8 📌 Perempuan Berhijab
Sebelum membaca, tolong follow dulu, dong. Jangan lupa tandai typo dan salah penulisan ya.
-o0o-
Aroma roti bakar dari pemanggang tercium wangi saat Gista baru saja memasuki dapurnya. Wanita itu sudah bersiap dengan setelan kerjanya, wajahnya pun sudah ia poles dengan makeup tipis seperti biasanya. Gista tersenyum menyapa dua ART-nya yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Pagi, Bu. Roti bakarnya sudah mbok siapkan. Ibu mau jus atau susu?"
Lebih mendekat ke arah perempuan berhijab ungu muda itu. Mbok Tatih adalah ART paling tua sekaligus paling senior bekerja di rumahnya, wanita paruh baya itu sudah paham betul kebutuhan dan kebiasaan Gista dan suaminya dalam sarapan. Akan selalu ada roti bakar di atas meja setiap pagi.
"Aku susu aja, ya, Mbok. Aku bawa rotinya ke ruang makan. Nanti kopi bapak sama susuku tolong antarkan ya, Mbok."
"Bapak udah di ruang makan, Bu."
Gista mengernyit, ia kembali berbalik mengurungkan langkahnya. Benar, sejak keluar dari ruang ganti dan berdandan di meja rias, ia tak menemukan suaminya. Ia tak menyadari jika Arras sudah turun lebih dulu tanpa memberitahu. Berpikir sejenak, mungkinkah pria itu masih marah akan keputusannya tadi malam? Tapi kenapa? Bukankah ini demi kebaikan semuanya, Gista hanya tak ingin memendam luka karena pernikahan diam-diam suaminya. Lebih baik ia berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima poligami itu.
"Oh, ya udah kalau gitu. Sekalian aja susunya aku bawa juga, Mbok." Gista kembali mendekat ke meja panty, menyimpan piring besar berisi roti bakar di atas nampan.
Melewati pintu penghubung dapur dan ruang makan, berjarak beberapa meter di depannya. Benar saja, Arras sudah di sana dengan menyeruput kopi kesukaannya. Pria itu masih mengenakan sweater rumahan, tidak berganti dengan baju kerja seperti Gista.
"Pagi, Mas." Gista memeluk sekilas suaminya setelah menyimpan nampan di tengah meja. "Nggak ada balasannya, nih?" sindirnya seraya menjatuhkan bobotnya di kursi samping Arras.
Mengulurkan tangan kirinya, tubuhnya sedikit memutar menghadap Gista yang sudah berubah posisi duduk menghadapnya.
"Hmm, pagi." Singkat memang, tapi pergerakan setelahnya adalah meninggalkan kecupan hangat di bibir sang istri.
Gista tersenyum, kembali memutar tubuh dengan posisi duduknya yang benar. Tangannya meraih beberapa lembar roti bakar dan mengolesinya dengan selai kesukaan Arras, ia mendahulukan suaminya ketimbang dirinya. Bukankah harusnya memang begitu? Seorang istri harus melayani kebutuhan suaminya dengan baik. Sebagai seorang dokter, Gista memang sibuk. Namun, ia tetap menjalankan kewajibannya terlebih dahulu sebagai seorang istri.
"Jadwal pulangnya siang, kan?" Gista bertanya pada sosok di samping yang tak kunjung buka suara.
Arras memang bukan tipe orang banyak berbicara, ia lebih senang mendengarkan Gista bercerita tentang hal apa pun, menyimak segala keluh kesah istrinya. Pria 38 tahun itu lebih suka menunjukkan rasa cintanya dengan tindakan nyata.
"Kamu nggak ngantor, kan? Nanti ketemuan langsung di rumah sakit atau kamu jemput aku?" Gista menyimpan dua lembar roti bakar selai kacang di hadapan Arras.
"Mas jemput kamu," ujarnya seraya meraih dua tangkup roti dan mengunyahnya dengan pelan.
"Aku pagi ini gimana? Bawa mobil sendiri atau Mas yang anter?"
"Mas yang anter, sekalian ada urusan sebentar di luar."
"Hmm ... oke," tandas Gista kemudian.
Setelahnya, tidak ada lagi obrolan ringan, mereka menikmati sarapan hingga selesai.
***
Berulang kali Arras menanyakan tentang kesiapan Gista untuk menjemput Safa dari rumah sakit. Jawaban Gista tetap sama, ia sudah mantap akan keputusan, ia akan belajar menerima kehadiran wanita itu di tengah mereka. Gista percaya, Arras bisa berlaku adil. Setidaknya, keyakinan itu yang ia pegang.
Pasutri itu berdiri di depan pintu kaca ruangan, Gista mencegah pergerakan tangan suaminya saat hendak memutar hendel pintu kamar inap Safa, membuat pria itu menoleh dengan kernyitan di dahinya.
"Kenapa? Kita bisa pulang kalau masih ragu, ayo ...." Arras memutar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.
"Mas, jangan," ucap Gista seraya menarik pergelangan tangan Arras.
Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, Gista mengatur perasaannya seiring dengan pergerakan suaminya mengetuk pintu bercat cokelat gading itu, semua bercampur aduk yang Gista rasakan saat pintu terbuka dan refleks ia menggeser posisinya menjadi di belakang Arras.
"Arras, ibu kira kamu nggak jadi ke sini.
Tubuh Arras sedikit membungkuk, Gista tahu jika suaminya sedang mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak melakukan hal yang sama, masih bertahan berdiri di belakang suaminya, bahkan keberadaan mereka yang di ambang pintu pun membuat Gista terhalang oleh pintu yang tak sepenuhnya terbuka.
Arras mengayunkan tungkai, pun Gista mengikuti dari belakang. Suara gesekan sandal ruangan dengan lantai terdengar menjauh dari keberadaan mereka.
"Kamu pasti dilarang Gista, ya, ke sini tadi pagi? Perempuan itu benar-benar, ya. Dia nggak—" Ibu tak melanjutkan ucapannya, mimik wajahnya terkejut saat netranya beradu pandang dengan Gista.
Gista maju beberapa langkah, mendekat ke arah ibu mertuanya yang masih mematung, ia menyalami wanita paruh baya itu dengan degupan jantung yang memompa lebih cepat. Gista bukan gugup lantaran bertemu ibu mertua dan Safa, tetapi ucapan wanita itulah yang menjadi alasannya. Berusaha tenang menahan emosi perihal yang dituduhkan padanya, Gista tak ingin membuat ketegangan lagi di ruangan ini, seperti yang terjadi tempo hari.
"Mbak Gista ...." Suara lirih di sebelah kanan ruangan menyapa Gista.
Gista menoleh ke sumber suara, ada Safa duduk di kursi menghadap jendela. Entah efek pantulan sinar matahari dari luar yang sedang terik, atau memang wajah perempuan muda itu yang memesona. Wajahnya tak sepucat beberapa hari lalu, pun dengan penampilannya. Rambut panjangnya sudah tertutup dengan hijab rapi, busananya pun menutup sempurna seluruh tubuh. Berbeda dengan penampilan dirinya.
Gista jadi teringat, tahun lalu ibu mertuanya memintanya untuk menutup aurat dengan berhijab, tetapi ia masih belum menuruti permintaan sang mertua yang itu.
Sekarang Gista merasa kepercayaan dirinya sedikit menurun, bahkan pikiran akan alasan Arras mau menuruti ibunya untuk menikahi Safa pun turut mengusik.
Wajar aja, sih, kalau Mas Arras mau nikahin dia. Setidaknya dia nurut sama ibu dibandingkan aku.
"Mbak," panggilnya lagi, membuat Gista tersentak dari lamunannya.
"I-iya?"
Safa menuntun Gista ke arah sofa, harusnya ia yang Gista tuntun karena bagaimanapun juga pasca operasi kuret pasti masih menyisakan nyeri hebat di bagian perutnya.
"Kamu harusnya istirahat aja di kasur," ucap Gista setelah menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang. Ia tak menghiraukan tatapan heran ibu mertuanya di ujung sana, pun dengan keberadaan Arras.
"Kata dokter, aku mesti nyoba jalan-jalan pelan biar cegah pendarahan di sekitar kaki. Biar otot kakinya juga tetep kuat. Bosen juga berapa hari tiduran aja, Mbak," balasnya dengan sangat ramah. "Mbak Gista sama Mas Arras ke sini, mau ngomongin perceraian dengan aku?"
Perceraian? Siapa yang mau bercerai? Justru niat Gista ke sini, ingin melanjutkan pernikahan ini. Ia ingin menyampaikan bahwasanya ia menerima poligami ini.
"Mas Arras, aku sudah siap ditalak," ucapnya lagi dengan pandangan lekat ke arah Arras duduk.
"Gista, apa yang kamu lakukan?! Kamu pasti yang minta Arras untuk menceraikan Safa, iya, kan?" Ibunya mendebat dengan kalimat yang sama, yaitu tuduhan tak berdasar.
Cukup! Gista sudah tidak ingin mendengar kalimat tuduhan lain dari ibu mertuanya, ia tidak mau jadi bulan-bulanan lagi di sini. Gista harus menjelaskan maksud dan kedatangannya ke sini.
Meraih tangan Safa dan menyimpannya di pangkuan. Gista tersenyum, mencoba untuk ikhlas menerima semua yang terjadi di depan nantinya setelah keputusan yang ia ambil hari ini.
"Kedatangan mbak dan Mas Arras ke sini, mbak mau menyampaikan niat."
"Arras, ibu nggak rela, ya, kalau sampai kamu jatuhi talak ke Safa." Lagi-lagi ibu dari suaminya itu protes, tapi tak Gista hiraukan, bahkan menoleh saja tidak ke wanita yang sedang menyeruarakan kekesalannya.
"Dengerin dulu apa yang mau Gista sampaikan, Bu." Terkesan datar, tapi cukup tegas kalimat dari Arras untuk ibunya itu.
Menarik napas dan menghela singkat dari mulutnya, Gista memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya kembali berkata, "Mbak mau, kamu dan Mas Arras menikah secara resmi. Mbak mau jadi saksi di pernikahan kalian. Jadi, mbak minta kamu dan Mas Arras melangsungkan akad nikah lagi. "
"Ngapain akad nikah lagi? Emangnya kurang resmi apalagi akad pertama?" protes ibu mertuanya mendengar permintaan Gista.
"Gista mau benar-benar memberi restu untuk Safa dan Mas Arras, Bu," jelas Gista memberi alasan.
"Nggak ada ... nggak ada! Jangan ngaco kamu, Gista. Arras dan Safa nggak akan nurutin permintaan aneh kamu. Mereka sudah resmi sejak tiga bulan lalu." Ibu berdiri di depan Gista dan Safa dengan bertolak pinggang.
"Mbak ...," panggil Safa dengan nada memohon pada perempuan yang kadung berdiri dari duduknya itu. "Mas ...." Safa kembali memohon, tapi kali ini pada pria yang sedang memantau keadaan.
Arras tak berniat untuk menjadi penengah, ia justru tak acuh. Pria itu sudah khatam bagaimana keras kepalanya istri pertamanya itu. Ia sudah tidak ingin berdebat lagi perihal ini, Gista tetap pada keputusannya.
Per sekian menit saling tatap, Gista menurunkan pandangannya kemudian mengangguk samar dan melipat kedua lengannya di depan dada. Ia tidak bermaksud lancang, tetapi bersikap sedikit tegas pada ibu mertuanya rasanya perlu ia lakukan. Gista akui, ia bukanlah menantu idaman ibu mertuanya yang akan selalu tunduk dengan segala yang dikatakan perempuan itu.
"Baik, kalau itu yang ibu mau. Sekarang ibu bisa pilih, Mas Arras dan Safa menikah secara resmi dengan melangsungkan akad nikah lagi, aku sebagai saksinya. Atau ... tidak sama sekali dan Mas Arras ceraikan Safa."
Tanjung Enim, 27 Juni 2023
RinBee 🐝
Ada yang mau disampaikan untuk Gista? Atau ibu mertuanya?
Drop di sini ya 👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro