c h a p t e r 1 2
***
Menatap keluar jendela kelas, aku memilih duduk di sebelah Kayla seperti biasa, mengabaikan tatapan aneh yang di lemparkan oleh Anton yang sejak tadi mengamati kami berdua. Pandangan nya benar-benar membuat ku merasa jengkel.
"Kalian udah baikan?" tanya nya. "Kok cepet banget, siapa nih yang ngalah?" sambunya dengan kerutan di dahi.
"Kita nggak marahan, hanya intropeksi diri." Jawabku singkat.
Kayla tidak mengeluarkan suara apapun, kepalanya tertunduk dengan tangan kanan nya yang berada di atas pahaku dan membuat pola abstrak di atasnya. Melirik sekilas, aku kembali menatap keluar jendela kelas dengan Anton yang kini merubah posisinya menjadi tiduran di atas mejaku dan Kayla.
"Nton," panggilku.
"Hah," menoleh ke arahku, Anton menatap kedua manik ku, dalam. "Ngapa dah?"
"Kagak, muka lo jelek."
"Sialan! Nggak usah lo bilang, Mama gue juga ngakuin kalau gue jelek, sempak!"
Mendengar itu, Kayla tertawa geli, membuatku tersenyum tipis karena Kayla setidak nya tidak semurung yang sebelumnya. Walaupun semarah apapun aku pada Kayla, aku tidak menyukai Kayla yang pemurung, aku hanya ingin dia belajar dari kesalahan nya, dan mengakui jika dirinya benar-benar salah.
"Nton," panggilku sekali lagi.
"Apaan?!" jawabnya sewot.
"Lo cari pacar sana, nggak capek jadi nyamuk mulu?"
Anton tidak langsung menjawab, dia hanya terdiam cukup lama dengan kedua mata yang melirik Kayla yang saat ini tengah menyandarkan kepalanya pada lengan tanganku, membuat tubuhnya miring ke sisi kanan.
"Gue sih cewek banyak yang ngantri, tinggal tunjuk, cuma gue nggak mau pacaran aja, masih menunggu seseorang yang tepat."
"Tepat dalam hal apa?" tanya Kayla.
"Tepat untuk mengisi hati gue yang pasti, dan itu..."
"Lo." Sambungku dengan sudut bibir yang terangkat. "Tuh Kay, di tembak sama Anton, terima keburu garing." Kataku sedikit memanasi, membuat Anton yang sejak tadi menatap Kayla secara terang-terangan menjadi kelimpungan, setelah itu memukul tangan ku kencang dengan delikan kesal. "Sakit bego! Panas banget!" protesku dengan mengusap bekas pukulan nya.
"Jangan ngada-ngada lo! Buset dah, minta di hajar sekali mulut anda,"
"Pake mulut siapa di hajarnya?"
"Mulut gue! sini lo gue cipok sampai dower, kampret!"
Anton mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk di atas mejaku, menyentuh rahangku menggunakan kedua tangan nya, Anton memajukkan wajahnya mendekat ke wajahku membuat Kayla berteriak kencang dengan tangan yang mendorong wajah Anton agar menjauh dari wajahku, Kayla terus-terusan mendorong wajah Anton, namun lupa dengan tangan Anton yang masih memegangi wajahku.
Seluruh anak kelas mengerubung di meja kami saat kedua kaki Anton yang kini melingkar di pinggangku, membuatku otomatis bergerak maju saat tangan Kayla mendorong tubuh Anton ke belakang. Kayla berteriak kencang bahkan hampir menangis saat Anton tidak kunjung melepaskan tangan dan kakinya dari tubuhku, membuat beberapa siswa menarik tubuh Anton ke belakang dan sebagian melepaskan tangan dan kaki Anton dari tubuhku.
"Nton! Gue tau lo kelamaan jomblo, tapi jangan nafsu sama gue, cewek banyak di kelas," kataku dengan senyuman jahil. Sebetulnya, jika kalian lihat lebih jelas, aku benar-benar mengatakan itu sebagai bendera perang saat melihat ketertarikan Anton pada Kayla. Bukan hanya ejekan semata.
"Kan!" teriak Anton! "Emang dasarnya cowok lo yang mancing-mancing gue Kay! Awas aja nanti pulang sekolah gue pake lo!" teriak Anton dengan menggerling nakal saat menatapku.
"Woi Nton! Eling woi! Cah gendeng koe nang!" seru ketua kelas dengan menyemburkan air pada wajah Anton yang di kira kerasukan. Aku dan Kayla tertawa geli bersama dengan yang lain. menertawakan Anton yang mengalami nasib sial karena di sembur oleh ketua kelas yang bertubuh sedikit gempal.
***
Tangan ku bergerak menyalin tulisan yang di dikte oleh Bu Fatma. Anton di perintahkan untuk duduk di sebelah ku oleh Bu Fatma yang sejak tadi terus-terusan melirik ke arah tempat duduk ku. beberapa siswa bersiul keras, menggodaku secara terang-terangan, bahakan beberapa di antaranya mengatakan melihatku berboncengan dengan Bu Fatma.
Mendengus, tanganku terangkat memukul wajah Anton menggunakan buku karena terus-terusan mendekatkan wajahnya pada sisi samping wajahku dan mulai mengendus endus rahang ku. bukan nya menyerah, Anton malah semakin gencar melakukan hal yang sama secara berulang-ulang, membuatku mendiamkan apa yang ingin di lakukan oleh Anton.
"Anton, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Bu Fatma.
Melirik malas ke arah Anton, dan menyelesaikan tulisan yang masih ku ingat di dalam kepala, aku tak membantu Anton yang sejak tadi melirik kearahku, bahkan menendang kaki ku sebagai meminta bantuan.
"Anton, saya tanya sama kamu, apa yang tadi kamu lakukan pada Randu."
"Ng.. itu Bu, saya ketinggalan dikte, makanya saya tanya sama Randu."
"Kalau memang begitu 'kan kamu bisa melihat buku catatan nya, bukan malah seperti kucing yang ingin memandikan anaknya." Seluruh kelas terkikik geli mendengar ucapan Bu Fatma yang langsung mengatakan inti nya dengan bahasa yang tidak memalukan Anton apalagi diriku. "Jangan ulangi hal itu lagi, karena jika orang lain yang melihat akan menjadi tanda tanya besar, dan hal tersebut sangat sensitif untuk beberapa orang. Paham kamu Anton?"
"I-iya Bu, nggak lagi-lagi."
Menggelengkan kepala, Bu Fatma memijat kening menggunakan dua jarinya dan kembali duduk di balik meja yang ada di depan kelas. Kedua mata itu sesekali melirik ke arah kami berdua dan anehnya Anton tidak merasakan jera, malah semakin gencar saat Bu Fatma fokus kepada buku nya.
Gerah terus-terusan di perlakukan seperti itu, meletak kan pulpen di atas buku, kedua tangan ku menangkup wajah Anton dengan kepala nya yang ku hadapkan ke depan agar kembali fokus mencatat, kedua mataku membelalak, berusaha membuat Anton takut, tetapi, bukan nya takut, Anton malah tertawa geli, membuat kami semakin menjadi pusat perhatian.
Kepalaku terbentur dinding di belakang kepalaku saat wajah Anton tiba-tiba maju. Saat wajah Anton semakin mendekat, sebuah tangan menutup wajahku menggunakan buku catatan, membuat Anton mencium buku catatan tersebut, dan setelah nya terdengar suara buku yang memukul punggung seseorang.
"Anton! Pergi keruang BK sekarang juga!" teriak Bu Fatma.
Kedua tangan ku berubah menyentuh udara bertepatan dengan suara kursi yang berdecit. Buku catatan menjauh dari wajahku, membuatku mengedipkan mata cepat dan berteriak memanggil Anton yang masih berdiri di depan pintu masuk bersama dengan Bu Fatma.
Kayla duduk di sebelahku dengan kedua tangan yang menangkup wajah. Kedua mata itu menatapku dengan tatapan khawatir yang terlihat jelas, di tambah lagi dengan pertanyaan yang terus di ulang-ulang membuatku mengangguk agar keadaan tidak semakin keruh dan membuat teman sekelas berpikir yang tidak-tidak.
"Kelamaan sendiri kali ya si Anton, makanya temen sendiri mau di cobain?" cletuk salah satu siswa.
"Kayaknya omongan nya pas istirahat tadi beneran deh." Lenganku di tepuk beberapa kali oleh salah seorang siswa yang bernama Argani. "Lo mending hati-hati sama si Anton, benar yang Bu Fatma bilang tadi, yang di lakuin sama Anton terlalu sensitf banget, apalagi di lihat bocah sekelas."
"Hah," jawabku sedikit linglung. "...Oh iya, iya."
"Parah, sampai linglung gitu lo Ndu."
"Kira-kira Anton kenapa ya, Gan?" tanya Kayla.
"Mending lo jauhin dulu pacar lo dari Anton, nanti bukan Randu yang di tikung Anton, malah lo yang di tikung sama dia."
Menghela napas berat, mengusap wajah kasar lalu menelungkupkan wajah pada lipatan tangan, seluruh tubuhku mendadak merinding mengingat apa yang akan terjadi jika wajahku tidak di tutup menggunakan buku catatan entah milik siapa itu.
Mengumpat keras, aku benar-benar merasakan merinding yang tidak hilang-hilang di tubuhku. Membuat Kayla memeluk ku erat dari samping. "Jangan di pikirin, Anton lupa minum obat." Katanya berusaha menghiburku. "Jangan di pikirin. Mungkin dia bercanda, tapi waktunya nggak tepat." Lanjutnya.
***
Bel pertanda jam sekolah selesai berbunyi nyaring. Mengambil jaket dari dalam tas, mengenakan nya, kemudian memakai tas selempang milik Mahendra, aku bergegas keluar dari kelas, meninggalkan Anton yang mendapat tugas piket sekaligus hukuman karena bercanda di dalam kelas. Iya, bercanda, candaan yang tidak lucu, menurutku.
Sebelum meninggalkan kelas, kepalaku menoleh ke belakang, melihat Anton yang sibuk menaikkan kursi ke atas meja. "Oi, Ton! Gue balik duluan." Kataku berpamitan. Karena aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kami berdua setelah insiden candaan tadi.
Menoleh sekilas, Anton hanya mengangguk dan mengacuhkan ku. membuat keningku mengerut, dalam. Mengedikkan bahu, aku bergegas keluar dari kelas dan pergi menuju halte yang berada di dekat gedung sekolah.
Mahendra A.P : Mas, balik nya ke sekolah gue dulu bisa nggak?
Mahendra A.P : Gue kena masalah, tadi sempet di panggil ke BK.
R. Adjie Prayogo : Kok bisa?
R. Adjie Prayogo : Yaudah, Mas lagi tunggu bus.
Saat tengah sibuk membalas pesan dari Mahendra, kepalaku mendongak saat mendengar suara klakson yang tidak jauh dari tempatku saat ini. mengerutkan dahi, terdiam cukup lama, sebelah alisku terangkat, menatap lama motor yang berhenti di hadapanku.
"Siapa?" tanyaku.
"Mau bareng gue gak Ndu?" tanya orang itu dengan membuka kaca helmnya.
"Lah lo, Gan. Belum balik?" tanya ku saat mengetahui Argani yang menghentikan motornya di hadapan ku. menggeleng. Argani menunjuk ke arah belakang, ke arah sebuah warung kopi yang berada tidak jauh dari sekolah. "Gue habis dari WARKOP, ngumpul sama anak-anak. Lo mau bareng nggak?" tanya nya menawarkan.
"Gue mau ke sekolah Mahendra, duluan aja."
"O... ayo kalau gitu, gue antar."
"Dih,"
"Lah, kok dih?"
"Seram lo kayak Anton."
Bukan nya tersinggung, Argani malah tertawa geli dengan tangan yang memukul tangki motor. "Udah ah! Kagak mungkin gue kayak dia, gila aja. Gue begini karena kasihan aja sama lo, gue lihat tadi si Anton keluarin motor dari parkiran, siapa tau lo mau menghindar dari dia sementara waktu, biar gue bantuin." Katanya dengan punggung tangan yang mengusap mata yang berair efek tertawa.
"Yaudah," jawabku pendek. Naik ke atas motor Argani, aku menepuk punggung Argani, menyuruh teman sekelasku itu untuk bergegas pergi karena suara motor Anton mulai terdengat. "Buruan, kasihan adik gue nungguin."
"Adik lo yang nungguin atau lo mau menjauh dari Kayla sama Anton," tanya Argani.
Motor melaju membelah jalanan. "Gue paham kali, omongan lo di kelas tadi sengaja mancing Anton biar menjauh dari Kayla." Ujarnya, membuatku mendelik di balik punggung Argani yang saat ini tertawa. "Lo kalau mau ancam seseorang, lebih laki lagi, jangan karena itu sahabat lo sendiri jadinya malah lo bercandain." Berdeham, dan terdiam sesaat. "Kalau gue jadi lo, pasti udah gue hajar si Anton."
"Lo tau apa," kataku bukan bertanya. Memalingkan wajah kearah lain, suara helaan napasku terdengar keras membuat Argani lagi-lagi terkekeh. "Semua nya masih samar."
"Makanya yang samar itu bakalan di manfaatin dan di buat semakin samar sama si Anton yang being like a gay, biar dia bisa nutupin ketertarikan nya ke Kayla di mata lo."
"Tapi bisa aja dia memang tertarik sama gue."
"Terserah lo, gue hanya memberitahu apa yang sering gue dengar dari anak-anak di kelas." Motor terhenti di depan pintu gerbang. Membuatku mendongak dan sedikit terkejut karena perjalanan terasa sangat singkat saat menuju sekolah Mahendra yang sangat jauh dari sekolahku. "Tapi, yang jelas, Anton itu satu dari sekian banyak cowok yang mau merebut Kayla dari lo."
"Termasuk lo," kataku. Turun dari motor, dan berdiri di atas trotoar, Argani masih belum ingin menyelesaikan ucapan nya.
Argani hanya menyahuti ucapan ku dengan kekehan kecil. Kemudian berkata, "Anton dan Vilza itu sama-sama pengalih, dan yang jelas, player nya disini bukan cuma lo, tetapi kalian berempat." Argani menggeleng. "Nggak, tetapi hanya lo." Tersenyum penuh makna. "Karena, kalau sampai lo lengah sedikit, Kayla bukan cuma di pegang dari belakang, tapi bisa lebih dari itu, Kayla itu polos yang menyerempet bego. Jadi lo harus jagain yang bener."
Menepuk tangki motor menggunakan kedua tangan, membuat irama, Argani menunjukkan cengiran di wajahnya. "Yaudah, gue balik dulu, sama-sama loh Randu, gak usah bilang terima kasih terus, gak enak gue jadinya." Ujar Argani setengah menyindir.
Berdecih, tanganku tergerak memukul bagian belakang helm nya kencang setelah itu mengucapkan terima kasih, membuat Argani tertawa geli dan pergi meninggalkanku sendirian dengan pikiran yang mengganggu.
***
Halo!
Jangan lupa untuk vote, komen, dan share jika cerita ini menarik perhatian kalian.
tambahkan cerita ini ke perpustakaan kalian agar kalian bisa tahu jika cerita ini sudah update, terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro