3. Kopi Darat
Senin siang, di awal bulan Juni, saat langit Jakarta mendung abis sedari shubuh, ditambah cuaca yang mendadak sejuk, aku duduk di salah satu coffee shop di daerah Sudirman dengan seorang pria yang sedang menikmati hot Americano-nya. Ya, ya, dia si Rajiman Aksa. Iya, cowok match aku di Tinder. Who else? Setelah ajakan ketemuan yang bikin aku dan Fala menjerit kayak tikus kejepit perangkap, aku lalu menanggapinya dan membuat janji bertemu di jam makan siang disini--biar nggak jauh-jauh amat dari kantorku.
Dia memperkenalkan dirinya sebaga, Aji--short of Rajiman. Tapi, saat aku memperkenalkan diri sebagai Awi, dia malah berkata, "Arawinda is way better for me.". Huh, baru ketemu aja gombalnya udah bisaan tukang semen ini. Aji datang sepuluh menit lebih lama dari aku, ya, aku tahu--dan Fala bilang--aturannya cewek harusnya datang lebih sedikit terlambat. Bodo amatlah, orang kerjaanku sudah beres sebelum makan siang, jadi aku memilih kabur sebelum Madam British menginvansi diriku dengan hal-hal yang bikin jam makan siangku mundur atau bahkan tidak sama sekali.
Kalau kalian pikir, Aji bakal terlihat dengan kemeja digulung hingga lengan, potongan rambut rapi, dan celana kain ditambah sepatu fantofel... kalian salah! Aku bahkan nggak nyangka itu Aji yang aku kenal di Tinder! Dia datang dengan jaket kulit berwarna coklat--nggak tahu deh, itu kulit imitasi apa asli--dan celana jeans hitam juga sepatu kerja. Aku sempat bertanya dia dari mana dengan pakaian seperti itu, dia menjawab, "Baru ke lapangan. Ada yang harus diurus."
"Jadi, kalau ke lapangan bajunya santai gitu, ya?" Aku mencoba membuka obrolan ringan.
"Santai saja kalau ke lapangan. Nggak mungkin, aku ngecek material tapi pake jas lengkap." Aku tidak tahu ya, bagaimana menerjemahkan ekspresi wajahnya. Nggak ada antusias-antusiasnya sama sekali. Datar saja sudah. Dia tadi nggak kecemplung di kubangan semen, kan? Kaku gitu wajahnya--walaupun Hot.
Expresionless.
Aku menyesap hot cappucino-ku. FYI saja, aku biasanya lebih suka meminum-minuman dingin, tapi kali ini aku memilih minuman panas dengan cangkir. Jadi, aku bisa seducing dengan mengangkat cangkir secara perlahan, menyesap lamat-lamat dan mengintipnya dari balik cangkir yang sedang kuminum. Ini terlihat lebih seksi. Yes, the art of seducing versi Arawinda Kani.
Tapi... rasanya ilmu itu nggak berguna di hadapan Aji. Aku meletakkan cangkirku, "kamu sudah lama pakai aplikasi itu?"
"Apa?"
"Tinder." Ucapku setengah berbisik.
"Aku bahkan nggak tahu ada aplikasi itu di handphone-ku."
"Hah? Lalu?"
"Temanku yang mengurus segalanya. Maksudku, dia yang memainkannya. Lalu saat match, dia juga yang mengatur segalanya. Termasuk pertemuan ini." Dia lalu mengeluarkan sebuah iPhone dari dalam kantong jaketnya. "Aplikasi itu sudah nggak ada lagi."
Aku menganga. Astaga! Pria ini! Aku bahkan nggak tahu harus merespon seperti apa.
"Kamu?"
"Temanku yang meng-install. Tapi aku yang memilih. Nggak kayak kamu, dipilihin teman atau yang mengatur pertemuan ini." Dongkol dikit nih, aku.
"But, glad too know you. Kamu ternyata menarik orangnya."
Aku mengibaskan rambutku yang panjang itu. Siapa coba yang nggak tertarik dengan Awi?
"Kamu kerja apa?"
"PR." Jawabku singkat. Baru saja aku akan melontarkan pertanyaan lain, ponselku berdering dengan nama Madam British. Crap! Bosku ini nggak bisa lihat aku ngelaba dikit sama cowok ganteng. Kalau gini, jangan olok-olok aku tentang status single-ku di depan client. "Sorry." Aku meminta ijin mengangkat teleponku.
Bisa ditebaklah, Madam British suka sekali ngejajah aku. Aku meringis meminta maaf padanya. "Aku harus kembali ke kantor. Ada meeting dadakan, is it okay?"
Aji mengedikkan bahunya. "Nggak masalah. Kita bisa ketemu lain waktu."
"Good." Aku menandaskan minumku. Aku sudah bersiap-siap untuk berdiri diikuti dirinya. "Kamu naik apa?"
"Motor."
"Eh?" Aku sedikit kaget. Lalu dengan cepat aku mengendalikan keterkejutanku. "Parkir dimana?"
"Disana."
"Yuk, sekalian! Nanti kita pisah di parkiran. Aku tinggal jalan sedikit sudah sampai di tower kantorku."
Kami kemudian berjalan beriringan. Diam-diam aku mencuri pandang. Dari samping dia terlihat seksi dengan bentuk rahang yang minta digigit. Okay, pardon my description. Tingginya juga pas. Proposional.
Aku menunggunya keluar dari area parkir. Tak lama aku melihat Aji dengan helm fullface berwarna hitam mengendarai motor, okay, bless my job yang mengharuskan aku rajin update berita terkini, bahkan untuk urusan otomotif. He ride Ducati! Ya Allah, asal banget dia parkir motor mahal seharga mobil dinas kantorku di area parkir terbuka seperti ini.
Aku rasanya pusing mengkalkulasi gaji si tukang semen ini!
Aji membuka kaca helmnya. "Mau aku antar sampai kantor nggak? Kalau kamu nyaman naik motor. Lumayan daripada kamu jalan sendirian."
Setidak nyaman apakah naik motor ini? Untung hari ini aku pakai celana bukan rok pensil seperti biasanya. "Nggak pa-pa, aku jalan aja. Tuh, kelihatan kantor aku. Lagian, aku bingung naik ke boncengan kamu yang tinggi itu gimana? Sementara aku pakai kill heels."
"Oh, oke. Maaf, aku bawa motor karena harus ke lapangan tadi. Lebih cepat saja. Lain kali, kalau kita keluar, aku pinjam mobil temanku saja."
Aku merasa tidak enak dan mengibas-ngibaskan tangan. "Nggak masalah," aku melihat jam arlojiku. "Aduh, aku buru-buru. Maaf ya! Senang ketemu kamu!" Aku segera kembali ke kantor dan meninggalkan Aji yang masih di parkiran. Saat aku sudah berada di tengah jembatan penyebrangan, dia pergi meninggalkan parkiran. Astaga, baru kali ini aku suka melihat cowok naik Ducati. Biasanya aku mengutuk siapa saja, yang membeli motor dengan harga nggak masuk akal lalu berkendara sok keren di tengah kota. Ingin aku pites rasanya.
Aji, Aji, tukang semen tapi naik motor Ducati--yang semula aku pikir naik motor cowok biasa saat dia bilang naik motor.
***
"Gimana, Wi? Berapa skornya dari 1 sampai 10?" Sepulang jam kantor, Fala sudah mencegatku di lobby. Kami sedang menunggu Kemal--tunangan Fala. Mereka--Fala dan Kemal--sudah janji dengan orang catering untuk tester makanan dan aku memaksa ikut. Lumayan dapat makan malam gratis, kan?
"8."
"Kok, cuman 8 Wi?"
"Kayaknya orangnya kaku, terus... hmm, nggak berpengalaman sama cewek juga."
"Ganteng kayak di fotonya?"
Aku menaik-naikkan alisku dan tersenyum. "Dia nggak photogenic. Aslinya lebih hawwwttt!!!"
"Ngobrolin apa aja tadi?"
"Nggak banyak, soalnya Madam British telepon gue suruh balik ngerodi!"
"Ah, nggak asyik! Dia ada nawarin lo balik ke kantor diantar dia nggak?"
Aku mengangguk dengan penuh semangat. "Tapi gue tolak. Soalnya dia naik Ducati, sih! Gue ribet manjatnya pake heels gini." Aku mengangkat sedikit kaki kananku.
"What?! Ducati?! Kemal aja cuman sanggup elus-elus doang, kalo ada pameran otomotif. Gila!"
"Halah! Itu lo nya aja yang nggak ngebolehin Kemal! Dia sih, mampu-mampu aja. Lagian ya Fa, bisa aja itu Ducati masih nyicil. Kayaknya Aji lebih milih beli motor daripada beli mobil dengan harga yang sama."
Mobil Kemal berhenti di parkiran lobby lalu kami segera masuk ke dalam mobil. Dulu, waktu aku masih punya pacar, aku dan Fala sering banget double date dan weekend getaway bareng, jadi aku sama Kemal sudah nggak canggung lagi kalau ketemu.
"Hai, Mal!" Aku menyapa Kemal setelah dua sejoli itu cium pipi kanan-kiri. "Makasih lho, gue diijinin incip-incip. Tau aja lo, tanggal kering begini. Hehehe."
"Gue sama Fala ngajakin lo karena lo lebih ngerti masalah makanan begini. Selera lo nggak main-main dah, kalo soal makanan."
"Uluhhh, bisa aja sih, lo! Gemes gue jadinya. Hehehe."
"Mau gue pites lo, Wi?" Aku dan Kemal tertawa mendengar Fala cemburu seperti itu.
"Eh, eh, Mal, gue dapet kenalan cowok naik Ducati lho!"
"What?! Kenal dimana? Coba Fala ngijinin gue beli Ducati."
"Sayang," Fala mengelus lengan Kemal. "Kalau kamu ngotot beli Ducati, nikahan kita batalin aja deh! Mau?"
Aku terkikik, Kemal melirikku sekilas. "Gue kenal di Tinder, Mal!"
"Dimana tuh? Tempat nongkrong baru, ya?"
Fala berdecak. "Itu bukan tempat nongkrong, Yang!" Aku terkikik lagi saat Fala berteriak gemas. "Itu dating application. Awi dapet kenalan disitu. Ih, geek kayak kamu nggak bakal ngerti deh!"
iPhone-ku berdering saat Fala dan Kemal malah berdebat. Rajiman Aksa, menelponku. Aku sebenarnya nggak berharap Aji bakal nelpon aku. Karena setelah kopi darat tadi siang, satu pesan pun, nggak dia kirim ke aku. Jadi, aku nggak berharap banyak.
"Ya, Halo?"
"Assalamualaikum!" Aku menepuk jidat saat salah memberikan sapaan. Jangan sampai ini jadi nilai minus untuknya.
"Waalaikumsalam." Aku nggak tahu kenapa, rasanya kok, aku deg-deg-an banget. Fala yang sudah menyelesaikan adu debatnya dengan Kemal, mentapku. Aku menggerakkan bibirku menyebutkan nama Aji dan langsung membuatnya heboh.
"Besok bisa makan siang bareng, Arawinda?" Alamak, cara dia nyebut namaku kok, bikin kaki lemes gini ya?
"Eumm, aku nggak bisa janji. Kemungkinan besar bisa."
"Oke, besok aku jemput di kantor kamu."
"Besok aku kabarin kamu sebelum jam makan siang. Gimana?"
"Good. See you tomorrow."
"Ya."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Gimana? Gimana?" Fala nampak tidak sabar mendengar apa saja yang Aji bicarakan ditelepon tepat setelah Aji mematikan sambungan telepon setelah aku membalas salamnya.
Aku nyengir. "Besok gue mau makan siang naik Ducati! Brumm! Brummm!!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro