19. Sepatu baru
Vale langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Hari ini sungguh melelahkan baginya. Setelah mandi, ia meraih ponsel yang tergeletak asal di kasur dan melihat jam menunjukkan pukul 02:43 WIB. Entah, dalam kondisi seperti ini tiba-tiba saja otaknya terpikirkan oleh seseorang. Biasanya jika terbangun tengah malam Vale akan menghubungi Rio, cowok itu selalu menemaninya sampai ia tertidur kembali. Vale paling benci sendiri, ia tidak suka kesunyian.
Kemudian Vale menghapus ketikan nama tersebut di pencarian panggilan telepon saat baru menyadari bahwa hubungannya dengan Rio telah kandas. Dengan segera Vale menjatuhkan tangannya ke kasur lalu terpejam. Merasakan denyutan yang semakin sesak bila diingat.
Pikiran Vale kemudian beralih dengan Freeya. Biasanya juga cewek itu yang selalu ada, selalu siap siaga jika Vale membutuhkannya. Namun, sekali lagi Vale harus mendesah frustrasi saat kedekatannya dengan Freeya tidak seperti dulu lagi. Aneh, mengapa dunia seakan mentakdirkan demikian saat dulu Vale paling benci sendiri. Namun, sekarang ia harus terpaksa merasakannya.
Hingga tatapannya bertemu pada sebuah bingkai foto keluarga berukuran A4 yang dipajang pada meja dekat kamar tidurnya. Sebuah keluarga lengkap dengan senyuman--yang tampak terpaksa. Jika dipikir-pikir lagi, mengapa dulu Vale sebegitu bencinya, ya, dengan keluarganya sendiri? Dari anggota keluarga yang lain, Vale satu-satunya orang yang tidak pernah mau jika diajak keluar bersama--hanya untuk sekadar liburan keluarga--kini ia menyesali perbuatannya tersebut.
Hal yang paling Vale benci dengan kesendirian adalah ia gampang menangisi sesuatu yang sudah hilang dalam hidupnya.
Melihat foto papanya yang sudah pergi selama-lamanya, membuat bibir Vale tertarik ke atas. Memungkinkan sesuatu yang seandainya hal ini tidak terjadi, mungkin hidupnya masih baik-baik saja.
Kini dalam hidup Vale banyak kata pengandaian. Andai jika papanya tidak meninggal, pasti Vale tidak akan tinggal di kontrakan ini. Andai dulu Vale lebih mengalah pada egonya pasti Vale bisa lebih dekat dengan papanya. Namun itu hanya sekadar pengandaian yang bagaimana pun tidak akan pernah mengubah kenyataan. Bahwa memang benar yang biasanya dikatakan oleh orang adalah bila sesuatu akan tampak berharga jika harus merasakan kehilangan. Dan kini Vale telah merasakan begitu sakitnya saat rasa penyesalan itu datang.
Pikiran Vale beralih pada mamanya. Ia lupa bahwa Vale belum sepenuhnya sendiri. Dengan segera ia mengambil kembali ponsel dan mengetikkan nama, 'Mama' pada pencarian telepon.
"Pasti di sana masih siang," gumam Vale saat mengingat bahwa perbedaan zona waktu di tempat Wulan bekerja.
"Hallo, Mama. Apa kabar?" Tanpa basa-basi lagi Vale langsung berkata saat panggilan itu terhubung.
"Iya, Ve. Kabar Mama baik. Kamu baik-baik aja, kan? Tumben kamu telepon."
Vale tertegun dengan kepekaan yang Wulan rasakan. Hatinya terenyuh tatkala mendengar suara yang lembut dari ujung sana. Tampak ada getir yang disembunyikan tetapi menampilkan nada yang seakan baik-baik saja.
"Mama, udah makan?"
Akhirnya hanya kata itu yang bisa Vale lontarkan.
Sunyi, tidak ada suara atau balasan dari seberang hingga beberapa menit kemudian Wulan menjawab, "Di sana pasti sudah malam. Apa yang membuatmu masih terjaga di jam seperti ini, Ve? Cerita sama Mama."
Mendengar hal itu Vale memejamkan mata, menggigit bibir bagian bawah. Mencoba merasakan betapa berantakannya hidup Vale sekarang. Diputuskan pacar saat masih sayang-sayangnya, dijauhi teman terdekat dan yang lebih parahnya lagi ia sampai dibenci dan menjadi korban perundungan di sekolah saat mereka termakan berita hoax. Sungguh, hari yang sulit bagi Vale setelah keluarganya terkena musibah.
Hanya isakan yang Vale lontarkan untuk menjawab pertanyaan Wulan sebelumnya. Buliran bening keluar dari pelupuk mata. Bibirnya bergetar, dadanya kembang kempis mengeluarkan emosi yang sempat tertahan.
"Mama, kapan pulang? Vale kangen." Isakan itu bertambah keras. "Tenang aja, Ma. Vale udah bisa nyuci baju sendiri, ngepel, nyapu. Vale sekarang juga bisa masak. Tiap pagi Vale yang masak di rumah, Ma. Bangunin Aditya dan Kenzo supaya siap-siap berangkat ke sekolah. Mama, pulang, ya? Biar Vale aja yang ngerjakan tugas itu semua kalo Mama balik lagi di Indo."
"Nggak bisa, Nak. Mama, harus cari duit biar bisa kayak dulu lagi. Sama harus nebus Keira di panti asuhan, kan? Kakak lupa?" kata Wulan mencoba menenangkan putrinya.
"Mama, kerja aja di sini biar Vale ada temennya, Ma."
"Bukannya temen Vale banyak?"
"Sekarang temen-temen Vale jahat, semua pada ngatain Vale yang nggak-nggak di sekolah. Vale dijauhin sama mereka, Ma. Vale nggak punya temen, Vale sendirian di sini."
"Kenapa begitu? Freeya gimana?" Ada nada keterkejutan dari seorang wanita yang telah melahirkan anaknya dengan susah payah. Bagaimana bisa? Sepengetahuan Wulan, Vale adalah pelaku di sekolah bukan korban.
Dengan panjang lebar pun akhirnya Vale menceritakan kejadian tersebut hingga membuat Wulan paham atas masalah yang sedang menimpa anaknya.
"Tenang, ya, Kak. Tuhan sedang menguji keluarga kita. Kakak, harus kuat." Terkadang juga Wulan menyebut Vale dengan ungkapan 'Kakak'. "Karena Tuhan sayang sama kita, sama Mama, Kakak, Aditya dan juga Kenzo. Jangan ngerasa sendiri lagi, ya. Masih banyak orang lain yang sayang sama Kakak, asalkan Kakak menghargai keberadaan mereka."
Benar juga, apa yang dikatakan Wulan membuat jiwa Vale sedikit tenang. Tanpa Vale sadari, jika ditarik mundur banyak sebenarnya yang peduli padanya hanya saja Vale terlalu egois untuk mengakui.
"Besok Mama udah gajian. Nanti Mama transfer, ya. Simpan saja uang gajian Kakak. Kalau Kakak memang ingin bekerja, ya, silakan tapi perlu diingat. Kakak kerja buat diri Kakak sendiri, jangan bekerja karena untuk orang lain. Mama tekanin sekali lagi jangan, Kak, jika tidak ingin membuat hari Kakak merasa berat saat bekerja nanti."
Ya, Vale memang menceritakan juga kalau saat ini ia bekerja untuk melunasi hutang yang telah Aditya perbuat.
"Makasih, Ma. Love you more--" Tiba-tiba saja panggilan terputus kemudian terdapat pesan masuk yang tertulis bahwa mamanya harus segera mengakhiri telepon karena mendadak mendapat perintah dari manjikannya.
Vale tersenyum kecil membaca pesan tersebut, lalu meletakkan ponsel itu ke bagian dada. "Selamat tidur, Ma. Vale rindu."
Jarak beberapa detik setelah itu kelopak matanya tertutup, membawa Vale ke pulau mimpi.
***
Sepulang sekolah—setelah menjemput Kenzo--Vale langsung pergi ke toko sepatu setelah melunasi hutang akibat perbuatan dari Aditya.
Sebelumnya memang sepatu milik Kenzo sudah rusak dan minta dibelikan yang baru lagi, setelah beberapa kali meminta Kenzo agar lebih bersabar karena harus menunggu kiriman uang dari Wulan akhirnya hari yang ditunggu datang juga.
Kenzo tampak berseri saat baru saja keluar dari toko tersebut. Ia memeluk sepatu baru itu seakan benda keramat yang harus dijaga seerat mungkin. Sedangkan Vale yang melihat kebahagiaan Kenzo yang sangat terpancar jelas dalam indera penglihatannya membuat diri Vale juga ikut merasa senang.
Jujur, selama dulu Vale hidup berpesta dan sering menghabiskan uang ia tidak sedikit pun pernah merasakan rasa bahagia seperti ini. Seperti perasaan haru bercampur bahagia hanya karena mengantarkan Kenzo membeli sepatu baru yang harganya tidak ada seperempat dari harga barang-barang milik Vale dulu.
Namun, tiba-tiba saja bibir itu yang semula melengkung harus berganti datar saat melihat Kenzo terjatuh karena tersandung batu, membuat sepatu barunya terpental hingga di tengah jalan dan diinjak mobil yang melaju.
Saat spion mobil itu dibuka, ternyata dalangnya tak lain halnya adalah Jovanka dan teman-temannya. "Ups, sorry nggak sengaja. Makanya jangan jalan kaki, kesandung kan. Oh, iya lupa kan sekarang miskin makanya nggak punya mobil."
Mendengar hal itu tentu Vale nggak tinggal diam. Ia langsung mengumpat dan marah-marah tidak jelas sambil mengacungkan jari tengahnya kepada mereka. Namun, saat Vale berlari menuju mobil itu--yang sebelumnya terhenti—Jovanka langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Payah lo! Kalo berani, sini turun!" teriak Vale saat mobil tersebut sudah menghilang dari sudut pandang. Namun, ada keterkejutan saat Vale mencoba membalik badan—mencoba menyusul Kenzo yang masih berada di belakang. Suara teriakan yang tak asing dan juga suara tabrakan tiba-tiba saja terdengar membuat Vale juga ikut berteriak saat suara teriakan itu ternyata adalah—
"Kenzo!"
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
23 Mei 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro