Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Bunuh diri

Vale berlarian di koridor rumah sakit sambil mengusap bulir bening yang terus berjatuhan. Dadanya sesak, pikirannya benar-benar kacau hari ini.

Masalah terkait hutang adiknya baru saja selesai, dan Kenzo juga barusan masuk rumah sakit. Mengapa harus ditambah masalah baru lagi? Sungguh, otak Vale benar-benar penuh sekarang.

Saat melihat Vale yang sedang berdiri di depan rumah sakit—yang tampaknya sedang menunggu angkutan umum—Genta yang kebetulan sedang berada di warung sekitaran sana datang menghampiri cewek tersebut.

Melihat wajah Vale yang seketika panik dan kebingungan, membuat Genta memberanikan diri untuk menyapa. Namun, belum sempat Genta mengucapkan kalimat sakral itu Vale keburu mendapatkan angkutan umum dan Genta pun memutuskan untuk mengekor di belakang.

Jika biasanya Vale akan marah-marah tak jelas bila bertemu dengan Genta, berbeda dengan hari ini. Cewek itu seakan pasrah saat Genta—yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.

"Hai. Bo-boleh nggak gue temenini?"

Tanpa menjawab, Vale hanya melirik sekilas kemudian berdeham sebagai jawaban lalu dengan kelopak mata yang terpejam dan kedua tangan yang menyangga kepalanya tepat di bagian pelipis. Kepalanya terasa pening sekarang karena—mungkin--kebanyakan menangis.

"Hmm, oke. Gue anggep sebagai jawaban."

Hening.

Setelah itu hanya terdengar suara bus melaju. Genta melirik sebentar ke arah Vale. Tak seperti biasanya cewek itu murung seperti sekarang.

Melihat ketidakjelasan tujuannya menaiki angkutan umum, Genta mencoba bertanya, "Kalau boleh tahu, memangnya ini mau ke mana?"

Dengan sarkas Vale menjawab, "Nanya-nanya mulu, sih! Siapa suruh ngikutin tapi nggak tau tujuannya ke mana—eh!"

Seakan teringat sesuatu, Vale menghentikan perkataannya.

"Kenapa?"

"Gue juga nggak tau mau ke mana."

Mungkin sangking paniknya tadi Vale langsung berlari--ingin menyusul Aditya--tetapi tidak tau persis alamat kecelakaan itu berlangsung.

Untung saja di detik selanjutnya pihak kepolisian menghubunginya—yang entah mendapatkan nomor Vale dari mana—bahwa Aditya mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dibawa di rumah sakit kemudian setelah dicek, ternyata rumah sakit itu adalah tempat Kenzo dirawat. Sehingga Vale dan Genta pun memutuskan untuk balik arah dan kembali menuju tempat yang dimaksud.

Ada perasaan lega yang menjalar di tubuh Vale bahwa berita terkait hilangnya korban jiwa itu bukanlah Aditya sehingga ada harapan kecil untuk selamat.

Sesampainya di rumah sakit, Vale langsung berlari ke resepsionis dan menanyakan kamar adiknya. Ketemu, ia pun menuju ruangan tersebut.

Beberapa menit setelah itu seseorang keluar dari tempat tersebut.

"Dengan keluarga pasien?"

Vale celingukan, mencoba memastikan dan menatap ke dalam ruangan bahwa seseorang yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu adalah Aditya, adiknya.

"Ah, i-iya itu adik saya. Gimana keadaannya, Dok?"

"Benturan akibat kecelakaan itu mengakibatkan pembuluh darah rusak karena tubuh terluka parah dan banyaknya darah yang keluar sehingga bisa dipastikan bahwa pasien mengalami pendarahan."

"Lalu, Dok?"

"Apabila tubuh terlalu mengeluarkan banyak darah, organ tubuh akan mulai berhenti bekerja dan dapat menyebabkan kematian. Berita buruknya adalah stok darah O di rumah sakit ini lagi kosong. Adakah yang bersedia menjadi pendonor untuk pasien?"

Perkataan yang sangat jelas dari dokter tersebut membuat pupil mata Vale melebar. "Saya bersedia, Dok."

"Saya juga!"

Vale menoleh, dan ternyata suara yang tak lain halnya itu berasal dari Genta.

***

Sejak dikabarkan bahwa jenis darah milik Vale dan Genta tidak cocok dengan Aditya, Vale menghilang. Bukan menghilang seperti hantu, hanya saja Genta tak melihat keberadaan cewek tersebut hingga sekarang.

"Lo di mana, sih?" tutur Genta penuh khawatir. Pasalnya cowok itu sudah mencari Vale di setiap sudut rumah sakit bahkan sudah mengecek di rumah, barangkali cewek itu memutuskan untuk pulang dan beristirahat di sana. Namun, tetap saja Vale tidak ada.

Ini sudah hampir tengah malam dan Genta belum juga menemukannya.

Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya yang menyilaukan di langit dan disusul dengan suara yang menggelegar. Awan berubah menjadi gelap. Tangan Genta refleks menengadahkan ke atas yang ternyata hujan rintik-rintik yang disusul semakin deras.

Bersamaaan dengan hujan yang membasahi tubuh Genta menatap ke langit-langit dan berteriak, "Lo di mana sih Vale? Gue sayang sama lo. Tidakkah lo sadar ada orang pecundang yang selama ini diem-diem suka sama lo! Gue di sini yang keberadaannya pun nggak pernah lo lihat bahkan sekalipun lo lirik!"

Teriakan itu semakin kencang, kini air matanya menetes bercampur dengan air hujan. Benar kata orang bahwa menangis di bawah hujan itu sangat melegakan saat bisa menangis sepuasnya tanpa diketahui oleh orang lain.

Genta terus mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini ia pendam. Untung saja jalanan ini sangat sepi sehingga dengan leluasa Genta bisa berteriak sepuas-puasnya.

Setelah memeriksa bahwa Vale juga tidak ada di rumah, ia langsung kembali ke rumah sakit. Siapa nantinya yang akan menjaga kedua adik Vale yang sedang terbaring lemah bila ia tak kembali ke sana?

Kebetulan pada jam segini angkutan umum sudah tak terlihat sehingga Genta memutuskan untuk ke rumah sakit dengan berjalan kaki dan berakhirlah seperti sekarang.

Di tengah-tengah keputusasaannya mencari Vale, Genta melihat sosok yang ingin melompat dari jembatan. Sontak hal tersebut membuat Genta langsung tersadar dan melupakan kesedihannya dan menghampiri seseorang tersebut. Namun, begitu terkejutnya Genta saat sosok itu ternyata adalah Vale.

***

Vale langsung menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Genta. Berulang kali ia memukuli dada bidang cowok itu karena sudah menggagalkan rencananya untuk melompat dari jembatan. Vale merasa capek dengan semua masalah yang tak berujung, ia ingin mengakhiri hidupnya sampai di sini.

Namun, berkali-kali Genta mencoba menyadarkan bahwa perbuatan yang baru saja Vale lakukan adalah sebuah tindakan konyol yang tak ada gunanya.

"Kalo ada masalah cerita, jangan dipendem sendiri." Dengan lembut Genta berkata, "Emang lo tega ngebiarin kedua adik lo yang sedang koma di rumah sakit sendirian? Mereka sedang berjuang melawan maut dan butuh support lo sebagai kakaknya, bukan malah kek gini. Bunuh diri bukan solusi dari semua masalah! Inget itu."

Perlakuan Genta dan ucapannya yang begitu lembut langsung mampu menjinakkan jiwa Vale yang sedang membara. "Tapi gue capek, Ta. Gue capek sama masalah yang terus berdatangan padahal masalah sebelumnya masih belum selesai."

Genta terus memeluk Vale dengan erat saat cewek itu terus meronta-ronta ingin dilepaskan.

"Lepasin gue, Ta. Gue mohon," rengek Vale yang semakin terisak. "Gue mau nyusul bokap, gue capek di sini. Gue capek ngehadapin masalah ini sendiri."

Genta mengusap pundak Vale—yang kini sedang melingkarinya dengan kedua tangan--lalu perlahan mencium puncak kepala cewek itu mencoba memberi ketenangan.

"Ada gue. Sekarang ada gue di samping lo. Jangan ngerasa sendiri."

"Lo nggak malu temanan sama gue dengan berita yang udah kesebar di sekolah?"

"Nggak."

"Lo percaya kan sama gue, Ta, kalau gue nggak melakukan apa yang mereka tuduh?"

Genta hanya berdeham sebagai jawaban.

Vale mendongak, menatap wajah Genta yang kesulitan melebarkan kelopak matanya karena air hujan yang membasahi.

"Berarti sekarang kita temanan?"

"Ya, dan sekarang gue bisa manggil lo dengan panggilan Ve, kan?"

Vale tersenyum, akhirnya ada orang yang memanggil namanya dengan sebutan Ve setelah mamanya lagi. Sebuah panggilan nama kesayangan untuk orang terdekat bagi Vale.

"Iya."

Kemudian mereka berpelukan. "Jangan ngerasa sendiri lagi. Ada gue di sini."

***

Gimana part kali ini? Xixixi

Jangan lupa meninggalkan jejak

2 Juni 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro