Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Titik Leleh



Es batu juga bisa mencair

.

.

.

Kering sudah rasanya air mata Vale karena kebanyakan menangis. Ia bangkit saat sebelumnya berjongkok di parkiran sekolah. Vale melangkah dengan pandangan yang kosong.

Terlihat Freeya, Hera dan Veronica yang sedang keluar dari persembunyian. Sepertinya mereka sedang menghindari wartawan yang seakan tadi sedang menyerbunya.

Vale menghentikan langkah lalu melambai kepada mereka tapi kehadiran Vale seakan tak ada, mereka tetap melanjutkan langkahnya tanpa melihat ke arah Vale.

Vale mengembuskan napas, dengan sekuat tenaga ia menampilkan senyuman terbaiknya dan kembali berjalan ke arah gerbang sekolah. Entah, Vale juga heran mengapa tadi para wartawan itu bisa masuk ke sekolahan ini.

Lagi, dan lagi langkah kaki cewek itu harus terhenti saat sebuah air yang berasal dari genangan air di pinggir aspal mengenai tubuhnya hingga basah. Vale mengumpat lalu kaca mobil itu terbuka dan tampaklah penghuni di dalamnya. Veronica menyorakinya sambil mengacungkan jempol ke arah bawah. "Mana mobilmu, Tuan Putri. Kok jalan kaki, sih!" Saat Heera yang menyetir sedangkan Freeya duduk di jok belakang hanya membuka kaca mobilnya sekilas lalu menutupnya kembali. Biasanya jika dalam kondisi seperti inilah Freeya yang akan membantu.

Kesabaran Vale hari ini benar-benar sedang diuji.

Ketika mobil itu sudah melaju kencang tiba-tiba saja air mata Vale kembali menetes, bukan karena perlakuan Veronica yang menyebalkan hanya saja saat menatap Freeya--yang dulu sebegitu dekat--kini menjadi asing.

Ternyata rasanya begitu sesak ketimbang diputusi oleh seorang pacar secara sepihak.

Vale kembali melangkah, ia langsung mengusap air matanya takut jika harus ketahuan oleh orang lain saat melihat sebuah angkot terhenti di hadapannya.

Sesampainya di rumah rasanya aneh saat Wulan yang biasanya menyambut kedatangan Vale saat pulang sekolah tapi kini sangat sepi. Vale merasa sangat kesepian.

Tubuhnya terjatuh di lantai. Ingatan beberapa hari yang lalu saat bersama Wulan menangis di tempat ini kembali terngiang.

"Mama Vale rindu," lirihnya kemudian.

Jika diingat-ingat kembali, mengapa dulu ia sangat membenci mamanya begitu dalam? Padahal wanita itu benar-benar sangat menyayanginya hingga Vale baru memahami perkataan Wulan pada waktu itu.

Ia baru menyadari penyebab Vale benci kepada mamanya hanyalah sebuah sifat kekanakan yang mengira Wulan lebih sayang Aditya ketimbang dirinya, padahal itu semua hanyalah sebuah pikiran Vale sendiri hingga sebuah deringan ponsel yang menyadarkan Vale pada kenyataan.

Dengan segera cewek itu mencari ponselnya lalu menarik tombol hijau itu ke atas. "Assalamualaikum, apakah benar ini dengan kakaknya Kenzo?" Terdengar suara dari arah seberang sana.

"Waalaikumalam. Iya, dengan saya sendiri. Mohon maaf ini siapa, ya?"

"Jadi, begini saya gurunya Kenzo di sekolah karena beberapa hari yang lalu Bu Wulan selaku mama Kenzo berpesan agar menitipkan Kenzo kepada saya selagi kakaknya belum menjemput karena pulang dari sekolah. Katanya jam segini kakaknya sudah pulang makanya saya telepon hanya ingin memberi info bahwa Kenzo sudah bisa dijemput di rumah."

Untuk beberapa menit Vale masih terdiam, mengingat-ingat sesuatu hingga otaknya menemukan sebuah berkas yang sempat terselip.

"Astaga. Iya, Bu. Maaf gue kelupaan—eh maksudnya saya. Aduh, maaf-maaf."

Wulan memang sudah pernah bilang kepada Vale bahwa selagi Vale belum pulang dari sekolah akan menitipkan Kenzo di rumah gurunya.

"Untuk alamatnya nanti saya share lock aja ya, Mbak."

"Makasih, Bu."

Panggilan ditutup. Dengan cepat-cepat Vale bangkit dan keluar dari rumah tapi suara motor mengalihankan atensinya.

"Motor siapa itu, Dit?"

Vale sempat tercengang saat melihat motor besar yang berada di balik helm itu ternyata adalah adiknya.

"Motor Adit, lah! Gimana, Kak? Keren, kan."

"Emangnya lo dapet uang dari mana?"

"Uang tabungan Adit-lah. Kan waktu itu sempat dikasih uang sama mama yang dari asuransi itu kalo gak salah."

Vale mengernyit. "Berarti sekarang duit lo abis dong?"

Dengan bangganya Adit mengangguk. "Keren kan Adit, Kak?" ucapnya sambil mengelus-elus motor barunya, mengingat kalo ada Wulan pasti Adit dilarang mengendarai motor sendiri. Memang dari dulu Adit selalu diantar jemput dengan supir meskipun sebenarnya Aditya bisa mengendarai motor.

"Adit! Gila lo, ya. Udah tau ekonomi keluarga lagi krisis dan bisa-bisanya lo beli motor itu!"

Mendengar Vale yang sudah naik pitam, buru-buru Aditya melajukan motornya dengan cepat dan bagaimana pun juga Aditya masih berada di fase pertumbuhan.

***

Kebetulan rumah guru Kenzo tidak terlalu jauh dari rumahnya sehingga Vale memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Selama dalam perjalanan tak henti-hentinya Vale mengomel sendiri akibat tingkah laku adiknya. "Jadi gini kelakuan anak kesayangan mama kalo gak ada mamanya di rumah."

Vale menendang beberapa kerikil kecil di hadapannya. "Meresahkan! Awas aja lo, Dit. Gue aduin ke mama."

Lagi, kali ini Vale tidak menendang kerikil kecil melainkan sebuah kaleng dengan tendangan yang agak ekstra. "Tapi, apa haknya gue? Kan itu duit-duitnya Adit." Valeh terkekeh. "Gue dulu juga gitu sih," ucapnya sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal.

Di lain sisi terdengar suara orang mengadu kesakitan akibat kaleng yang baru saja Vale lemparkan kemudian setelah Vale lihat ternyata itu adalah si Cupu, laki-laki yang pernah ia permalukan harga dirinya di kantin sekolah.

Cepat-cepat Vale bersembunyi di balik pohon besar. Apa katanya nanti jika ia ketahuan bahwa seorang Jeovanna Valeria berada di perkampungan kumuh seperti sekarang. Dengan cepat Vale berlari agar segera sampai pada tujuan.

Sesampainya di rumah guru Kenzo, Vale langsung mengetuk pintu dengan sopan lalu keluar wanita cantik yang terlihat sangat anggun. Ia mempersilakan Vale masuk terlebih dahulu.

"Kakaknya Kenzo, ya?"

Vale hanya mengangguk.

"Sebentar, ya. Kenzo-nya masih tidur. Ayo masuk dulu, Mbak."

Aneh rasanya jika mendengar orang lain memanggil dirinya dengan sebutan, "Mbak". Namun, Vale hanya bisa diam dan menurut.

"Sebentar, ya. Aku buatin minuman dulu."

"Nggak usah. Jangan repot-repot, Bu."

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lembut.

"Nggak apa-apa. Lagian Kenzo-nya masih tidur nyenyak, sekalian mau aku bangunin dulu." Kemudian wanita itu melenggang pergi dari hadapan.

Beberapa menit setelah itu dengan muka yang habis bangun tidur, Kenzo keluar dari salah satu kamar. "Kakak," ucap Kenzo sambil memeluk Vale.

Vale pun membalas pelukan adiknya. "Udah bangun," tutur Vale dengan mencium puncak kepala Kenzo dan sang pemilik hanya mengangguk lemas.

Terlihat wanita paruh baya tadi datang dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman teh hangat. "Wah, Nak Kenzo. Udah bangun. Ini diminum dulu tehnya." Wanita paruh baya itu meletakkan gelas tadi di atas meja. "Ini juga buat—"

"Vale, Bu. Panggil saja Vale."

Wanita itu hanya tersenyum halus ke arah Vale. "Mbak Vale."

Kemudian terdengar suara seseorang dari pintu keluar yang membuat mengalihkan pusat perhatian.

"Bunda, maaf. Tadi ada orang gila yang ngelempar kaleng. Jadinya telurnya pecah semua deh. Mana sakit banget lagi kena wajah aku. Kan jadinya aku kaget terus jatuhin tuh telur!"

Melihat hal itu refleks Vale langsung berdiri sambil melotot. "Genta?"

***

Jangan lupa meninggalkan jejak

21 Maret 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro