Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Spesial Chapter

Hai guys! Akhirnya special chapter yang aku bikin dari awal bulan kemarin kelar juga T.T sebenarnya aku nggak berencana bikin banyak chapter tapi ternyata satu tema yang aku angkat ini bikin jadi banyak momen yang mau kutulis. Sebagai informasi juga, spesial chapter ini bisa jadi jembatan untuk sequel berikutnya.

Nah, demi memuaskan kalian yang dari kemarin minta part tambahan (sebenarnya aku juga mau lihat keuwuan Nino Anjela sih xixi) jadi inilah kupersembahkan 6 part edisi khusus Titah Agung! Yeaayy.

Tapi... karena spesial, aku bakal taruh sebagian part ke Karyakarsa ya, gais. Kalau kalian berkenan dan ingin berkunjung, kalian bisa membayar sekitar lima ribu untuk 5 part spesial yang aku unggah di sana. Nah tapi tenang aja, kalian bisa dapat cuplikan dari setiap part yang kupublikasi di sini.

Siapa tahu kalian penasaran ya, kan? hehe.

Khusus untuk part 1 kalian bisa baca gratis di sini! Yuk, silakan dibaca~ semoga terhibur^^

.

.

.

.

Dalam rangka menjenguk Kakek Chang setelah seminggu akhirnya pulih dan sadar, Anjela dan Nino pun berangkat ke Singapore menuju Rumah Besar Chang. Rumah besar yang punya empat bangunan mirip dengan Istana Presiden yang selalu menjadi tempat liburan Nino semasa sekolah dulu. Bertemu dengan Tante Yini yang ramah, Anjela pun diajak ke suatu tempat. Kira-kira ke mana, ya?

*

Part 1 : Rumah Besar Kakek Chang

Pertama kali menghirup udara Singapore, entah perasaan Anjela saja atau memang udaranya yang terasa ringan dan rentan polusi. Dari balik jendela yang dibuka, langit cerah tanpa awan. Gedung-gedung memenuhi lansekap kota sementara dari depan kamar, terdengar seseorang mengetuk pintu.

    "Non Jel, sudah bangun?"

    Suara Hani, salah satu dayang dari Rumah Utama yang ikut mendampingi Anjela sampai sini.

    Pintu berderit terbuka, Anjela yang masih mengenakan piyama dibalut jubah tidur berwarna putih mengulet. Ia berdiri di balkon kecil samping kamar. Rambut sebahunya tergerai kusut sementara warna cat kukunya masih belum diganti sejak Nino menyuruhnya ikut ke Singapore untuk menjenguk Kakek Chang.

    "Udah, Han," jawab Anjela sambil memejamkan mata. Merasakan sinar mentari yang mengguyur permukaan kulit wajahnya. Angin menderu pelan, menyapukan perasaan baru yang membuat pikirannya seketika terasa ringan.

    Setelah keputusan yang ia dan Nino buat—bahwa mereka tidak akan menyerah untuk mendapatkan wasiat itu, Anjela pun mencari tahu soal Kakek Chang dan bagaimana semua orang di sini—bahkan Tante Heni sangat menghormati beliau.

    Karena Nino bukan tipe orang yang suka menceritakan sesuatu, jadi semua informasi ini Anjela dapatkan dari para pelayan di Rumah Utama.

    Kakek Chang adalah salah satu anak terakhir dari antara saudara Chang yang tersisa. Pada dasarnya ada dua belas bersaudara Chang. Sepuluh laki-laki dan dua perempuan. Sementara Kakek Chang terakhir ini adalah salah satu orang penting yang keberadaannya—walau tidak benar-benar duduk di kantor, masih menjadi kendali utama dalam memutuskan sesuatu.

    Beberapa pelayan bilang, Kakek Chang selama ini tidur panjang karena penyakit langka yang dideritanya. Beberapa dokter terkenal dari luar negri saja bahkan tidak bisa menyembuhkan Kakek Chang dan hanya memberikannya obat untuk tetap membuatnya terjaga. Sudah lebih dari sepuluh bulan sejak kejadian kematian Om Gunawan—papa Nino, Kakek Chang belum sadar juga.

    Hingga tiba-tiba mukjizat datang seminggu yang lalu.

    Ketika mengetahui itu, Nino langsung menanyakan Tante Yini, menantu Kakek Chang yang selama ini menjaga beliau di Singapore. Tante Yini bilang kalau kelihatannya dokter sudah menemukan inti permasalahan dari kesehatan Kakek Chang dan penyakit itu menyerah sendiri.

    Setelah menelepon, Nino menitipkan pekerjaannya ke Manager di kantor dan tetap memantau pergerakan Husein lalu memesan tiket dan langsung pergi ke Singapore—ke Rumah Besar Chang—kediaman Kakek Chang yang sekarang bersama Reno dan Anjela. Tante Heni hanya menitipkan kabar kalau dia akan menelepon setelah Nino sampai.

    Walau nyatanya, sampai sekarang, sepertinya Nino terlalu sibuk untuk mengabari mamanya dan malah cowok itu entah ada di mana.

    Selesai mandi dan merias diri bersama Hani, dayang itu berbisik ke Anjela di lorong panjang menuju ruang makan. Hari ini Anjela mengenakan gaun sederhana selutut berwarna biru dongker dengan kerah bulu tanpa lengan.

    "Tuan Nino sampai hari ini belum kelihatan sama sekali. Kayaknya masih di ruangan Kakek Chang, deh."

    Anjela menahan diri untuk tidak mencari ruangan Kakek Chang berada. Sejak kali pertama menginjak Rumah Besar ini, pikirannya lebih semerawut daripada kali pertama ia datang ke Rumah Utama. Rumah Besar ini lebih luas dan lebar. Ada empat bangunan berbentuk rumah sebesar istana presiden. Hanya saja, tiga bangunan lain tidak sebesar bangunan utama tempatnya berada.

    Dengan beragam ornamen, lantai marmer yang setiap hari dipoles, lukisan lansekap yang figuranya berwarna keemasan, guci-guci berkilau di sudut ruangan, lampu-lampu gantung yang pinggirannya terbuat dari kuningan dan sofa-sofa mewah mengisi seluruh rumah besar ini.

    "Reno ke mana?" tanya Anjela tetap melangkah menuruni tangga yang dilapisi karpet beludru.

    "Sepertinya sudah di ruang makan."

    Jalan ke ruang makannya saja butuh waktu lima menit. Suara heels Anjela yang mengetuk dan menggema di lantai terdengar cukup berisik. Tapi ketika ia berjalan ke ruang makan yang langit-langitnya tinggi, ia mulai mencium aroma beberapa masakan tumis dan goreng-gorengan.

    Ia memelankan langkahnya lalu lebih dulu disambut oleh pelayan dapur yang mendadak melintas di depan Anjela—nyaris menabraknya.

    "Aduh!" seru Anjela hampir menjatuhkan semangkuk kuah daging berwarna merah kekuningan. Refleks, pelayan itu tersentak mundur dan menunduk dalam-dalam sambil memegang kuping panci dengan sarung tangan antipanas.

    "Maaf, Non! Maaf!" sahut pelayan dapur itu menggunakan bahasa Inggris. Hani langsung mendecakkan lidah dan mengerutkan alisnya.

    "Tolong hati-hati," ucap Hani pakai bahasa Indonesia. Ketika mendengar itu, pelayan dapur langsung mendongak dan menatap Anjela yang berjalan sedikit ke pinggir.

    "Oh, apa Anda Nona Anjela? Tolong duduk di sebelah sini! Nyonya Yini sudah menunggu Anda dari lima menit yang lalu."

    Anjela melirik ke arah Hani yang masih belum mengubah ekspresinya.

    "Nggak sopan! Setidaknya tawari beliau dulu ap—"

    Tangan Anjela menyentuh bahu Hani dan menggeleng pelan. Ia tersenyum tipis ke arah pelayan dapur tadi, lalu di saat yang bersamaan, seorang wanita setengah baya dengan pakaian cheongsam berwarna merah mudah persik datang dari belakang mereka.

    "Anjela?"

    Anjela refleks menoleh ke belakang, dan bersamaan dengan itu, baik Hani dan pelayan dapur tadi membungkuk hormat lalu pergi dari hadapan mereka berdua.

    Giliran Anjela yang sedikit kikuk. Semalam, ketika ia, Nino, dan Reno tiba di Rumah Besar, tidak ada seorang penting yang menyambutnya. Melainkan hanya para pelayan yang sudah diberitahu kalau Nino akan datang yang sibuk mengurus mereka. Jadi Anjela masih belum tahu siapa-siapa saja orang penting yang harus ia hormati.

Tapi untungnya berkat sebuah foto kecil yang ada di atas lemari buffet ruang tamu. Anjela tahu siapa wanita paruh baya yang sedang tersenyum menatapnya sekarang ini.

    Anjela balas merendahkan kepalanya sejenak lalu tersenyum kikuk. "Tante Yini. Maaf, aku baru—"

    "Ternyata kamu lebih cantik daripada di foto, ya?"

    "Ah?" Anjela mengangkat wajah, menatap wanita di depannya yang tersenyum cerah. Senyum Tante Yini terasa lembut. Dipadu dengan tatapan hangat dan rahang yang kecil, sentuhan wanita itu juga terasa begitu sopan.

    Tante Yini tersenyum menjawab kebingungan di wajah Anjela.

    "Maaf ya semalam Tante nggak sempat menyambut kalian. Begitu dengar kalau kamu dan Nino, Reno, mau datang, Tante cuma bisa suruh pelayan buat siapin ruangan. Kemarin Kakek Chang juga udah tahu semua masalah yang terjadi di Jakarta kemarin."

    Dibanding masalah surat wasiat yang masih belum selesai sepenuhnya—walau Anjela yakin kemenangan akan beralih ke pihak Nino, tetap saja, yang Anjela pikirkan ketika menginjak Rumah Besar adalah kondisi Kakek Chang.

    Anjela tahu rasanya melihat keluarga yang kita sayang jatuh sakit, apalagi sampai tidak bisa diobati seperti Kakek Chang. Sesekali ingatan Anjela kembali ke momen waktu ia menangani ayahnya sebelum meninggal waktu itu. Tapi dibanding merasa khawatir, Nino yang selalu punya pikiran lurus terhadap sebuah masalah sudah tidak lagi memedulikan itu.

    "Ehm, nggak pa-pa kok, Tante. Oh ya, Kakek Chang keadaannya sekarang gimana?"

    Tante Yini menghela napas pelan. Matanya mengarah ke tangga melingkar di ruang tengah yang berada tak jauh dari posisi ruang makan.

    "Seminggu lalu waktu baru sadar, kami semua berhenti melakukan aktivitas dan fokus melihat keadaan kakek. Aku termasuk yang hampir nggak percaya kalau mukjizat ini datang. Tapi... itu aja udah cukup, kok. Karena dengan pemulihan seminggu kemarin, kakek sudah bisa berdiri dan duduk di kursi kerja. Udah bisa makan dan bahkan... kondisinya jadi berubah lebih baik."

    Mendengar itu, jujur saja, walau Anjela belum mengenal Kakek Chang, hatinya terasa hangat dan lega. Setidaknya, kekhawatiran yang selama ini Nino sembunyikan perlahan-lahan bisa lepas.

    Tante Yini tersenyum kecil sambil memandangi wajah Anjela yang diam-diam menahan perasaan lega.

    "Kamu sudah lapar belum?"

    Anjela mengerjap tipis, ia menatap wanita yang memandangnya dengan tatapan ajakan ke suatu tempat. "Ehm, belum terlalu sih, tan."

    "Ikut tante sebentar, yuk?"

    Sebelum menerima ajakannya, Anjela terdiam sejenak. Sedikit menerka, "ke mana, tan?"

    Tapi Tante Yini tidak menjawab dan malah menyelipkan senyum tipis, "udah, nanti kamu pasti tahu. Yuk!"

***

.

.

.

Kira-kira Anjela mau diajak ke mana sih? Yuk, intip cuplikan part 2-nya!

"Nah, di sini, nama kamu banyak banget disebut."

    Di tangan Tante Yini, sebuah buku diari bersampul cokelat dengan tali ikat diangsurkan ke Anjela. Untuk sejenak, Anjela menerka-nerka apakah ini benar-benar buku harian atau buku hutang. Tapi dari auranya, Anjela merasa bahwa ungkapan pribadi di balik kertas-kertas itu terasa bernyawa ketika disentuhnya.

Anjela mendongak, menatap Tante Yini yang menatap penuh binar.

    "Ini... buku harian?"

    Tante Yini mengangguk. "Jangan sampai ketahuan Nino," bisik wanita itu sambil menepuk bahu Anjela dua kali. Lalu wanita itu berbalik dan keluar ruangan. Sementara Anjela terpaku di tempatnya—lebih tepatnya, ia terpaku di antara rasa penasaran sekaligus degup jantung yang berdebar.

    Di buku ini nama Anjela sering disebut?

**

Setelah buku harian, Anjela dihadapkan dengan pertemuan baru bersama Dion. Anak dari Tante Yini yang katanya harusnya jadi istrinya! Reaksi Nino gimana nih waktu lihat Anjela mau direbut Dion si cowok narsis? Yuk, intip part 5 di sini!

Dion tergelak kecil. "Ya, nggak masalah juga kalau emang lo udah cinta ke dia. Tapi semisal... misal, nih." Cowok itu berdiri, sedikit melangkah mendekat ke depan Anjela lalu merunduk supaya wajah mereka sejajar lalu berujar pelan, "semisal cuma lo yang cinta dia tapi dia nggak, gue bisa terima lo kok."

    Pipi Anjela merah membara. Ia menahan kepalan tangannya supaya tidak mendarat ke wajah cowok itu. Mengingat dia anak Tante Yini yang seharian ini sudah baik dan menyambutnya hangat, Anjela masih tahu batas.

    Ia menghembuskan napas keras, lalu berbalik demi menghindari tatapan Dion yang begitu menjeratnya. Memaksanya untuk menjerat—lebih tepatnya.

    "Gue tahu Nino juga cinta sama gue kok. Kan kayak yang lo bilang, kalau dulu semua orang tahu gue. Bahkan nyokap lo juga kenal gue karena Nino sering ngomongin gue."

    "Benar. Nggak salah. Tapi itu semua kan, 'dulu', Jel."

    Anjela berbalik sambil menyahut ketus. "Tapi gue udah nikah, Dion. Dulu sama sekarang udah sama. Nggak ada bedanya." Kata-kata itu sedikit terdengar kasar. Dion beralih diam lalu Anjela buru-buru menyela lagi.

    "Gue ngantuk. Kita jangan bahas ini lagi."

**

Tapi sebetulnya, gara-gara Dion, Anjela malah jadi mikir. Apakah Nino selama ini hanya dia yang cinta Nino tapi Nino nggak? Seperti apa sih seharusnya hubungan sebuah cinta? Anjela mencari tahu dan menanyakan langsung ke Nino. Nah, gimana reaksi Nino tuh?

Silakan mampir ke part 6 bagian terakhir spesial chapter Titah Agung, ya! Hanya tersedia di Karyakarsa^^

.

.

.

Terima kasih buat yang menunggu part ini. Terima kasih juga kalau kamu berkenan mendukung Titah Agung di Karyakarsa. Semoga menghibur hari-hari kalian ya! Sampai ketemu di sequel Titah Agung selanjutnya^^

p.s contoh untuk tutorial cara membeli karya di Karyakarsa ada di video ini ya gais. Kalau masih belum paham juga, silakan komen untuk bertanya langsung^^


[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Cara cari profile-ku di Karyakarsa :
1. Download atau buka website Karyakarsa di karyakarsa.com. Nanti tampilannya akan seperti ini yah, gais.

2. Lalu kalian tinggal pencet tombol search yang aku lingkarin biru di atas. Terus search namaku, kayak gini. Akunku yang ini yah. PP nya Hongyi ganteng🤭

3. Terus setelah kebuka profile ku, kalian ke menu "Karya", nah di sana udah muncul ya Spesial Chapter Titah Agung. Tinggal di klik, terus lakukan pembelian koin supaya bisa kebuka bab-nya. Harga bab ini hanya 5ribu ya gais. Kalian bisa beli koin yang harganya 7.500 itu udah cukup kok untuk baca SP Titah Agung😉 Untuk tutorial pembelian koin ada di video di atas yaa. Kalau masih belum paham, jangan sungkan tanya ke aku🥰 Terima kasih! Semoga terhibur😘

Selamat membaca sampai akhir!🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro