1. Titik lebur zat padat
.
.
.
Benda padat akan berubah menjadi benda cair jika dilihat dari sisi yang berlawanan
.
.
.
"Sebuah pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ seratus delapan puluh dua yang membawa rute Pontianak -Jakarta mengalami kecelakaan di Kepulauan Seribu saat membawa lima puluh orang penumpang dan dua belas kru. Berdasarkan data sementara yang ditemukan terdapat dua orang dengan luka ringan, sepuluh orang menjalani perawatan intensif, dua puluh orang lagi masih dalam pencarian dan tiga puluh orang lainnya ditemukan tewas."
Vale menoleh saat mendengar berita di televisi itu yang disiarkan secara langsung di tempat kejadian.
"Kenapa, Ve?"
Ve adalah nama panggilan keakraban dari cewek tersebut.
"Pesawat Sriwijaya Air itu bukannya bokap lo, ya?"
Kebetulan hari ini mereka sedang berkumpul di rumah Jo—pacar Vale. Sudah menjadi agenda rutinan mereka selalu membuat jadwal party kecil bergilir, mengingat anak di bawah umur tidak diperbolehkan masuk ke klab malam.
"Veronica, kalau ngomong itu yang jelas. Ya, kali bokapnya Ve disamain sama pesawat," sanggah Jovanka yang gemes dengan kelakuan temannya itu.
"Ya—iih lo tuh berapa tahun sih temenan sama gue. Maksud gue gitu ... lah! Lo ngerti, kan?"
Dengan tampang polosnya Jovanka menggeleng. "Nggak."
"Ihh! Dasar kamu, ya—"
"Udah-udah. Bisa-bisanya kalian ribut di situasi kayak gini," timpal Freeya, memotong pembicaraan Veronica saat ingin memukul Jovanka, sedangkan Vale masih mematung di tempat sambil melihat layar ponsel, mencoba memastikan kiriman foto tiket pesawat milik Hanan—ingin melihat jenis penerbangan apa yang dinaiki papanya, apakah sama yang sedang diberitakan sekarang atau tidak. Pasalnya Hanan—papa Vale—sering mengirimkan kabar melalui personal chat meskipun sering Vale abaikan.
"Gue harus balik sekarang."
"Eh tunggu, Ve! Kartunya udah dikocok, minggu depan giliran lo—" ucap anggota lain.
Perkataan itu langsung terpotong saat Jo langsung menghampiri.
"Mau pulang sekarang, Sayang?"
Vale hanya mengangguk sambil membereskan barang-barang saat cewek itu berniat untuk menginap.
"Tapi ... sorry, Sayang. Gak bisa nganter. Gue tuan rumah di si--"
Dengan cepat Vale langsung membungkam perkataan itu dengan mulutnya secara cepat. "No problem. Gue bisa pulang sendiri."
"Hati-hati, Sayang." Jo membalikkan badan sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Mari kita berpesta!"
Suara musik DJ terdengar keras, Freeya tertegun dengan tingkah laku pacar sahabatnya itu. "Dih cowok apaan kayak gitu! Pacarnya dapet musibah malah gak ada tampang sedih-sedihnya pun."
"Putusin aja, Ve," jawab Jovanka mengompori.
"Iih kalo ngomong suka bener," tambah Veronica. Mereka berdua memang suka ikut-ikutan dan mudah terbawa suasana.
Sedangkan Vale hanya tersenyum dan memaklumi sifat pacarnya.
"Udah-udah, gue mau balik dulu."
Dengan cepat Freeya meraih pergelangan tangan Vale yang sedang membalikkan badan. "Lo serius pulang sendiri? Gue anter, ya?"
Cewek itu kembali menoleh ke arah Freeya. "Gak usah. Gue pulang sendiri aja. I'am oke."
***
Vale mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Entah, padahal beberapa menit yang lalu cewek itu bisa tertawa puas bersama teman-temannya yang lain. Namun saat ia sendiri seperti sekarang, jiwanya menjadi lebih sensitif dan Vale benci mengakui hal itu.
Mobil berhenti tepat di depan rumah yang sangat megah saat sebelumnya sudah terparkir taxi di halaman. Melihat Vale keluar dari mobil, cowok itu mengatakan sesuatu kepada driver hingga taxi itu pun melaju meninggalkan tempat tersebut.
"Kak, dari mana aja sih lo, hah? Tau nggak tadi mama pendarahan dan pa ... papa ...."
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Vale langsung memasuki rumah sambil menelepon seseorang. "Hallo, Fre. Pesankan tiket pesawat sekarang juga!"
Vale keluar dari rumah sambil menenteng koper di kedua tangan, melangkah melewati Aditya yang duduk di teras. Melihat Vale yang sedang mengabaikannya, Aditya pun berjalan menghampiri dan langsung meraih pergelangan tangan kakaknya.
"Mau lo apa sih, Kak? Gue jauh-jauh ke sini, disuruh mama buat mastiin lo baik-baik aja tapi malah gini balesannya."
Vale terdiam lalu melepaskan tangan Aditya dengan kasar. "Oh jadi lo ke sini cuman disuruh nyokap? Gue nggak butuh, mending lo balik aja sono ke rumah sakit."
"Jaga ya omongan lo, Kak. Gue nggak suka lo bilang gitu ke mama!" Dengan satu dorongan Vale sudah terjatuh di tanah dan membiarkan kopernya masih di tempat. Namun, Vale langsung bangkit dan mendorong balik pundak Aditya yang belum sempat terjatuh karena langsung menjambak rambut kakaknya dengan kencang.
"Lo-nya aja yang kekanak-kanakan. Mama tuh sayang banget sama lo tapi lo-nya aja yang kek gitu, Kak!"
Vale menarik kerah adiknya saat merasakan rambutnya yang hampir copot saat tarikan Aditya terlalu kuat. "Gue benci kalian semua!" Teriakan itu membuat Vale menjauh saat sebelumnya ia menginjak kaki Aditya, melepaskan diri hingga ia memilih untuk memunguti kembali koper tersebut.
"Lo mau ke mana, Kak, malem-malem gini?"
"Nyusul bokap."
"Gue ikut!"
"Gak!"
"Bodoh, gue tetep ikut meskipun lo larang. Gue bakalan buntuti lo dari belakang! Itu perintah mama."
***
Perjalanan yang sangat melelahkan bagi Aditya dan Vale akhirnya sampai juga. Pasalnya Freeya sebelumnya memang memesankan dua tiket pesawat sekaligus karena rencananya ia ingin ikut menemani Vale ke Pontianak—tempat kecelakaan Hanan terjadi. Namun, melihat Vale datang bersama Aditya akhirnya Freeya mengalah.
Pagi ini setelah semalam menginap di hotel yang sudah dipesankan juga oleh Freeya, Vale terbangun. Begitu juga dengan Aditya yang masih terlelap saat memilih mengalah tidur di sofa.
Diam-diam Vale mengamati wajah Aditya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. Tak terasa ujung bibir Vale tertarik ke atas saat melihat Aditya terasa tenang dan damai. Namun saat mengingat pertengkaran semalam, bibirnya kembali datar kemudian Vale langsung pergi ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh pihak hotel pun datang.
Setelah Aditya dan Vale sudah bersiap-siap dan membersihkan diri, mereka berangkat ke tempat kecelakaan pesawat itu terjadi.
Ternyata mereka tidak sendiri, di sana juga banyak keluarga korban yang sedang mencari keluarga mereka. Untuk saat ini Vale masih berharap bahwa papanya masih hidup, mengingat Hanan masuk pada daftar nama korban yang masih dalam pencarian.
Ponsel Vale berdering hingga menampakkan nama 'Mama' di layar. Dengan segera Vale menarik tombol hijau itu ke atas meskipun pada awalnya ia enggan untuk mengangkat.
Terdengar suara Wulan dari balik layar. "Hallo, Sayang. Gimana perjalanannya ke Pontianak? Lancar?"
Dengan nada sinis, Vale menjawab, "Pasti dikasih tahu Adit, kan, kalau gue ada di Pontianak?"
Sedangkan pemilik nama Adit itu masih terlihat waswas di pinggir pantai, menunggu tim SAR membawa korban ke tepi pantai.
"Iya, semalam Adit ngabari sewaktu kalian ada di pesawat."
Dengan malas Vale menendang air pantai sambil menatap ke bawah sebagai bentuk luapan emosi saat Vale berada di bibir pantai. "Dasar, tukang ngadu!" gumamnya meskipun cukup terdengar jelas dari balik layar.
Wulan pun mengembuskan napas pelan, terdengar suara tangis bayi di seberang sana, membuat Vale terbelalak dan mendengarkan dengan serius.
"Congratulation, Sayang. Kamu punya adik lagi, Ve. Dia cantik, Mama udah lahiran dengan sehat dan selamat. Semoga papa selamat juga, ya, di sana. Titip Aditya, adikmu supaya kalian bisa pulang sama-sama dan papa juga bisa mengazankan si Kecil ini dengan segera."
Ada haru saat Wulan mengatakan hal tersebut hingga membuat air mata Vale berkaca-kaca, bibirnya sedikit bergemetar saat mendengar kabar baik bahwa adiknya lahir dengan sehat apalagi itu adalah cewek, kenginannya dari dulu padahal Vale adalah orang pertama yang menolak akan kelahiran bayi itu lantaran keteledoran Wulan yang lupa untuk mengonsumsi pil KB, mengingat juga Vale mempunyai dua adik cowok dan itulah alasan mengapa Vale tidak menyukai jika Wulan hamil lagi.
Obrolan tersebut terhenti saat Vale mendengar teriakan Aditya yang cukup keras hingga membuat Vale hampir menjatuhkan ponselnya. Dengan segera Vale menutup ponsel itu tanpa aba-aba.
"Nggak, itu bukan papa!"
Mata Vale waswas melihat ke sekeliling, mencari keberadaan Aditya. Cewek itu pun berlari setelah netranya menangkap sesuatu, menghampiri Aditya dan memeluk tubuh adiknya dari belakang.
Beberapa menit setelah itu terlihat tim SAR berjalan melewatinya membawa kantong mayat berwarna orange. Adit berlari, mencoba menyusul tim SAR dan Vale mengekor. Perlahan tim SAR membuka kantong mayat tersebut hingga tampaklah wajah seseorang.
Vale yang melihat itu langsung syok dan seakan tak percaya. Wajah yang sama sekali tak Vale harapkan ada di sana. Namun, ia masih bisa menguasai. Namun, berbanding terbalik dengan Aditya yang bertambah kencang menangis--seperti sudah melihat siapa sosok dibalik kantong mayat itu sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya Vale melihat adiknya itu menangis histeris seperti sekarang hingga membuat Vale kelabakan sendiri, menahan cowok itu agar tidak mengganggu proses tim Sar dalam pengurusan jenazah.
"Ma ... ma-maaf. Vale belum bisa ngewujudkan permintaan mama barusan," gumam Vale sambil menahan buliran bening keluar dari pelupuk mata.
***
Hehehe gimana bab pertama ini?
Jantung udah aman?
Tenang, ini baru permulaan.
Tunggu kejutan hadiah menarik lainnya dari aku, ya.
Jangan lupa meninggalkan jejak
15 Maret 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro