Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 📌 Kita baik-baik saja, kan?

Semua baik-baik saja, bukan? Selama sembilan tahun pernikahan mereka, bahkan sebelum ijab kabul diikrarkan Gista sudah menyampaikan tentang keputusannya. Pria itu menerima tanpa sanggahan, menjalani pernikahan tanpa adanya tangisan bayi memecah keheningan. Enam bulan lalu pun saat Gista berubah pikiran. Pria itu masih tetap sama, berjanji menerima apa pun hasilnya nanti dengan lapang dada.

"Ada dan tidaknya anak di tengah kita. Kamu harus ingat, mas tetap akan mencintai kamu. Anak bukan persoalan bagi mas, Sayang."

"Bulshit!" Gista mengumpat mengingat ucapan sang suami kala itu. "Mana yang katanya nggak akan berpaling? Nyatanya sekarang, dia punya istri lain. Mana yang katanya anak bukan persoalan bagi dia. Nyatanya ada perempuan lain dia hamili. Bodoh banget aku, selama tiga bulan ini nggak sadar kebusukan dia di belakang."

Gista berdiri dari posisinya, berpindah duduk di depan meja rias. Pantulan dirinya di cermin jelas tidak baik-baik saja. Jejak air mata masih tersisa di pipi putihnya, ia menggeram kesal. Lagi-lagi apa yang mertuanya ucapkan siang tadi tak bisa ia enyahkan dari otaknya. Masih terus terngiang di telinganya, seolah seperti kaset rusak yang terus mengulang lagu yang sama.

"Safa hamil anak Arras tujuh minggu. Tiga bulan lalu, Arras dan Safa menikah. Memang secara siri, tapi apa yang mereka lakukan bukanlah zina. Mereka halal melakukannya."

"Gimana bisa dikatakan halal, Bu? Mereka melakukan pernikahan di belakangku, tanpa izin dan restu aku sebagai istrinya. Aku masih istri sah Mas Arras, Bu!"

Sempat terjadi perdebatan kecil di ruang rawat inap siang tadi, masih jelas sekali bagaimana semua perkataan dan ekspresi ibu mertuanya, menjelaskan siapa wanita yang berbaring lemah di atas ranjang pasien. Tidak ada ujaran marah atau kesal pada Arras karena telah menyakiti perasaan Gista. Ibu mertuanya justru terkesan sangat mendukung perbuatan suaminya itu.

"Mas, seandainya, nih. Ibu minta cucu, tapi aku nggak bisa. Mas tetap bertahan sama aku atau cari perempuan lain yang bisa kasih itu?"

"Kamu ngomong apa, sih, Sayang? Istri mas cuma satu sampai kapan pun. Namanya Gistara Arawinda. Nggak akan ada perempuan lain. Udah, akh, jangan ngelantur lagi ngomongnya."

Jelas sekali dialog mereka beberapa tahun lalu, obrolan tentang menghadirkan sosok penerus di keluarga kecil mereka, di mana Gista masih bersikeras tidak adanya anak di antara mereka. Bukan tidak terpikir olehnya, suatu saat sang suami akan berpaling darinya dengan alasan menginginkan anak.

Namun, Gista sedikit lega, kalimat dari suaminya itulah yang ia pegang. Setidaknya, ia akan tetap jadi istri Arras satu-satunya meskipun tidak mau memberi pria itu keturunan.

Lagi-lagi Gista berdecih mengingat semua kalimat Arras yang tak sesuai kenyataan sekarang ini. Bola matanya berputar ke atas sejenak, menghela napas singkat, Gista benar-benar muak. Genggaman tangannya di botol kaca serum wajah semakin ia eratkan. Rasanya ingin sekali ia melempar barang-barang yang ada di meja riasnya, sebagai bentuk kekesalan yang ia tanggung sejak pagi tadi.

"Sayang, belum tidur? Mas kira kamu udah istirahat soalnya chat mas nggak dibalas." Suara yang sangat Gista kenali, gegas ia berdiri dari posisinya dan berdiri menghadap Arras.

Meraih wajah Gista, mengecup pelipis istrinya dengan penuh perasaan dan membawa tubuh ramping itu ke dalam pelukan. Degup jantung Gista sudah tidak karu-karuan, rasanya ingin ia mengumpat saat bisikan memuja dan merindu dilontarkan pria itu. Gista ingin muntah rasanya, membayangkan jika perlakuan manis dan kalimat memuja juga Arras utarakan untuk perempuan lain juga.

"M-mas, tadi aku ke Rumah Sakit Kalandra, ketemu s-sama Nindya."

Menguraikan pelukan, tetapi tidak dengan tangannya di pinggang Gista. Arras menatap lamat wajah sang istri, ada kernyitan di dahinya seolah rasa bersalah.

"Oh, iya, mas lupa hari ini jadwal kamu ke obgyn, ya. " Membawa telapak tangannya ke wajah Gista, membelai lembut pipi berkulit putih itu, "terus gimana pemeriksaannya tadi? Lancar?"

"M-mas, k-kita baik-baik aja, kan?" Gista menahan emosinya sebisa mungkin, masih tetap bersikap tenang di hadapan Arras.

Telapak tangannya menyusuri dada bidang suaminya, tatapan Gista terpaku mengagumi betapa indah karya Tuhan pada wajah Arras. Batang hidung yang tinggi, alis rapi, rahang yang tegas, serta bibir dengan proporsi yang ideal. Meski usianya hampir kepala empat, tapi tak mengurangi ketampanan seorang Sultan Arrasyah. Itu hanya bagian wajah, belum tubuhnya yang tinggi profesional bak model pakaian dari brand ternama dunia, pekerjaan yang mapan dan sukses dalam bisnisnya. Wajar saja jika Safa tertarik merendahkan harga diri dengan menjadi istri simpanan, lihat saja yang menikahinya, dijamin dapat memperbaiki keturunan.

"Hmm, kita baik-baik aja. Ada apa? Are you okey?"

Tidak menjawab pertanyaan sang suami, Gista bergerak mundur dan berbalik membelakangi Arras. Bibir bawahnya ia gigit kuat menahan tangis yang ingin meledak. Embusan hangat di tengkuknya terasa, pinggangnya kembali dibelit lengan kokoh pria itu. Kecupan ringan di bahunya membuat pikiran Gista berkeliaran ke mana-mana. Membayangkan tak hanya tubuhnya yang pria beri nafkah batin, tak hanya dirinya yang suaminya rengkuh dalam rindu. Kenyataan ada wanita lain yang berstatus istri dari suaminya, membuat Gista semakin bersalah. Hal ini tidak akan terjadi jika ia bisa menjadi istri yang benar.

Gista kembali melepaskan diri dari Arras, melangkah maju ke arah tempat tidur. Ia duduk di pinggir ranjang, matanya sudah lembab. Masih dengan tatapan yang sama ia menatap sang imam.

"Kita masih berusaha, bahkan mulai aja belum. Kenapa Mas Arras sudah menyerah? Mas nggak yakin aku bisa?" Gista berkata tenang, tetapi mimik wajahnya yang berbanding terbalik dengan ucapannya, tak bisa ia ditutupi.

"Maksudnya apa, Sayang? Hasil pemeriksaannya tadi gimana? Cerita apa yang terjadi, kamu percaya sama mas, kan?" Arras berjongkok di depan Gista, meraih jemari yang berkeringat dingin itu. "Kamu nggak enak badan?"

"Selama kita menikah, dari awal aku mengutarakan keputusan aku untuk nggak ada anak. Kita beneran baik-baik aja, kan?"

Arras menelisik wajah Gista yang menunduk, genggaman tangannya memang tak ditepis oleh wanita itu. Namun, mungkin sepasang tangan saling yang bertaut itu lebih menyenangkan untuk Gista pandang ketimbang wajahnya. Arras benar-benar tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?

"Tadi di rumah sakit, aku ketemu sama ibu."

Beranjak dari posisi berjongkok, Arras membawa diri duduk di samping Gista, tangannya sibuk membuka satu per satu kancing kemejanya. Sepotong atasan yang sudah membungkus tubuhnya seharian ini sudah tanggal kemudian ia simpan di pangkuannya. Gista meraih kemeja Arras, memindahkannya ke keranjang baju kotor di pojok ruang kamar.

"Ibu di Rumah Sakit Kalandra? Biasanya ibu kontrol asam uratnya di Rumah Sakit Bakti di Menteng."

"Bukan kontrol asam urat, tapi merawat menantunya pasca keguguran. Sayang sekali calon cucunya harus hilang, kalau nggak, ibu pasti seneng banget karena bisa kasih apa yang kamu ingin selama ini."

Tubuh Gista berputar secara paksa, Arras pelakunya. Ia membalik tubuh istrinya menghadapnya, alisnya menukik tajam, netra Arras terkunci di wajah Gista. Tangannya masih memegang erat bahu Gista, seolah jika dilepas wanita itu akan melahirkan diri lagi.

"Kamu ... ketemu Safa?"

Gista mengangguk. "Ya, aku ketemu istri kamu. Aku turut berduka dengan gugurnya calon anak kalian." Gista tersenyum tulus setelah kalimat itu rampung ia ucapkan. Meskipun itu sama saja seperti menyayat tubuhnya sendiri.

"Sayang ...."

Tanjung Enim, 16 Mei 2023
RinBee 🐝

Spoiler bab ini sampe tidak di fyp tiktok kalian? Atau malah belum follow?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro