan duduk!" Dengan tampang polosnya Vale menoleh. "Gimana ini?"

Wulan yang mendengar hal itu langsung menepuk jidatnya sedangkan Aditya yang sedang menggendong Kenzi tampak menyusul di belakang dengan buru-buru.

Dugaan Wulan yang mengira Vale berteriak karena jatuh akibat melamuni nasib keluarganya ternyata hanyalah sebuah kekhawatiran.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak

21 Maret 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro