C h a p t e r 0 8
"Iya Mas, gue paham, makanya gue sekolah menyusahkan diri gue sendiri untuk naik bus, padahal Ayah sudah beliin motor."
Terdiam.
Aku sedikit tidak menyukai pemilihan kata Mahendra barusan. rasanya seperti keterpaksaan karena harus mencontohku yang terlihat mandiri. Bahkan aku bisa merasakan jika Mahendra melirik ku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. Monoleh seraya menggunakan sabuk pengaman, aku menatap Mahendra yang tersenyum dan memakaikan kacamata hitam berbentuk kotak padaku.
Berdecak kesal, melepaskan kacamata bertepatan dengan flash kamera yang mengarah padaku. Menggeleng, aku tak habis pikir dengan Mahendra yang sangat menempel padaku dan senang memberikan atau mengajarkan ku agar bisa memadupadankan pakaian agar terlihat bagus pada tubuh tinggi ku.
"Berhenti melakukan hal yang tidak-tidak." kataku lalu melajukan mobil menuju sekolah Mahendra yang jaraknya cukup jauh.
"Mas, Mbak Kayla spam chat ke gue nih, buset deh, berasa kehilangan permata aja kayaknya sampai chat segini banyaknya!"
"Biarin aja," tangan kiriku bergerak ke depan, mengambil kacamata yang sebelumnya di berikan oleh Mahendra. Membenarkan poni ke atas, aku menyalakan audio mobil, mendengarkan musik melalui sambungan ponselku.
"Mas, lo bingung nggak, kenapa tatapan mata lo selalu sayu?"
"Mana tau, Ayah 'kan begitu juga, kelihatan nya seperti orang mengantuk, padahal nggak..." ucap ku sedikit ragu. "... Nggak ada yang tau maksudnya."
Mahendra tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar jawabanku. Kedua mataku memang terlihat sayu, sedangkan Mahendra memiliki mata yang sedikit bulat seperti mata milik Bunda.
"Diam!" kesalku sedikit membentak Mahendra, membuat anak itu semakin tertawa di tempatnya.
"Mas, tau lagu ini nggak?"
"Lagu apa?"
"Nih, aku wis ora gagas kata luka, wis cukup wingi ra pengen baleni, mario lehmu dolanan ati... wis wayahe we kapok blenjani..." Aku terdiam cukup lama mendengarkan suara fals Mahendrayang saat ini tengah menyanyikan lagu tersebut. Jemari telunjuk ku mengetuk stir mobil, berusaha mengenali lagu yang terus di nyanyikan.
Menggumamkan nada yang terlintas dalam benak, aku tersenyum kecil, bertepatan dengan lampu jalanan yang berubah menjadi merah, membuat mobil yang kami tumpangi terhenti.
"Udan tangise ati, saiki wis rodo terang... Masio isih kadang kelingan kowe sing tak sayang-sayang..."
Mataku melihat Mandera merekam kami berdua yang saat ini menyanyikan lagu itu melalui siaran live Instagram nya. menggeleng kecil, aku terus menyanyikan lagu tersebut, yang terpenting wajah ku tak terlihat jelas, aku terkekeh saat melihat Mahendra begitu menjiwai lagunya.
Mobil kami kembali melaju, gedung biru sekolah Mahendra sudah terlebih dari jauh, pertanda kami akan segera tiba sebentar lagi. Mahendra bertepuk tangan riuh saat melihat para penonton memuji suara kami berdua, terlebih lagi para penonton di live Instagram Mahendra mengetahui lagu apa yang nyanyikan, tak sedikit dari mereka menuliskan lirik lagu yang kami yanyikan. Bahkan ada teman sekelasnya yang meledek akan mengadukan Mahendra karena tidak hadir di kelas, tetapi malah live Instagram di dalam mobil.
Menyipitkan kedua matanya, Mahendra terbahak di tempat duduknya saat mobil kami memasuki gerbang sekolah. "Gue tau lagu nya! yang gini 'kan.. bentar gue ingat-ingat dulu." Serunya, membuatku mengacak rambut Mahendra.
"Sungguh ku terbuai dalam lamunan..." ucap Mahendra menyanyikan komentar yang memberikan bocoran lirik. Tangan nya bergerak dengan telapak tangan menghadap ke atas dan bergerak maju dan mundur, setelahnya bergerak seperti membenarkan rambutnya menggunakan telapak tangan.
Mahendra tertawa geli dengan gerakan yang terus di ulang-ulang dan lagu yang di ulang-ulang juga. Memakirkan mobil, mematikan mesin mobil, setelahnya melepas kacamat hitam yang sebelumnya terpasang, digantikan dengan kacamata kotak dengan lensa putih yang ku bawa dari rumah.
"Ayo, berhenti dulu." Kataku.
Menoleh, Mahendra mengangguk patuh. Melambaikan tangan, Mahendra ingin menyudahi acara live nya, namun terhenti saat mendekatkan ponsel ke wajahnya, menoleh ke arahku yang hendak membuka pintu mobil.
"Mas," panggil Mahendra.
"Ya, apa? belum di matikan juga ponselnya?"
"Belum," terdiam sesaat, aku melihat ada raut penasaran sekaligus ragu. Tersenyum hangat, aku menyuruh Mahendra untuk menanyakan apa yang ingin di tanyakan oleh adik ku satu-satunya itu. "Ini...!" menyodorkan ponselnya kepadaku, membuatku reflek menutup kamera bagian depat Mahendra menggunakan telapak tangan. "Babygirl, itu apa?"
Berdecak, tanganku yang menganggur ku gunakan untuk mencari komentar yang di tanyakan oleh Mahendra. "Aku nggak tahu siapapun yang komen seperti tadi, jangan meracuni otak Mahendra, itu peringatan pertama dan terakhir." kataku setelah itu mematikan siaran live saat melihat banyak komentar yang penasaran dengan parasku.
"Sudah, ayo masuk, Mas nggak tau ruangan nya dimana."
"Oke!"
Kami berdua keluar dari mobil, membuat beberapa siswi sedikit terpekik heboh saat melihat wajahku, mereka berbisik dan membicarakan live instagram sebelumnya.
"Mas, lo silau banget!" protes Mahendra dengan memeluk pinggang ku dari samping.
Menggeleng. Aku mengusak rambut itu pelan, membuat Mahendra melepaskan pelukan dengan tawa yang membuat hatiku menghangat. Berjalan memasuki area sekolah dengan banyak mata yang mengarah ke arah kami berdua. Berdeham pelan, Mahendra membalas sapaan beberapa siswi dengan sebelah mata yang mengedip centik.
"Mahendra," tegurku.
Menoleh, Mahendra terkekeh kecil dengan tangan yang membuat 'V' sign. Berjalan cepat memasuki ruangan yang di tempelkan tulisan 'ruang rapat'. Mengetuk pintu menggunakan punggung tangan, aku masuk ke dalam ruangan dengan mengucapkan salam, setelah nya duduk di bariksan ketiga dengan Mahendra yang duduk di sebelahku.
"Mas!" panggil Mahendra.
"Apa?" tanyaku dengan kepala yang menoleh.
"Minta uang, beli minum! Haus banget dari tadi belum minum."
Mengambil dompet, aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu, kemudian memberikan uang itu pada Mahendra dan menyuruh anak itu untuk segera kembali ke tempat ini karena beberapa kali wali siswa dan diswi perempuan terlihat mencuri curi pandang ke arah ku. bahkan satu di antara mereka terdengar merencanakan untuk duduk di sebelahku.
Wajah yang sebelumnya terkena pukulan Rafa sudah ku samarkan terlebih dahulu menggunakan alat make up milik bunda, aku tak tahu apa namanya, tetapi setidaknya itu bisa menyamarkan memar yang ada di wajahku saat ini.
Seorang guru mendekat ke arah ku dengan memberikan selebaran materi tentang rapat hari ini. mengangkat selembaran, aku membaca isi keseluruhan selembaran tersebut setelahnya menyimpan nya di atas meja, bertepatan dengan seorang perempuan yang duduk di bangku sebelahku.
"Halo," sapa perempuan itu ramah. Mengangguk dan menjawab singkat. Aku tidak tertarik berbincang dengan orang lain saat rapat seperti ini. "Saya Eunike, wali dari Alwi, teman sekelasnya Mahendra, apa kamu Ayah nya Mahendra?"
Melirik sekilas, aku mengangguk. Lebih baik mengangguk dan pindah tempat duduk di bandingkan harus menempel dengan orang yang tak ku kenal. Saat ingin beranjak, seorang guru yang ku perkirakan wali kelas Mahendra memulai rapatnya, membuatku mau tak mau terjebak bersama dengan seorang perempuan yang bernama Eunike.
Rapat berlangusng selama dua puluh lima menit kurang lebih, seluruh orang tua mulai mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tersimpan rapat di dalam mulut, bahkan ada beberapa yang tertelan sampai lupa untuk di tanyakan. Eunike terus mencuri lirikan ke arahku, benar-benar menyebalkan, seruku dalam hati.
Rapat selesai. Beranjak dari tempat duduk, aku langsung meninggalkan ruangan rapat menghampiri Mahendra yang menunggu tidak jauh dari ruang rapat. Saat ingin pergi bersama Mahendra, seorang siswa bernama Alwi menghentikan langkah ku karean katanya Eunike ingin berbicara sebentar denganku.
Lengan kemeja hitamku di tarik oleh Mahendra, membuatku sedikit membungkuk dan membisikkan sesuatu yang membuatku jadi tidak tega untuk menolak. Mengangguk, aku menyuruh Alwi dan Mahendra untuk pergi ke kantin terlebih dahulu, meninggalkanku dengan perempuan yang bernama Eunike.
"Jadi, ada apa?" tanya ku.
Menggigit bibir bawahnya, Eunike menatapku dengan pandangan memuja yang lebih terang-terangan, tidak seperti sebelumnya yang terkesan seperti di sembunyikan karena berada di dalam ruangan dengan banyak orang tua wali yang berkumpul. Kedua tangan itu menyodorkan ponsel, menaikkan sebelah alis, tangan kanan ku mendorong ponsel itu turun.
"Jika tidak ada yang penting, saya akan pergi."
"Jangan!" teriak nya, mencegahku agar tak pergi. "Ma-maksudku, jangan pergi dulu. Bisakah... bisakah saya mengenal anda lebih jauh?" tanya nya dengan tatapan penuh harap.
"Tidak. saya memiliki istri, dan anda tidak boleh melewati garis tersebut."
Berbalik badan, aku pergi meninggalkan Eunike dengan penolakan tegas agar perempuan itu tidak semakin jauh bertindak. Seperti yang di katakan oleh Mahendra, aku harus bersikap tegas agar Kakak dari Alwi itu tahu diri dimana tempatnya.
"Ta-tapi aku akan terus mencoba sampai kamu menoleh kearahku!" teriaknya memenuhi koridor sekolah.
"Terserah, dasar perempuan gila."
******
jangan lupa untuk vote, komen, dan share jika kalian menyukai cerita ini.
Terima kasih karena sudah membaca cerita ini,
tambahkan ke perpustakaan kalian jika kalian menyukai cerita ini, terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro