4. Berdua Denganmu
Jam dua belas siang aku masih duduk manis di depan komputer kantor. Ya Allah, mau nangis rasanya kalau kerjaan udah numpuk kayak begini. Press release aja belum kelar, ini Madam British udah nambahin kerjaan buat bikin pidato untuk client dan harus sudah ada di mejanya besok pagi. Madam British sayang banget ke aku. Nggak rela lihat aku leha-leha di kantor walaupun hanya lima menit.
Jangan tanyakan juga nasib makan siang naik Ducati. Kandas. Jam sebelas tadi, aku mengirim pesan ke Aji jika aku tidak bisa memenuhi ajakan makan siangnya karena kerjaanku yang menumpuk, membuat aku harus makan siang di kantin kantor, karena tidak bisa pergi jauh-jauh.
Aji belum membalas pesanku juga. Sibuk mungkin. Atau... dia bahkan nggak ingat mengajak aku makan siang? Sudahlah.
Aku meregangkan ototku, memutar leherku yang rasanya kaku. Iseng aku membuka laman twitterku melalui komputer dan menuliskan beberapa kicauan.
@ArawindaKani heran, petinggi itu sekolah jauh2 bikin pidato aja msh gw yg bikin
@ArawindaKani eh, klo mreka bsa bikin gw jd ga ada kerjaan juga. Pye tho kwe, Wi, Awi.
@ArawindaKani ya, klo ga mreka bkin sendiri gw yg ngoreksi. Lbh ringan kerjaan gw.
@ArawindaKani yg tersayang @FalaNabila gw gagal mkan siang naik ducati. Salahkan pidato & press release.
"Makan yuk, Wi!" Mayang, tetangga kubikel sebelah mengajakku makan siang. Dia menenteng mukena dalam tas kecil dan pouch berisi alat make up. Tidak hanya Mayang, teman satu lantaiku sudah turun ke bawah. Entah untuk sholat dulu--seperti Mayang--baru makan di kantin, foodcourt, atau warteg di belakang tower.
"Duluan deh, May. Dikit lagi beres, kok!"
Mayang berdecak-decak. "Sayang banget Ibu Bos sama lo. Kalo bulan depan lo nggak dipromosiin naik jabatan, gue bakal demo buat lo deh!"
Aku tertawa dan Mayang meninggalkanku bersama Ms. Word dengan kursor yang mengedip-mgedip. Baru saja aku akan mengecek balasan pesan Aji. Ponselku sudah berkedip-kedip memunculkan namanya.
"Assalamualaikum." Sapaan awal khas Aji membuat perutku seperti digelitiki.
"Waalaikumsalam."
"Kamu masih di kantor, Arawinda?"
"Ya, dan maaf aku nggak bisa memenuhi janji makan siang sama kamu. Sudah baca pesanku, kan? Aku makan di kantin kantor saja." Iya, aku sedang ngidam Nasi Goreng Magelangan yang hanya dijual di kantin kantor, bukan di foodcourt. Letaknya di lantai paling dasar. Satu lantai dengan parkiran.
"Aku di kantor kamu."
"Hah? You say what? At my office?" Aku membelalak tidak percaya. Segera aku menyimpan pekerjaanku, lalu beranjak dari kubikel menuju lift. "Kan, aku sudah bilang--"
"Ya, aku tahu. Kita makan siang di kantormu saja."
"Oke, oke. Ke kantin di lantai paling dasar dekat parkiran." Aku menggersah saat lift tidak bergerak cepat. Aku mengetuk-ngetukkan heels sampai semenit kemudian pintu lift terbuka dan membawaku pada lantai paling dasar.
Aku mengenali Aji duduk di salah satu meja Kantin yang tidak begitu ramai--ah, ya iyalah, tanggalnya sudah muda. Kebanyakan melipir ke FX sambil ngopi cantik.
Aji terlihat merapikan lengan kemejanya yang semula digulung. "Hai," dia tersenyum menanggapi. Rambutnya nampak sedikit basah, bagian lengan kemejanya juga, dan wajahnya terlihat lebih segar. "Nggak lama, kan?"
"Nggak, aku sholat dulu tadi."
Hatiku rasanya sejuk mendengar jawabannya. Habis sholat, Ya Allah. Pantas saja wajahnya seperti bersinar dan segar. Guru ngajiku waktu kecil pernah bilang, ciri-ciri orang yang rajin sholat itu adalah wajahnya berseri-seri karena sering terkena air wudhu. Aku masih nggak ngerti bagaimana membedakan wajah-wajah calon penghuni surga, tapi... aku tahu cara membedakannya. Setelah melihat wajah Aji.
"Makan disini nggak pa-pa, kan? Aku nggak sempat keluar kantor."
"Iya."
"Hmm, mau pesan apa? Biar aku pesankan."
Aji melihat papan menu yang digantung di dinding sebelah kirinya. "Mau nasi rawon dan es jeruk manis." Aku tersenyum dengan pilihan Aji. Rawon di kanntin ini memang lebih enak daripada yang ada di foodcourt. Mungkin karena yang jual orang Jawa Timur asli, jadi cita rasa rawonnya tidak berubah. Dan aku, yang orang Jawa Timur, tahu mana rasa rawon yang enak.
Aku kembali dengan segelas es jeruk manis dan air es. "Kamu tadi ke lapangan, ya?" Outfit yang dikenakan Aji terlihat lebih santai. Yeah, sebenarnya aku nggak tahu gimana tampilan yang lebih formalnya.
"Iya. Ngecek sebentar disana."
Aku mengucapkan 'matur suwun' pada Bu Eko yang memgantarkan rawon pesanan Aji. Dari ekor mataku, Aji nampak sedikit kaget saat aku berbincang dengan Bu Eko menggunakan Bahasa Jawa yang fasih.
"Kamu asli mana?" Aji memyendokkan kuah rawon untuk menyicipinya.
"Surabaya. Anak rantau aku ini. Kamu?" Setelah menyicipi kuahnya dan bergumam enak, Aji mengaduk rawonnya dengan toge ditambah sambal. Menyicipinya sekali lagi, sampai rasa pedasnya pas.
"Solo. Ini nggak pa-pa, kan, aku makan duluan?"
Aku mengibaskan tanganku dan tersenyum geli. "Shot!"
"Rawonnya enak banget!" Nggak tahu ya, gimana menggambarkan wajah Aji menikmati rawon yang seharusnya dengan wajah memuja, ini terlihat datar.
"Selama di Jakarta, ini satu-satunya rawon yang pas di lidah aku. Dulu, kalau aku lagi ngidam banget makan rawon, aku telepon Mamaku dan minta resep rawon beliau. Masak sendiri, deh!"
"Kamu bisa masak rawon?"
"Litteraly, aku bisa masak apa saja--yang aku tahu resepnya. Tapi, rawon ini favoritku. Oh iya, aku pernah ke Solo sekali buat dinas, lalu makan di rumah makan. Aku pesen rawon, dan rasanya bikin aku kecewa. Orang Solo suka manis, ya?"
Aji mengangguk. Pantas kamu manis. Astaga, otak ku!
"Pantas. Rawon manis yang aku temui ya, di Solo itu. Soalnya lidah Jawa Timur itu kebanyakan suka yang gurih-gurih."
Aku kembali mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Jawa saat Bu Eko mengantarkan pesananku.
"Aku masih penasaran sama kamu."
"Soal?" Aji menaikkan satu alisnya yang tidak begitu tebal tapi rapi itu. Mati aja aku ini, kalau setiap hari disuguhi pria model Aji.
"Tinder. Ini teori ku lho, ya. Alasan orang pakai Tinder itu kan, macam-macam. Bisa ada yang sengaja buat cari teman, iseng, atau emang serius nyari pasangan. Dan... pria seperti kamu, kenapa pakai Tinder?"
"Aku sudah jelaskan di awal pertemuan kita bukan?"
"I mean, kamu benar-benar nggak tahu kalau teman kamu mainin Tinder pakai handphone kamu?"
Aji mengangguk.
"Lalu, kenapa akhirnya kamu memutuskan untuk bertemu denganku. I mean, bisa saja kamu memarahi teman kamu itu, dan menghindari pertemuan kita. Bukannya mengirim pesan menentukan waktu bertemu setelah mendapatkan nomorku?"
Aji menyeruput es jeruk manisnya sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku nggak mungkin tega membiarkan seorang wanita menunggu sendirian. Lagipula, waktu itu aku sedang bertaruh dengan diriku sendiri."
Aku memicingkan mata, "maksudnya?"
"Kalau ternyata wanita yang aku temui ini menarik, aku akan melanjutkan. Kalau nggak... aku nggak mungkin ngajak kamu makan siang lagi bukan?"
Aku mengangguk-angguk dan menyembunyikan senyum puasku. "Cewek-cewek di kantor kamu nggak ada yang menarik apa?"
"Teman kantor saya kebanyakan laki-laki. Dan aku nggak begitu tertarik dengan perempuan di kantor."
"Are you..."
"I'm straight, Arawinda." Aku menghembuskan napas lega seraya mengelus dada. Ya, cowok cakep kan, terbagi jadi dua jenis. Kalau nggak homo ya, brengsek. Aji berarti masuk ke kategori brengsek. Walaupun aku nggak tahu dia sebrengsek apa, nantinya.Well see.
Aku melihat Aji menandaskan rawonnya sampai bersih. Bahkan satu butir nasi saja nggak ada, bersih sampai kuah-kuahnya. "Kamu kerja di bagian apa? Tukang ngaduk semen, ya?"
Aji menarik sudut-sudut bibirnya. "Saya di anak perusahannya. Bagian nyari proyek pembangunan."
"Contohnya?"
"Misalnya, pemerintah mau membangun taman kota, atau Ruang Terbuka Hijau. Timku akan mengajukan proposal ke mereka, mengenai tata letak kotanya. Ya, otomatis kan, menguntungkan perusahaan semen tempatku bekerja juga."
"Oh," aku mengangguk-anggukan kepalaku.
Aji tertawa lagi. "Kenapa kamu bisa menyimpulkan aku tukang aduk semen?"
"Hehehe." Aku cuman bisa nyengir. Nggak mungkin juga aku mengatakan, karena otot lengannya yang aduhai.
***
Aji sudah kembali ke kantornya selepas kami makan siang, aku sendiri sudah kembali di depan layar Ms. Word menyelesaikan pekerjaanku. Tadi, saat aku akan kembali ke lantaiku, aku bertemu Fala di lift. Dia langsung mencegatku dan memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Lo makan siang dimana, sih? Gue samperin ke lantai lo kok, nggak ada? Katanya nggak jadi makan siang naik Ducati."
"Aduh, bawel amat deh, lo! Gue heran Kemal bisa tahan sama lo!"
Fala malah menoyor kepalaku. Dia lalu ikut ke lantaiku dan mengobrol di ruang tamu--mumpung Madam British masih makan diluar ditambah meeting.
"Gue tadi makan di Kantin bawah sama Aji." Jawabku santai sembari menghenyakkan tubuhku di sofa empuk kantor. Aku melihat Mayang juga baru kembali bersama yang lain. "May, Bu Bos meeting dimana?"
"Bank Kartajaya. Lala bilang, balik sore." Lala ini asisten pribadinya Madam Bristish. "Gue duluan, ya!"
"Gimana? Gimana?" Fala rupanya masih tidak sabaran.
"Ya... gitu. Ternyata dia nyamperin kesini. Padahal gue udah bilang, kalau nggak bisa makan bareng. Eh, nggak taunya."
"Duh, gue jadi penasaran sama si Aji ini."
Aku mengedikkan bahu. "Honestly, gue juga masih meraba-raba gimana si Aji ini."
"Uluhhh, meraba-raba. Dah, berani ya, lo!"
"Sableng!" Fala terkikik geli. "Udah ah, sana balik ke lantai lo! Gue masih banyak kerjaan!" Aku beranjak dari sofa diikuti Fala.
"Lo lembur hari ini?"
"Nggak tahu deh, semoga aja selesai tepat waktu." Saat mengucapkan ini, aku benar-benar berharap akan selesai setidaknya jam 7 malam--ini perhitungan terburuknya.
Tapi, nyatanya jam 9 malam aku baru keluar selesai. Perut lapar, tubuh sudah kangen kasur. Kombinasi yang luar biasa. Ini kalau ada yang ngledekin aku, atau ngisengin aku, rasanya mau aku bacok saja. Astaga, aku lupa! Aku memgeluarkan iPhone dari dalam tasku untuk memesan Go-Jek.
"Ya Allah!" iPhone milikku mati kehabisan daya. Taksi depan kantor masih banyak nggak, ya? Sopir kantor juga masih sama Mada British. Aku ingin nangis saja rasanya. Kantor juga sudah sepi banget. Dengan langkah berat aku keluar dari lift dan berjalan hingga ke depan.
"Arawinda!" Let you guess! Yeah, Aji was here. Aku nggak tahu dia disini sudah berapa lama. Dia nungguin aku, kan? Ya iyalah, siapa lagi yang dia kenal di kantor ini selain aku? Aji berdiri di depan lobby dengan rokok yang masih menyala ditangannya. Dia menghisapnya sekali lagi lalu menyesakkan puntung rokok tersebut di tempat sampah hingga mati--kalian tahu kan, tempat sampah yang dilengkapi dengan tempat puntung rokok.
"Kamu ngapain disini?"
"Sekali lagi aku bertaruh dengan nasib."
Aku tersenyum kecil. "Kamu ke Las Vegas sana, main Casino. Taruhanmu nggak pernah meleset sepertinya."
Aji mengedikkan bahu. "Mau pulang, kan?"
Aku mengangguk dan mengusap leherku yang pegal.
"Aku antar?"
Aku nggak salah dengar, kan?
"Gimana?"
"Hmm, boleh."
"Yuk! Motorku parkir di dekat sini. Jalan seratus meter nggak masalah?"
Aku mengangguk. Disamping tower kantorku ini memang ada parkir liar, biasanya untuk pegawai yang malas bayar per-jam di parkiran kantor. Ya, lumayan lah, parkir per-jamnya bisa buat makan sehari. Tapi, yang pakai mobil tetap di parkiran tower.
Sebenarnya, saat Aji mengajakku makan siang, aku sudah mempersiapkan outfit kantorku. Aku bawa sepatu sneakers sebagai cadangan, lalu aku pakai celana kulot selutut.
"Ini helmnya."
"Bentar, bentar." Aku meletakkan tasku di jok belakang motor Aji. Lalu aku mengeluarkan sneakers dari dalam paper bag kemudian memakainya--menggantikan heels 5 cm ku. Dan terakhir mengucir rambut panjangku.
Aku melihat Aji tersenyum. Mungkin dia ingin menertawakan aku yang ribet ini. Bodo amat lah! Aku lalu menerima helm yang tadi dia berikan dan memakainya.
Dan ya... akhirnya aku naik Ducati juga--ditambah cowok ganteng.
"Ji, sudah makan?" Aku bertanya saat sudah duduk di boncengannya.
"Kamu belum makan?"
"Belum. Mau mampir makan dulu nggak?"
"Boleh, dimana?"
"Hmm, nanti kita nglewatin warung tenda seafood gitu. Makan disitu nggak pa-pa?"
"Oke."
***
"Kamu suka naik gunung, ya?" Kami sudah berada di warung tenda. Tidak begitu ramai. Hanya ada empat pengunjung termasuk kami. Sudah malam juga. Seporsi udang bakar, tumis cumi, cah kangkung, dan gurami bakar untuk Aji menemani makan malam kami. Aji dengan santainya makan langsung dengan tangan, sementara aku masih menggunakan garpu dan sendok.
"Iya."
"Terkahir kapan?"
"Akhir tahun lalu."
"Gunung mana?"
"Ke Nepal. Sekalian backpacker."
"Oh," duh, udah nih, sampain sini saja ngobrolnya? Mungkin ada sekitar beberapa menit kami lebih memilih sibuk dengan makanan ketimbang ngobrol.
"Kamu suka naik gunung?" Aji bertanya padaku setelah dia mengambil cah kangkung dan memindahkan ke piringnya.
"Aku suka travelling, but I prefer beach than mountain. Capek mendakinya."
"Terakhir kemana?"
"Pattaya. Baru sekitaran Indonesia dan Asia saja. Masih nabung buat yang jauhnya."
"Rencana kamu kemana, Arawinda?"
Ya Allah, kenapa efeknya selalu luar biasa kalau Aji manggil namaku lengkap begitu ya?
"Prague."
"Bukan Paris? Biasanya wanita suka ke Paris, kan? Belanja."
Aku menggeleng. "Nggak semua. Aku salah satunya. Paris memang cantik, tapi Praha negeri dongeng untukku. Aku penasaran dengan Astronomical Clock. Soalnya, dulu aku kepingin jadi Astronom, keren aja. Tapi, pas SMA nilai eksakku payah, jadinya gagal masuk IPA. Hehehe."
Aji tersenyum mendengar ceritaku. Ini aku nggak banyak omong, kan? Kayaknya Aji ini tipe introvert--soalnya, dua kali ketemu kalau bukan aku yang mulai, dia nggak akan mulai. "Aku cerewet banget ya, Ji?"
"Nggak. Aku suka dengar kamu ngomong banyak."
Pipiku rasanya panas dan bersemu-semu. "Makasih ya, sudah mau nemenin aku makan."
"Sama-sama, Arawinda. Aku juga lapar, kok."
Kalau setiap malam aku bisa makan bareng Aji dan ngobrol sesantai tadi, aku rela Madam British ngasih aku kerjaan banyak dan bikin aku lembur.
***
Hoiiiii, ketemu lagi sama Aji dan Awi. Banyak diantara pembaca Tinderology tanya ke saya, tentang aplikasi Tinder.
Aplikasi Tinder, itu ada. Kalian bisa download di Google Play Store atau App Store. Kisah-kisah orang yang bertemu di dating application itu banyak. Bahkan yang sampai menikah juga ada. Tapi, hati-hati juga. Baca profil orang dengan baik. Lihat common friendsnya. Sebelum kalian swap kanan. Soalnya banyak juga yang menyalahgunakan aplikasi tersebut untuk hal-hal yang nggak baik.
Selamat mudik! ((Aku belum mudik))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro