C h a p t e r 0 9
Setelah melalui hari yang panjang kemarin, aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali berangkat ke sekolah. Mahendra sudah berangkat terlebih dahulu bersama dengan Ayah yang harus datang ke kantor pagi-pagi sekali, sedangkan Ibuku masih berkutat dengan peralatan kebersihan. Rumah yang cukup lumayan besar ini di bersihkan oleh Ibu dan Ayah, terkadang aku atau Mahendra akan membantu jika tidak ada tugas sekolah.
"Bu," panggilku.
Menoleh, Ibu melemparkan senyuman hangat, sehangat mentari, membuatku mendapatkan energi tambahan untuk menghadapai Kayla, dan yang lain di sekolah. sebetulnya jika boleh jujur, aku lebih memilih untuk tidak datang ke sekolah dan pergi menuju tempat itu di bandingkan harus pergi ke sekolah, tetapi aku paham, Ibu tidak akan menyukai hal itu.
"Hei," sapa nya hangat. "Kamu mau berangkat?" mengangguk kan kepala, Ibu menoleh ke arah jam yang menggantung, kemudian kembali menatap ke arahku. "Kok.... siang banget berangkatnya? Nggak jemput Kayla dulu?"
"Nggak Bu, libur dulu hehe."
"Lagi ada masalah ya?"
Kepalaku menunduk, kemudian mendongak menampilkan senyum. "Nggak Bu, semua aman, yaudah, Mas berangkat dulu ya Bu." Mengambil tangan itu, mencium punggung tangan nya, kemudian menarik Ibu dalam pelukan. "Kenapa anak Ibu, hum? Mau cerita?" tanya Ibu dengan nada lembut, membuatku semakin mengeratkan pelukan.
"Mungkin nanti Bu, Mas harus berangkat sekarang, nanti telat." Ucapku menolak dengan halus.
Pelukan itu terlepas, namun tangan ku tetap di tahan oleh Ibu. "Kamu nggak usah masuk dulu kalau kamu nggak baik-baik aja Mas." Tatapan itu menyendu. "Ibu nggak pernah memaksa kamu untuk terlihat kuat dan memikul semuanya seorang diri,"
"Nanti pulang sekolah ya Bu, Mas janji."
Setelah mengatakan itu, genggaman tangan itu terlepas dengan anggukan dan helaan napas pelan. Sudut bibirku terangkat sedikit membentuk kurva, namun belum sempat pergi, Ibu melemparkan kunci padaku, membuatku reflek menangkapnya dengan sebelah alis yang terangkat.
"Kamu bakalan terlambat kalau naik kendaraan umum, naik motor Ibu aja hari ini, sesekali nggak apa bawa motor." Kata Ibu.
Mengangguk. "Siap! Bensin full 'kan?"
"Full! Kemarin baru dari bengkel juga si Randerblack,"
"Oke! Mas berangkat Bu, Assalamu'alaikum."
Motor ini benar-benar ku pacu dengan kecepatan tinggi. Benar kata Ibu, jika aku memilih untuk naik kendaraan umum, gerbang akan di tutup terlebih dahulu sebelum aku datang ke sekolah. beruntung aku mengingat jalan pintas yang membuatku bisa memotong jalan dan sampai di sekolah tepat sebelum gerbang di tutup.
Menyimpan motor di parkiran yang aman dan sedikit teduh, aku berlari sekencang mungkin agar masuk ke dalam kelas terlebih dahulu di bandingkan guru yang mengajar. Walaupun aku masuk sebelum pintu gerbang di tutup, tetap saja aku sudah terlambat untuk masuk ke dalam kelas. Dalam hati aku berharap, semoga guru yang mengajar belum datang. Menaiki anak-anak tangga, langkah kaki ku terhenti saat melihat guru yang mengajar di jam pertama sudah berada di dalam kelas. Menghela napas panjang, aku memilih untuk berjongkok lalu menyandarkan punggung pada dinding biru. Kedua tangan ku terulur ke depan, menjadikan lutut sebagai penopang siku.
Kepalaku tertunduk meratapi nasibku yang harus menunggu sampai jam pelajaran pertama selesai. Kepalaku mendongak saat melihat sepasang sepatu berhenti di hadapanku. Mengerutkan dahi, aku melihat Vilza tersenyum kecil padaku, dia bahkan sampai ikut berjongkok dengan tangan kanan yang terulur.
"Hah?" kataku.
"Tas kamu sini, aku bantu masuk ke dalam," ujarnya berbisik.
"Nggak usah, nanti lo di hukum."
Vilza menggeleng kecil dengan bibir yang terus membentuk senyum. "Nggak kok, tenang aja, aman!" berdecak pelan, tangan kananku menggaruk kepala bagian belakang yang mendadak terasa gatal. "Kamu lama, aku duluan, nanti kamu nyusul sekitar satu atau dua menit." Katanya dengan tangan yang langsung menyambar tas yang ku gunakan.
Saat hendak protes, Vilza sudah terlebih dahulu menghilang dari pandangan dan tidak terdengar suara protesan dari guru yang mengajar, hanya terdengar suara penjelasan materi, membuatku semakin bingung, tak mengerti apapun saat ini. karena jujur saja, aku memang bukan murid yang pintar untuk cabut dari kelas atau menyelundupkan tas agar terhindar dari hukuman jika terlambat.
Merapihkan seragam, dengan sedikit ragu aku menegapkan tubuh, setelah itu masuk ke dalam kelas seperti murid yang baru kembali dari kamar mandi, mengedarkan pandangan, aku mencari dimana tas milik ku berada, dan ku temukan di sebelah Anton yang saat ini tengah menatapku.
"Randu," panggil guru tersebut.
Membalikkan badan, "Ya Bu?" tanyaku berusaha senetral mungkin. "Habis darimana kamu, kenapa baru masuk ke dalam kelas?" tanya guru itu dengan mendekat ke arahku. "Habis dari kamar mandi Bu, perut saya sakit." jawabku.
"Yang benar? bukan terlambat?"
"Tas saya ada di sebelah Anton Bu,"
Guru itu berjalan meninggalkan ku, menghampiri Anton yang terlihat santai dengan buku paket yang ada di atas meja. Mendongak, Anton terlihat sedikit terkejut saat guru itu mendekatinya. Menurunkan kaki kanan yang sebelumnya di naikan di atas kursi, Anton menatap wajah guru nya dengan pandangan bertanya.
"Ya Bu?" tanya Anton. "Ada apa Bu? Saya buat salah?" lanjut Anton.
"Tidak, saya hanya ingin melihat tas Randu."
"Oh, Randu, itu Bu orang nya di depan kelas,"
"Iya, saya tau, saya hanya memastikan jika anak itu tidak terlambat dan menyuruh orang lain mengoper tasnya ke dalam kelas saat saya melihat ke arah lain."
"Euh, Randu mah dateng bareng saya Bu," menunjukkan senyuman jenaka. "Saya 'kan numpang naik motor sama Randu, motor saya bensin nya habis."
Masih tidak percaya, guru itu meminta Anton menunjukkan kunci motor jika memang aku tidak terlambat datang ke sekolah. semua murid menatapku dengan iba, mereka terlihat akan membantu ku untuk mengelabuhi satu guru ini, untuk yang pertama dan terakhir. Anton menghampiri ku bersama dengan guru itu yang mengekor di balik tubuh tinggi Anton.
"Mana kunci motor lo," Merogoh kantong, memberikan kunci pada Anton. "Nih Bu, mau di test drive sekalian?" tanya Anton dengan senyum menggoda.
"Boleh, kalau begitu antarkan saya ke toko roti yang ada di jalan Portonggo, dekat poltangan sepulang sekolah, dan itu harus Randu."
Semua murid menahan napas, termasuk aku yang bahkan sampai melongo di tempat karena terkejut dengan apa yang di ucapkan oleh guru yang ada di hadapanku saat ini. tersenyum mengejek, guru itu menyuruhku dan Anton untuk kembali ke tempat duduk kami dan memulai pelajaran dengan tenang. tidak, hanya aku yang merasa ada sesuatu yang janggal dengan semua hal yang terjadi saat ini.
Melewati Kayla begitu saja, aku memilih untuk tetap duduk di sebelah Anton dengan tangan yang mentoyor kepala Anton sampai membuatku harus mengantarkan Bu Fatma ke Potonggo yang letakanya cukup lumayan jauh dari rumahku. Meringis kecil, Anton meminta maaf karena mengatakan hal itu saat berbicara dengan Bu Fatma.
"Duh, bego. Males lah gue sama loe!" Protesku tidak terima. "Itu motor Ibu, bukan motor biasa yang gue bawa kalau main." Menggaruk ujung hidung yang tiba-tiba gatal. "Nanti lo jemput Mahendra, antar sampai rumah gue." ucapku final sebelum fokus belajar.
***
Mataku melirik sekilas Vilza yang tengah mendengarkan lagu di depan koridor. Kedua tangan nya bergerak seolah mengikuti lagu yang tengah terputar. Melirik botol minuman yang ada di tangan, lalu melirik Vilza, dengan sedikit ragu, aku mendekat pada gadis itu kemudian duduk di sebelahnya, dengan tangan kananku menyerahkan botol minuman.
Menoleh, Vilza memiringkan kepalanya sedikit, melepas headset yang sebelumnya terpasang, Vilza mengerutkan dahi, dalam. "Untuk?" tanya nya. menggaruk pelpis menggunakan telunjuk, sudut bibirku membentuk kurva. "Yang tadi, thanks sudah bantu gue menghindar dari hukuman." Jawabku.
"Ah itu... iya, sama-sama."
"Ini ambil, gue baru beli di kantin, karena gue nggak tau loe suka apa, gue belikan air isotonic." Kataku sedikit terkekeh.
Mengambil botol, Vilza tersenyum kecil dengan menggoyangkan botol minum nya. "Makasih, tanpa perlu di belikan juga nggak masalah kok." Membuka tutup botol, Vilza menengguk minuman isotonic itu dengan beberapa kali tegukan. "Heuh... lega banget rasanya." Meletakkan botol di sisi kiri, Vilza melirikku. "Sepulang sekolah nanti, kamu beneran antar Bu Fatwa ke tempat itu?"
Mengangguk. "Mau nggak mau," kepalaku menoleh ke arah depan dengan kedua tangan yang berada di sisi kanan dan kiri. "Mau bagaiamana lagi, Anton sudah terlanjur bilang seperti itu 'kan?"
"Sahabat kamu memang ada-ada aja."
"Oh ya," kataku saat mengingat sesuatu. "Memangnya saat kejadian Rafa kemarin, loe beneran lihat hal itu?" tanyaku memastikan.
"Um!" Vilza mengangguk. "Aku lihat jelas, soalnya aku ada di belakang Rafa sama Kayla." Melirik kearahku dengan sedikit sedih, Vilza bertanya melalui matanya, apa aku baik-baik saja ketika dia menceritakan. Mengangguk, telapak tanganku tergerak begitu saja memperbolehkan Vilza untuk bercerita. "Aku lihat mereka, awalnya Rafa jalan sama Dayat, tapi Kayla langsung samperin Rafa, dan ya begitu, setelah itu mereka bercanda berdua, dan tangan Rafa mulai bergerak lakuin itu."
Mendengus, kepalaku menoleh ke arah lain, bertepatan dengan Kayla yang berhenti tidak jauh dari tempatku dan Vilza berada. Di belakang Kayla terdapat Anton dan Tika yang menatapku dengan tatapan yang sulit di baca. Kedua mata itu memerah, menatapku dengan air mata yang perlahan meleleh dan pergi begitu saja tanpa membiarkan ku untuk memberikan penjelasan.
Menghela napas panjang. beranjak dari tempat duduk, sekilas, kepalaku menoleh ke arah Vilza dengan senyum tipis di wajah. "Thanks dua kali, mungkin kalau loe nggak cerita, gue nggak apapun."
"Iya, tapi Randu, aku lihat Kayla barusan, apa dia melihat kita?"
"Hah... itu pasti, tapi tak apa, loe tenang aja." Tangan kanan ku terangkat sedikit untuk menepuk bahu Vilza. "Kalau ada yang ganggu loe, bilang ke gue, apalagi kalau orang itu Vilza, loe tau nomor gue 'kan. Hubungi gue, jangan ragu. Gue pergi dulu."
****
Halo, jangan lupa untuk Vote, Komen, dan Share cerita ini,
kalau kalian menyukai cerita ini, tambahkan ke perpustakaan kalian ya,
terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro