Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

C h a p t e r 16

Mahendra menghampiriku yang baru saja tiba di rumah dengan pakaian kusut dan noda darah di pelipis dan tulang pipi. Aku tak menepati janjiku untuk datang ke bar warnet, melainkan pergi menuju tempat yang selama ini ku hindari, tempat dimana pertarungan antar murid terjadi.

Aku melawan tiga sampai empat orang dengan seluruh kekuatan penuh, membuat beberapa orang mengalami luka-luka, termasuk diriku sendiri. Mahendra menghembuskan napas berat, kemudian menuntunku pergi masuk ke dalam kamar. Saat bertanya kemana perginya Ayah dan Ibu, Mahendra hanya menjawab dengan gelengan kecil dan pergi mengambil kota P3K di dalam dapur.

Merebahkan diri di atas tempat tidur, kedua mataku fokus menatap langit-langit dengan dahi yang mengerut dalam. Mengeluarkan ponsel dari dalam kantong celan, aku memperhatikan layar ponsel dengan seksama, kemudian terkekeh karena ponsel itu sudah tidak terbentuk akibat terjatuh dan terinjak-injak.

Mengambil tas yang berada di sebelah tubuh, aku mengambil satu genggam uang yang masih baru bernominal satu juta rupiah dan satu lagi dua setengah juta untuk perbaikan ponsel yang terinjak oleh seseorang. Mendengar langkah kaki yang mendekat ke arah kamar, aku terkekeh dan kembali menyimpan uang ke dalam tas agar Mahendra tidak terlalu banyak tanya.

"Ada Kayla di bawah," ujarnya sebelum duduk.

"Terus urusannya?"

"Dia nangis-nangis minta lo turun."

"Nangis kenapa, gue masih hidup."

Berdecak, Mahendra menunjukkan histori akun ku yang menampilkan dua tangan bergandengan tangan. "Dia bilang lo selingkuh dari dia." Melirik ku sekilas, Mahendra seolah mempertanyakan kebenaran akan hal itu. "Benar begitu?"

"Nggak," terdiam beberapa saat. "gue ketemu Kayla sama Anton pergi berdua sambil genggaman tangan." Mengalihkan pandangan kearah lain, aku menarik napas dalam, kemudian beranjak dari tempat tidur, memilik untuk mengganti seragam dengan kaus santai hitam dan celana putih selutut di kamar mandi, kemudian pergi keluar dengan Mahendra yang mengikuti di belakang. "Gue lagi berusaha berpikir jernih."

"Kalau nggak bisa di lanjut, jangan di tahan."

"Gue bakalan lepasin, kalau itu jelas." Langkah kakiku berhenti di anak tangga ketiga. Disana, aku melihat Anton dan Kayla saling melumat satu sama lain, bukan hanya sekedar menempel, tetapi juga melumat dengan tangan mereka yang saling menekan kepala agar ciuman itu semakin dalam.

Berbalik badan, kedua tanganku reflek menutup kedua mata Mahendra dan mengantarkan anak itu ke dalam kamarku, kemudian menguncinya dariluar. Mahendra memberontak, meminta keluar dari kamar dengan memukul mukul daun pintu, tetapi itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar setelah aku menjelaskan apa yang ku lihat tadi.

"Mas, lo nggak perlu bertahan ditengah badai asmara yang salah."

"Tetapi kalau gue nggak berdiri di tengah, mereka akan terus maju."

"Apa bedanya, lo bisa menutup mata dan telinga lo, tetapi hati lo akan terluka terus, luka nya nggak terlihat, tapi sakitnya terasa."

"Lo nggak paham apapun, diam aja disana, tunggu sampai gue balik."

"Mas, lo lepasin dia, lo nggak akan rugi."

"Ya... ya... ya..."

Tanganku bergerak seolah membenarkan letak pakaian yang ku gunakan saat ini, seolah baru keluar dari dalam kamar, membuat langkah kaki yang berisik, aku sengaja membuat kedua orang itu berhenti melakukan hal buruk di kediamanku, tolong di perjelas lagi; di kediamanku.

Kayla menatap tajam ke arahku yang baru saja duduk di atas sofa tunggal, tempat yang biasanya di tempati oleh Ayahku saat kami semua berkumpul. Menaikan sebelah alis, menaikkan kaki di atas sofa, tanganku bergerak menggaruk betis yang tidak gatal, hanya gemicik agar keduanya bebas melakukan dramanya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu yang kenapa!"

Kedua tangan ku terangkat sebatas dada, bagian telapak tanganku bergerak sedikit seperti menekan, menyuruh Kayla untuk bersabar, sedangkan Anton yang bersebrangan denganku hanya menatap sekilas dan menunduk, sibuk dengan ponselnya kembali. Bahkan sahabat yang sangat ku kenal pun berubah menjadi sosok orang asing saat mengenal cinta.

"Aku mau langsung ke poin aja, maksud kamu apa unggah foto itu?"

"Foto apa?"

"FOTO KAMU GANDENGAN TANGAN! MASIH TANYA LAGI?!"

Kali ini suaranya mengeras, bahkan telingaku sampai berdenging saking kerasnya Kayla berteriak kedua mataku terpejam, suara omelan Kayla masih terus berdengung bagaikan peringatan akan memiliki hubungan yang tak seharusnya akan membuat seseorang terluka dan menanggung beban. Kayla terus memarahiku tanpa membiarkan ku menjawab apa pertanyaan gadis itu.

"Kamu kalau udah bosan sama aku bilang, Ndu! Bilang!"

"Kamu ngomong apa?"

"Kamu mau jadian kan sama Vilza? Jujur aja, aku nggak masalah! Kamu hari ini nggak masuk bisa barengan gitu sama Vilza, terus kamu unggah foto pegangan tangan, kamu pikir aku bodoh?!"

"Argani juga nggak masuk sekolah, kamu nggak coba nuduh dia selingkuh sama aku juga?"

Kayla terdiam. aku menghela napas panjang, tanganku terulur ke depan, mengusap lembut rambutnya, walaupun berakhir dengan tepisan kencang yang ku dapatkan. Kayla menatapku seolah aku adalah sesuatu yang menjijikkan, bahkan Anton terlihat menyeringai saat ketahuan melirik ketika tanganku di tepis oleh Kayla.

"Coba, kamu perhatikan baik-baik." Kataku tenang.

"Kamu mau ngatain aku buta?!"

"Bukan, kamu harus lihat foto itu, aku nggak ada ponsel sekarang, kamu harus bisa lihat foto apa itu."

"SAMA AJA KAMU NGATAIN AKU BUTA! KAMU PIKIR AKU NGGAK BISA LIHAT ITU FOTO ORANG GANDENGAN TANGAN, HAH?!"

"Iya, itu memang foto orang gandengan tangan."

"Berarti itu emang kamu kan sama Vilza?!"

"Kamu bisa nggak, nggak usah sangkut pautin masalah kita ke Vilza?" air muka ku berubah keruh, tatapanku menajam, membuat Kayla yang sejak tadi terlihat sangat berani memaki dan membentakku bergetar di tempatnya. "Kamu lihat baik-baik, ada tangan aku seperti tangan orang itu? ada tangan Vilza selembut tangan orang itu, ada?"

Aku yang awalnya ingin mengontrol emosi pun berakhir dengan gagal. Aku tengah berpikir keras, masalah ini hanya antara aku, Kayla, dan Anton, tetapi menyadarkan Kayla akan kesalahan nya dengan kata-kata sindiran halus pun tak mampu, jika dengan cara keras, aku hanya akan melukai perasaan Kayla, dan aku tidak ingin seperti itu.

"Mumpung masih ada Anton, coba kamu bandingin tangan kalian berdua."

"Maksud kamu apa?! kamu nuduh aku sama Anton begitu hah?!"

"Aku cuma suruh kamu sama Anton bandingin tangan kalian sama fotonya, itu aja." Melipat kedua tangan di depan dada. "Kenapa? Apa ada yang salah sama ucapanku sampai kalian melihatku begitu?"

Anton menarik tangan Kayla, kemudian menggenggamnya tepat di hadapanku, membuatku tersenyum. "Bibir kalian tiba-tiba dowernya barengan ya, habis di sengat sama lebah raksasa dimana? Kok bisa sebasah dan sebesar itu bibirnya?" tanyaku, membuat keduanya terlihat gelagapan di tempatnya. "Ikutan juga dong, makan madu berdua doang, padahal tau kalau gue sama Mahendra suka, padahal lo tau banget Nton, duh, gue merasa di khianati."

Terkekeh kecil. "Bercanda khianat." Melirik genggaman tangan yang menguat, aku menguap lebar dan meringis kemudian karena luka di sudut bibir kembali terbuka. "Udah kali pegangan nya, kayak mau nyebrang aja." Mengibaskan tangan di depan wajah, "Yaudah," beranjak dari sofa. "kalau udah nggak ada yang di omongin lagi, pada pulang gih, mau Maghrib nih, hati-hati di jalan, kalau mau nyebrang, pegangan aja." Menepuk bahu Anton keras. "Gue tinggal, kasihan si Mahendra kekunci di kamar mandi dari tadi."

Saat gue menapakkan kaki di anak tangga teratas, aku melirik sekilas melalui bahu, melihat tangan Anton dan Kayla yang masih saling menggenggam. Tersenyum pahit, kepala ini bergerak mengangguk dengan perasaan sesak yang luar biasa.

"Jika mereka menuduh gue memiliki hubungan dengan Vilza, lalu mereka itu apa? sepasang suami istri?"

Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya melalui teriakan keras. "MAHENDRA, LO BAIK-BAIK AJA KAN DI KAMAR MANDI, BELUM MATI?!" yah, seenggaknya, lewat teriakan itu, rasa sakit di dada hilang begitu saja, memang belum semua, tetapi, setidaknya semuanya terbayarkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro