Bab 1 : Feel Blue
Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan.
Tanisha mengamini itu. Walau dalam kasusnya, sang ayahlah yang jadi penentu. Rencana besarnya bersama Aruna--sahabatnya sejak SMA--untuk masuk jurusan musik di salah satu universitas negeri di Jogja pupus sudah. Tentu saja karena ambisi dan kekuasaan sang ayah. Lagi.
Tanisha ingat betapa kecewanya dia saat asisten ayahnya mendatangi sekolahnya. Hanya beberapa hari sebelum gadis berambut panjang itu resmi pindah ke kosan baru di dekat universitas. Kedatangan laki-laki yang menjadi kepercayaan ayahnya itu bukan untuk membantu Tanisha pindahan, tapi menyampaikan pesan yang terdengar lebih seperti ancaman bagi Tanisha : kuliah di kampus dengan jurusan yang ayahnya tentukan atau semua fasilitasnya dicabut dan dia terancam gagal melanjutkan pendidikan.
Tanisha tidak memiliki cukup kuasa untuk menolak. Kendati dia termasuk siswa yang pintar sejak sekolah dasar, dia tidak terlalu percaya diri untuk bisa melanjutkan hidupnya tanpa dukungan sang ayah. Tidak sekarang. Tidak saat secara mental dan finansial dia belum benar-benar siap.
Bahkan Mas Dipta--kakak keduanya yang lebih dulu tinggal di ibukota-- juga turut membujuknya untuk menuruti kemauan ayah mereka. Ditambah lagi kesehatan Aruna yang kembali menurun membuat keluarga sahabatnya itu meminta Aruna untuk menunda niatnya melanjutkan kuliah. Sesuatu yang membuat Tanisha semakin tidak memiliki alasan lain untuk bertahan di kampung halamannya itu.
Setelah urusan kampus dan jurusan ditentukan oleh sang ayah, setidaknya Tanisha ingin menentukan sendiri di mana dia tinggal selama menjadi mahasiswa. Jadi dia menolak tegas saat asisten ayahnya ingin mencarikan tempat tinggal untuknya. Dia bahkan terpaksa meminta tolong pada Dipta, sesuatu yang selama ini berusaha dia hindari.
Dan di sinilah dia berada sekarang. Di kursi penumpang mobil sang kakak yang terparkir di depan gerbang salah satu indekos yang ada di ibukota. Tempat ketiga yang Tanisha dan Dipta datangi hari ini.
Tempat pertama cukup dekat dari kampus, tapi Tanisha menolaknya karena terlalu banyak kamar dan semuanya penuh, hanya tersisa satu kamar di ujung lantai dua untuknya. Membayangkan akan menghabiskan banyak waktu di tempat seramai itu setiap harinya membuat Tanisha ngeri sendiri.
Tempat kedua lebih kecil dan terlihat cukup tenang karena memang penghuninya khusus mahasiswi dari kampusnya. Tapi lagi-lagi Tanisha menolaknya dengan alasan yang menurut Dipta agak konyol, tidak suka tata letak bangunannya. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Tanisha masih sedikit trauma dengan kumpulan anak perempuan sebaya seperti itu.
Lewat rekomendasi dari salah satu teman kantor Dipta, kedua kakak beradik itu akhirnya sampai di sini. Bangunan dua lantai yang berjarak 30 menitan dari kampusnya berada.
Bangunan itu sederhana. Tidak terlalu besar tapi tidak bisa disebut kecil juga. Hanya terdiri dari dua lantai dengan sepuluh kamar pada masing-masing lantai. Walau begitu, dari tempat mereka berada sekarang, bangunan itu terlihat bersih dan nyaman. Ini seharusnya sudah cukup memenuhi kriteria yang Tanisha inginkan.
Namun, alih-alih segera bergegas ke luar dari mobil dan melihat langsung kondisinya, Tanisha justru bergeming. Telinganya masih tertutup headphone berwarna ungu kesayangannya, sedang memutar lagu-lagu yang bahkan mungkin sudah tidak lagi didengar gadis 18 tahun itu. Kepala Tanisha sepertinya lebih berisik dari musik itu sendiri.
"Kita masih bisa putar arah kalau kamu berubah pikiran. Apartemen Mas nggak jauh dari sini, " ucap Dipta yang duduk di kursi kemudi. Laki-laki 25 tahun itu sebenarnya tidak setuju dengan keputusan adik perempuannya itu untuk tinggal sendiri. Dia berharap Tanisha mau tinggal bersamanya. Lebih aman dan juga lebih dekat dari kampus.
Tanisha yang awalnya masih tenggelam dalam lamunannya, seolah tersadar mendengar ucapan Dipta. Dia menggeleng cepat tanpa mengucapkan sepatah katapun. Membuat Dipta lagi-lagi harus menghela napasnya berat, ntah yang keberapa kali hari ini.
Memangnya respon seperti apa yang Dipta harapkan dari seorang Tanisha? Adiknya itu sangat mandiri dan tidak pernah ingin merepotkan siapapun. Dia sangat irit bicara pada keluarganya. Bahkan pada Dipta, yang mendapat predikat sebagai manusia dari rumah utama yang paling dekat dengan Tanisha.
Padahal, kabar yang dia dengar dari beberapa kenalannya mengatakan jika Tanisha sangat ceria ketika berada di sekolah dulu. Anak itu tidak hanya terkenal pintar secara akademik, tapi juga aktif mengikuti organisasi-organisasi sekolah. Pembawaannya yang ceria dan supel sungguh bertolak belakang dengan Tanisha yang dia kenal saat berada di rumah.
"Aku mau lihat ke dalam, " kata Tanisha pelan. Dia mematikan pemutar musik di ponselnya dan melepas headphone dengan gerakan lambat. "Sebentar dulu, " lanjut anak itu setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya.
Harusnya tidak sesulit ini. Tanisha bukan anak introvert yang tidak suka bertemu orang sebelumnya. Menghadapi manusia bukan salah satu ketakutannya.
Ya, dia bukan gadis seperti itu. Setidaknya sampai setahun terakhir sekolah menengah atas. Sebelum beberapa skandal ayahnya terungkap dan salah satunya melibatkan Tanisha. Dunia Tanisha seolah terjungkir balik sejak saat itu.
"Sa..., " panggil Dipta saat lagi-lagi melihat Tanisha hanya diam di tempatnya.
Tanisha menoleh ke arah Dipta dengan gerakan pelan. Dipandanginya kakak keduanya itu lekat-lekat. Lingkaran hitam samar yang menghiasi sekitar mata Dipta cukup menyadarkan Tanisha bahwa kakaknya itu juga mengalami hari-hari yang berat seperti dirinya.
Skandal yang menjerat ayah mereka cukup menyita perhatian publik satu tahun belakangan. Membuat akun media sosial mereka juga ikut menjadi sorotan. Kedua kakak beradik itu bahkan sama-sama menonaktifkan sementara akun Instagram mereka karena tidak tahan dengan hinaan yang sesekali mereka dapatkan dari netizen-netizen iseng yang mungkin kurang kerjaan. Terlebih akun Tanisha, yang namanya juga sempat terseret beberapa waktu yang lalu.
"Mas tahu kamu masih enggan bertemu orang lain. Tapi coba pertimbangkan sisi baiknya. Ini di ibukota. Jauh dari Jogja. Nggak semua orang tahu apa yang terjadi di sana."
Zaman sekarang bahkan kabar di Kutub Utara aja kita bisa langsung tahu, Mas. Ucap Tanisha. Tentu saja dalam hati. Tidak mungkin dia mau menyuarakan isi kepalanya. Alih-alih menjawab demikian, Tanisha justru mengatakan sebaliknya.
"Aku tahu. Aku nggak papa. Cuma butuh penyesuaian dengan suasana baru aja. "
Dipta menyipitkan matanya memandang sang adik. Dia tahu bukan itu yang sepertinya ingin Tanisha ucapkan. Tapi dia berusaha mengerti. Mereka butuh waktu untuk bisa menjadi lebih dekat. Dan dia akan melakukannya secara perlahan. Mendekati Tanisha dan membuat anak itu lebih terbuka padanya adalah misi tersembunyinya sekarang. Diam-diam dia bersyukur karena sang ayah mengirim Tanisha ke sini. Membuat peluang pendekatan itu semakin besar.
"So, sudah siap melihat tempat tinggalmu yang baru? Kata temen Mas penghuni kosan ini semua perantauan dari kota lain. Ada yang satu angkatan denganmu juga."
Tanisha meremas kedua tangannya gugup. Dia menghela napas panjang sekali lagi untuk mengumpulkan keberaniannya. Setelah cukup tenang, gadis dengan mata besar itu mengangguk pelan ke arah sang kakak.
Harus dihadapi. Memangnya dia punya pilihan lain?
******
Lampung, September 10th 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro