Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Penguapan

.

.

Meskipun gas air tak tampak tapi awan tetesan air juga sebagai bukti, kan? 

.

.

.

Vale memasukkan barang-barangnya ke koper lalu ada perasaan campur aduk saat melihat pakaian Hanan--yang sudah ada di dalam koper sebelumnya—yang dia bawa dari rumah. Tatapannya berkaca-kaca  saat mengingat bahwa pemilik pakaian ini sudah tak akan pernah memakainya lagi. Namun, cepat-cepat Vale menggeleng dan mengusap matanya.  Ia tak boleh larut dalam kesedihan.

"Lo udah siap, Dek?"

Dan untuk pertama kalinya juga, Vale mengatakan sebutan itu kepada Aditya. Namun, orang yang dimaksud hanya termenung di sofa.

Vale mendekat, menyenderkan kepala Aditya ke pundaknya kemudian menarik poni cowok itu ke belakang. "Gue mau di sini aja, Kak. Nemenin papa."

Dengan sekuat tenaga Vale menampilkan senyuman terbaiknya. "Jenazah papa di sini udah ada yang ngurus, Dek. Kita harus sampai lebih dulu ke Jakarta kalau mau lihat proses pemakaman papa, kan?"

Entah, kejadian di pantai membuat Vale seperti memiliki sikap kakak pada umumnya. Vale terlihat lebih bijak, ia tak ingin memperlihatkan sisi lemah bahwa dirinya juga sedang tidak baik-baik saja di hadapan adiknya. Berbanding terbalik dengan Aditya yang dengan mudah mengeluarkan emosi.

Setelah berusaha membujuk, akhirnya Aditya pun bersedia pulang. Dengan segera mereka pergi ke bandara dengan tiket pesawat yang sudah Freeya pesankan dari Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, Rio sudah menjemput di bandara. Suasana di mobil sangat canggung, Aditya hanya diam melihat ke arah jendela mobil dengan pandangan yang kosong sedangkan Vale juga begitu.

Kelihatannya kakak-beradik itu tampak berduka padahal sebelumnya sempat merasakan kebahagiaan saat mendapat kabar bahwa Wulan melahirkan anak yang cantik, persis seperti keinginan Vale dulu bahwa ingin mempunyai adik perempuan.

Di rumah ternyata sudah banyak ucapan bela sungkawa karangan bunga berjejer menghiasi halaman. Entah, padahal Vale sendiri juga tidak mengabari siapa pun jika Hanan tidak terselamatkan pada kecelakaan itu. Namun, orang rumah tampaknya sudah mengetahui lebih dulu—melihat dekorasi dan banyaknya orang berdatangan--hingga beberapa jam kemudian jenazah Hanan pun datang.

Setelah proses pemakaman selesai, Jovanka, Veronica, Freeya dan Rio masih menemani Vale, dan kedua adiknya bersama supir mereka di samping kuburan Hanan.

Aditya tampak sesenggukkan, berbeda dengan Kenzi—adik Vale yang masih TK—itu tampak memainkan bunga dan tanah liat dengan tampang polosnya sedangkan Wulan masih belum pulang dari rumah sakit sehingga tidak bisa mendatangi proses pemakaman suaminya.

Di hadapan teman-teman beserta pacar, Vale tidak mau terlihat lemah dan menangis sehingga sekuat tenaga Vale ingin pergi dari tempat ini. Ia bangkit. "Ayo pulang, Dit."

Dengan napas yang masih sesenggukkan Aditya menggeleng sambil melepaskan tangan Vale yang sedang menarik lengannya. "Gue bisa pulang sendiri," ucapnya dengan nada ketus. "Kakak kalau mau pergi, pergi aja. Nanti Kenzi biar sama gue pulang sama Pak Joko."

Pak Joko adalah supir pribadi mereka.

Mata Vale membulat. Dengan segera Rio juga bangkit. "Kalo gitu. Ayo, Guys. Kita cabut. Hari ini kan jadwal Vale buat party. Karaokean enak kayaknya, nih! Biar gue yang traktir, deh sambil ngabarin yang lain!"

Perkataan itu disetujui oleh Vale dan teman-temannya. Kemudian setelah para gerombolan itu pun pergi, hati Aditya terasa miris saat dalam situasi seperti ini kakaknya masih memikirkan hal tersebut.

"Yang kuat ya, Den," ucap Pak Joko menenangkan Aditya.

***

Sudah dua hari ini Vale tak ada kabar sedangkan Wulan sudah boleh pulang oleh dokter.

Aditya membereskan pakaian dan barang-barang Wulan dan ditemani oleh Mbak Mina—pengurus rumah tangga.

Setelah segala administrasi selesai. Tentu itu semua Mbak Mina yang mengurusi, termasuk menyiapkan acara kematian beberapa hari yang lalu saat mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa jasad Hanan akan dikirim ke rumah.

Hati Wulan remuk saat mendengar informasi tersebut apalagi dengan kondisinya sekarang yang tidak bisa melihat suaminya untuk yang terakhir kali.

Mereka pun pulang ke rumah dan sesampainya di sana, suasana rumah benar-benar berbeda meski sebelumnya Hanan memang jarang berada di rumah karena tuntutan kerjaan tapi mengapa untuk kali ini rasanya berbeda?

Wulan tertegun di pintu masuk sambil duduk di kursi roda dan menggendong bayi pada pangkuannya sedangkan Aditya yang melihat tatapan kosong mamanya langsung memeluk Wulan dari belakang.

"Are you okay, Mam?"

Perlahan, Wulan hanya mengelus-elus pelukan tangan Aditya yang melingkari bahunya hingga pertahanannya pun runtuh saat mendengar bayi dalam pangkuannya ini menangis.

Wulan menggeleng tapi buliran bening itu terus menetes hingga membuat pandangannya sedikit kabur karena air mata saat mengingat bahwa bayi ini belum diberi nama dan tidak mendapat kesempatan untuk diazankan oleh seorang ayah dan bagaimana nasib masa depannya kelak?

Melihat tangis mamanya, membuat Aditya juga ikutan menangis. Mereka berdua pun menangis bersamaan di pintu masuk.

Setelah merasa lega, Wulan menyuruh Mbak Mina untuk membereskan barang-barang yang ada di mobil sedangkan dirinya—dengan kursi roda yang didorong oleh Aditya—berjalan menuju ruang tengah.

"Ma, adik kecil namanya siapa?" ucap Kenzi dengan nada cadelnya saat melihat adik kecil ini masih juga belum berhenti dari tangis. Beberapa menit kemudian Mbak Mina datang membawa asi milik Wulan yang disedot dari rumah sakit lalu ditaruh di botol, mengingat asi milik Wulan susah untuk keluar.

"Tunggu Kak Vale ya, Dik. Dia kan dari dulu kepengen punya adik cewek. Jadi Mama ingin Kak Vale yang ngasih nama buat bayi ini."

Tatapan Wulan beralih ke Aditya yang sedang menguap karena kelelahan saat duduk di sofa. "Mas, tidur aja ya di kamar. Temenin adik. Soalnya Adik Kenzi juga harus segera tidur karena besok sekolah dan ini sudah melewati jam tidurnya."

Aditya mengucek matanya lalu menggeliat. "Mama, sendiri nggak tidur di kamar?"

"Mama mau nungguin Kak Vale pulang juga sekalian mau nidurin adik kecil ini dulu."

***

Tepat pukul dua belas malam, bau wine menguar saat Vale membuka pintu rumah yang ternyata tidak dikunci. Dengan sempoyongan Vale berusaha meraih saklar lampu hingga lampu menyala dan tampaklah Wulan yang sedang duduk di kursi roda yang ditemani oleh Mbak Mina yang sedang berusaha menahan kantuknya.

Dengan segera Wulan menyerahkan bayi itu--saat sudah tertidur--pada Mbak Mina lalu secara perlahan, Wulan berdiri dan berjalan mendekati Vale.

Tanpa aba-aba, sebuah tamparan langsung mengenai pipi cewek itu hingga membuat Vale tersadar dari pengaruh alkohol dan memegangi pipi bekas tamparan mamanya.

"Dari mana aja kamu, hah? Cewek keluyuran dua hari nggak pulang. Dateng-dateng tengah malem! Masih punya muka pulang ke rumah?"

Napas Vale memburu saat mendapat perlakuan seperti ini dan ingin rasanya membalas tamparan mamanya itu tapi ia tahan. Tanpa berkata apa pun, Vale hanya menatapnya sinis lalu berjalan melewati Wulan yang terlihat membeku di tempat.

Ia berbisik, "Papa aja nggak pernah nampar gue." Lalu kembali berjalan ke lantai atas.

Vale menangis sejadi-jadinya saat berada di kamar, sendirian. Rasa sakit dari tamparan mamanya tidak seberapa saat dibanding rasa sakit hatinya sekarang.

"Pa, lantas siapa nantinya yang bakalan bela Vale kalo mama lagi marah?" Cewek itu menatap pigura foto dirinya dengan Hanan saat foto berdua dalam acara wisuda SMP. "Dateng ke mimpi Vale ya, Pa. Malam ini ... Vale kangen," ujarnya dengan sesenggukkan lalu terlelap dalam tidurnya.  

*** 

Gimana part kali ini?

Masih aman kan, ya?

Jangan lupa meninggalkan jejak

17 Maret 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro