10. Timah Hitam
Manusia lupa bahwa timah hitam memang tahan terhadap korosi, kecuali air laut murni dan larutan alkali.
.
.
.
Vale menoleh saat gerombolan itu tiba-tiba menepi dan menampakkan seseorang--yang tak lain halnya adalah Freeya--yang sudah berdiri dan melihat pamlet tentang pemberitaan keluarganya.
Disusul suara reporter yang sedang menampilkan berita pada sebuah acara gosip selebriti pun terdengar saat di kantin ini memang menyediakan fasilitas televisi, membuat semua orang membenarkan informasi yang terdapat di mading ini.
Pandangan Freeya beralih kepada Vale yang berdiri tepat di mading tersebut, menatapnya dengan pandangan yang berkaca-kaca.
Terlihat dada Freeya yang sudah kembang-kempis dengan kedua tangan yang sudah mengepal kuat di bawah, kemudian datang seorang guru yang membubarkan keramain itu agar para murid segera masuk ke kelas masing-masing.
Sesampainya di kelas dengan segera Freeya mengambil tas dan buku-bukunya--yang berada di atas dan kolong meja—berpindah tempat duduk di belakang paling pojok dan diikuti dengan Veronica , Jovanka dan Heera. Dengan kekuasaan yang dimiliki, dengan mudah mereka bertukar tempat duduk dengan pemilik bangku sebelumnya.
"I boleh duduk sama you nggak, Free?"
Dengan melihat ke arah jendela, Freeya mengangguk pasrah saat Heera yang kini duduk sebangku dengannya sedangkan Vale yang sudah paham dengan watak sahabatnya itu merasa bahwa Freeya mengira dirinyalah yang menyebarkan informasi tersebut hingga membuat teman kecilnya marah padanya, kini Vale hanya bisa menatap teman-temannya dari kejauhan--saat ingin menghampiri dan menjelaskan tentang apa yang sedang terjadi tapi keburu guru datang.
Selama pelajaran dimulai Vale hanya bisa termenung. Memikirkan bagaimana berita itu tersebar saat hanya Vale-lah satu-satunya orang yang dipercayai oleh Freeya di sekolahan ini untuk menjaga rahasia tersebut hingga pikirannya tertuju pada satu nama.
"Heera!"
***
Bel istirahat terdengar. Guru yang ada di depan kelas pun mengakhiri pelajaran kemudian membereskan buku-bukunya dan melangkah meninggalkan kelas dan diikuti para murid di belakangnya.
Tanpa rasa ampun, Vale langsung ke bangku belakang pojok—tempat teman-temannya kini duduk di sana.
Suara gebrakan meja yang sangat keras membuat Heera, dan Jovanka menoleh saat Veronica yang sedang menemani Freeya pergi ke kamar mandi pada jam pelajaran tadi yang belum kembali hingga sekarang.
"Mau lo apa sih, Heer? Lo mau cari gara-gara sama gue?"
Dengan segera Vale menjambak rambut Heera hingga membuat pemiliknya mengadu kesakitan.
"Heh! Lo gila!" Jovanka yang tidak terima saat melihat Heera diperlakukan seperti itu langsung menjambak balik rambut Vale.
"Gue nggak ada urusan, ya, sama lo!" Vale langsung mendorong tubuh Jovanka menggunakan kakinya hingga membuat si korban terbentur bangku dan terjatuh di lantai. Sebuah cairan kental terlihat menetes saat benturan itu mengenai kepalanya hingga membuat Jovanka hanya bisa duduk tanpa bisa lagi membela Heera.
Sekarang dengan leluasa Vale bisa menjambak rambut cewek yang sudah membuat persahabatannya berantakan seperti sekarang.
"Lo ngaku aja deh, Her. Kalo lo kan yang nempelin pamlet itu ke mading dan nyebarin informasi itu ke media?"
Heera hanya menggeleng dengan wajahnya yang tampak ketakutan. "Maksud you apa sih, Ve? I nggak tahu apa-apa!"
Melihat Heera yang sok suci seakan membuat Vale semakin kesal sendiri. "Jangan sok polos deh, Heer. Lo kan tahu informasi itu dari gue dan lo satu-satunya orang yang gue ceritain terkait masalah keluarga Freeya!"
Tak disangka perkataan itu terdengar langsung oleh Freeya saat gadis itu sudah kembali dari kamar mandi.
"Oh jadi gini kelakuan lo di belakang gue, Ve—em maksud gue Vale!" kata Freeya yang menekankan kata di akhir kalimatnya saat tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di belakang Vale.
"Terus ke siapa lagi lo ceritain masalah keluarga gue, hah?"
Vale menoleh saat kehadiran Freeya begitu mengejutkan baginya.
"Lo tau kan, kalo masalah itu adalah rahasia terbesar di keluarga gue ... dan gue nyesel bisa begitu sepercayanya cerita sama lo."
Vale seakan membisu di tempat tapi di lain sisi ada rasa sakit yang mengganjal pada benaknya saat mendengar Freeya mengganti pengucapan Ve menjadi Vale.
Sebagaimana sebelumnya bahwa Ve adalah panggilan nama bagi orang-orang terdekatnya dan sekarang sebutan itu sudah tidak berlaku lagi bagi seorang Freya Daniela, sahabat Vale sejak kecil.
"Free, gue bisa jelasin kalo itu bukan gue yang nyebarin." Kemudian menatap Heera yang masih tampak ketakutan akibat perlakuan Vale sebelumnya. "Lo kan yang nyebarin? Ngaku aja deh, jelasin semuanya ke Freeya sekarang! Dan gue bakal ngelupain masalah ini dan maafin lo di detik ini juga."
Mendengar hal itu justru membuat Freeya semakin geram. "CUKUP!"
Vale menoleh ke sumber suara.
"Cukup, Vale. Gue udah muak sama lo!" teriak Freeya sambil terpejam. "Sifat lo dari dulu emang gak bakal bisa berubah! Gue capek ngertiin sifat lo terus." Nada bicaranya bergetar. "Gue capek ngerasa rendah saat temenan sama lo, Vale!"
Amarah Freeya kali ini benar-benar sudah meledak. Untuk pertama kalinya Vale melihat Freeya begitu marah padanya.
"Sekarang, gue males berhubungan sama lo dan anggep kita nggak pernah kenal sebelumnya."
Freeya berjalan melewati Vale, memeluk Heera yang masih mematung di tempat. "Lo nggak apa-apa, Heer?"
Pemilik nama hanya mengangguk kemudian suara Veronica yang membuyarkan suasana yang agak canggung.
"Ya ampun, Jovanka! Kepala lo berdarah."
Cepat-cepat Freeya berjalan mendekat, sehingga sedikit mendorong bahu Vale hingga gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang.
"Kenapa lo bisa berdarah gini?" tanya Freeya khawatir.
Dengan lemah Jovanka menjawab, "Vale yang dorong gue."
Mendengar hal tersebut, Veronica dan Freeya langsung menatap Vale dengan tatapan tidak suka. Freeya melangkah mendekati Vale yang masih mematung di tempat. "Puas lo!" Lalu kembali mendekati Jovanka lagi.
"Ayo bawa dia ke UKS!" seru Freeya kemudian mereka pergi ke tempat tujuan dengan Veronica yang melengos ke arah Vale.
***
Sepulang sekolah rasanya aneh saat biasanya Vale akan tertawa dan rundingan akan berpesta ke rumah siapa bersama teman-temannya. Namun, berbeda dengan kali ini.
Sekarang ia duduk sendiri, lebih tepatnya tidak ada yang mau duduk sebangku dengannya apalagi saat berita bahwa Vale membenturkan kepala Jovanka sampai berdarah tadi siang membuat orang-orang enggan berhubungan dengan Vale.
Terlihat jepretan kamera dari para wartawan yang berbondong-bondong ingin mewawancari Freeya membuat Vale merasa bersalah. Pasalnya dari dulu Vale tahu bahwa Freeya sangat benci dengan media.
Ada trauma tersendiri yang membuat Freeya tidak suka jika harus berhubungan dengan media sedangkan orang tuanya adalah seorang selebriti yang terkenal.
Namun, dengan sigap Veronica dan Heera membantu untuk menghalau saat posisi Vale dulu kini tergantikan oleh Heera sedangkan Jovanka sudah pulang terlebih dahulu sejak dokter UKS menyatakan perlu adanya sekitar dua jahitan untuk menutupi lubang yang ada di kepala Jovanka saat terbentur bagian terlancip dari sebuah bangku sekolah hingga membuat Vale semakin merasa bersalah apalagi gadis itu belum sempat meminta maaf.
Kini Vale melangkah sendirian. Ia tampak menoleh mencari sesuatu saat yang Vale butuhkan saat ini adalah kata semangat dari seorang kekasih, Rio.
"Mungkin dia belum pulang," gumam Vale yang kemudian melangkah ke arah parkiran sekolah.
Ternyata dugaannya benar. Terlihat Rio akan membuka pintu mobilnya.
Dengan segera Vale langsung berlari dan memeluk tubuh Rio. "Kamu ke mana aja sih, Honey. Aku kangen."
Memang benar, sejak pertengkaran beberapa hari yang lalu, hubungan antara keduanya sedikit renggang.
Bukannya membalas pelukan Vale, tanpa rasa bersalah Rio langsung melepaskan pelukan itu dengan kasar.
"Apaan, sih. Lepasin gue!"
Ada rasa bingung di benak Vale saat Rio mengucapkan kata "gue" bukan "aku" sebagai pasangan kekasih.
"Gue?" tanya Vale mengulang perkataan Rio barusan.
"Ya, gue nggak sudi punya pasangan pengkhianat kayak lo, Sampah!" Rio mendorong tubuh Vale hingga terjatuh.
"Lo tau kan kalau Freeya itu sahabat lo dari kecil? Kenapa lo tega sih, ngelakuin hal kayak gitu? Dasar, Cepu!"
Tampaknya berita Vale mengkhianati Freeya juga sudah tersebar ke penjuru sekolah.
"Gue bukan cepu dan stop ngatain gue dengan perbuatan yang bukan gue lakukan. Lo percaya kan, Yo? Itu fitnah."
Terdengar suara tawa dari mulut Rio. "Dan sekarang gue mau kalo kita putus!" Kemudian Rio masuk ke mobilnya.
"Nggak, nggak, nggak!"
Mendengar hal itu Vale langsung bangkit, dan menghampiri Rio.
"Nggak, nggak, Rio! Jangan putusin gue!" teriak Vale saat Rio sudah melaju cepat dengan mobilnya, meninggalkan Vale sendirian di parkiran sekolah saat gadis itu menangis sekencang-kencangnya sambil memukuli tubuhnya sendiri.
Meratapi nasib bahwa dunia seakan berencana membuat hidupnya berantakan secara bersamaan.
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
18 April 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro