Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 📌 Dokter Gista

Keputusan Gista dan suaminya enam bulan lalu harus ia segerakan. Mau sampai kapan ia akan menundanya? Sembilan tahun pernikahan, sudah cukup membuktikan bahwa pria yang menikahinya itu sangat mencintainya. Keputusannya tanpa adanya anak di antara mereka tak jua membuat Sultan Arrasyah berpaling darinya. Padahal ... Gista yakin jika suaminya itu sangat menginginkan tangis bayi menghiasi rumah mereka, dihibur oleh tawa riang dan gerakan lincah dari makhluk polos itu, atau hal paling kecil adalah ia sangat menantikan momen saat ia dipanggil dengan sebutan 'ayah'.

Menyakinkan dirinya bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Gista tak mau egois lagi dengan memelihara luka batin selama puluhan tahun, ia harus sembuh. Berdamai dengan dirinya sendiri, bahwa dia pasti bisa menjadi ibu terbaik dalam mendidik dan menjaga putra-putrinya kelak. Mematahkan apa yang dikatakan ibunya. Walaupun, sempat beberapa kali ragu, mengingat mimpi buruk perihal sumpah serapah ibunya kerap kali datang lebih intens di setiap malamnya belakang.

Mengayunkan tungkai memasuki rumah sakit besar di bilangan Jakarta Selatan. Semua sudah Gista pikirkan secara matang, termasuk memilih dokter kandungan di rumah sakit ini. Alasannya, bukan sekadar obgyn tersebut adalah sahabatnya sewaktu di bangku kuliah dulu, tetapi rumah sakit ini cukup terkenal akan keberhasilannya dalam program kehamilan. 

Hari ini sesuai jadwal yang sudah ia sepakati bersama sang sahabat, Gista menyusuri lorong menuju meja resepsionis. Sejujurnya, jantungnya berdebar. Ia sudah tidak sabar menjalani semua prosesnya nanti. Dua minggu lalu, ia dan suami sudah berkonsultasi dengan sang obgyn. Hari ini jadwalnya Gista menjalani lebih lanjut. Doa Gista sama, semoga diperlancar dan diberi kesempatan akan amanat Tuhan yang satu itu.

"Dokter Gista?" Suara di belakang menginterupsi.

Wanita 37 tahun itu menoleh, sosok perempuan muda dengan setelan jas khas dokter ditangkap oleh kedua netra Gista. Matanya membulat sempurna saat mengenali siapa perempuan yang ada di hadapannya. Senyum dokter muda itu mengembang, ia membenarkan letak kaca matanya yang sedikit melorot.

"Karina? Hmm ... maksudku Dokter Karina?"

Wanita yang disapa dengan nama Karina itu maju beberapa langkah ke depan Gista. Meraih tubuh Gista dan cipika-cipiki singkat. Tangannya masih menggenggam jemari Gista, sedikit membuat gerakan mengayun ke kanan dan ke kiri. Ia sangat senang bisa bertemu kembali dengan Gista, senior yang sangat ia banggakan kala menjadi koas dulu.

"Kamu apa kabar? Tugas di sini?"

"Iya, Dok. Puji Tuhan saya sehat."

"Hebat, ih. Cantik banget pake baju dokter begini."

Perempuan itu tersenyum malu-malu.  "Ah, Dokter bisa aja. Ini juga berkat bimbingan Dokter Gista. Aku jadi ingat setahun lalu waktu masih koas, Dokter Gista banyak bantuin aku."

"Bisa aja kamu. Itu karena usaha kamu sendiri."

Pertemuan tak terduga antara Gista dan Karina membawa cerita masa lalu. Di mana Karina yang masih menjadi koas di rumah sakit tempat Gista bekerja, perempuan muda yang ia ketahui sangat gigih dalam belajar, kini berdiri dengan anggun mengenakan seragam kebanggaannya.

"Jadi, apa, nih, yang membawa seorang Dokter Gista datang kemari?"

Gista membenahi tali tas di bahunya, senyumnya terkembang. "Ada janji sama Dokter Nindya," ucapnya sedikit malu.

Karina memicing kemudian tersenyum. "Semoga ini jadi kabar baik, ya, Dok. Saya segera menggendong keponakan."

Memang ... tidak semua wanita yang sudah menikah lalu mendatangi dokter kandungan mempunyai satu tujuan, yaitu melakukan program kehamilan. Bisa saja hanya sekadar berkonsultasi perihal lain. Misalnya, alat kontrasepsi dan yang lainnya. Namun, seakan bisa membaca tujuan dan maksud Gista, Karina turut mendoakan wanita 37 tahun itu.

"Amin," jawab Gista dengan mimik wajah yang tidak bisa disembunyikan. Ia sangat bahagia.

Barisan ubin rumah sakit yang ia lewati, seakan berubah warna menjadi merah muda. Kelopak bunga tak kasat mata bertebaran di sepanjang langkahnya, Gista benar-benar merasa bahagia, bahkan debaran jantungnya saja membuat ia semakin tidak sabar bertemu dengan teman lamanya itu.

Setelah memperbaiki mentalnya dan menyembuhkan luka masa lalu. Akhirnya, seorang Gistara Arawinda yang sembilan tahun belakangan ini keukeuh akan keputusannya—tidak adanya anak dalam pernikahannya—berubah pikiran. Suaminya? Jangan ditanya lagi, pria itu sangat senang. Walaupun, ia sempat menguatkan Gista untuk tidak terlalu berharap penuh. Ketetapan Allah sudah diatur jauh sebelum mereka lahir. Jadi, jika ikhtiar ini tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Arras berjanji, ia tidak akan berpaling dari wanita itu.

"Bagaimanapun hasilnya nanti. Ingat, mas nggak akan berpaling dari kamu."

Ya, begitulah yang terlontar enam bulan lalu dari bibir pria yang sudah Gista kenal selama dua belas tahun lama itu. Setidaknya, Gista sedikit tenang jika program yang akan ia jalani tak membuahkan hasil. Mengingat, usianya tak lagi muda. Namun, apa salahnya berusaha dan biarlah Tuhan yang menentukan hasil.

Satu pasien keluar dari ruangan dengan pintu bercat putih. Gista menunggu di depan ruangan itu, menunggu namanya dipanggil. Ia duduk di kursi panjang dengan ponsel di tangannya. Siapa lagi yang akan ia kabari selain suami tercintanya. Belum ada balasan dari pesan singkat yang ia kirimkan tiga menit lalu meskipun status kolom chat suaminya itu sedang online.

Ibu jarinya bergerak ke tanda panggil di atas layar. Menyentuh ikon itu hingga menampilkan foto sang suami dan dirinya. Belum juga ada tanda panggilan dijawab oleh sang suami. Gista mematikan panggilan saat seorang suster berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit itu.

"Ibu Gistara Arawinda ...."

"Iya, saya." Gista beranjak dari duduknya, menyimpan benda canggih ke tas.

"Silakan Ibu." Suster itu mempersilakan Gista, mengarahkan wanita itu ke satu meja yang terletak lebih dalam.

"Akhirnya, pasien spesialku datang juga. Aku udah nungguin, loh," ujar wanita cantik yang langsung menyambut kedatangan Gista.

"Lebay banget, deh, kamu!" Gista merentangkan tangan, menyambut pelukan singkat dari sang sahabat.

"Eh, aku serius, loh. Aku khawatir kamu berubah pikiran lagi kayak tahun lalu. Semoga kali ini beneran, ya, Dokter Gista."

Sang dokter kandungan duduk di kursi kebesarannya, sementara Gista duduk di seberangnya.

"Ini aku pasien terakhir, nih?" tanya Gista sembari menyimpan tasnya di pangkuan.

"Harusnya, sih, jadwalku sudah tutup. Berhubungan ini pasien spesial terpaksalah aku memperpanjang jadwal. Lumayan, kan, dibayar dua kali lipat," ucap sang obgyn.

"Dua kali lipat nggak, tuh! Bener-bener, ya, dokter yang satu ini matre banget." Gista bergurau, pun dengan wanita yang duduk di seberangnya itu.

"Sudah siap?"

"Sebentar, Dok. Lima menit lagi, ya. Aku gugup. Jujur!"

"Iya, baiklah Ibu Gista. Udah, akh. Biasanya juga kamu panggil Nan ... Nin aja. Geli banget aku dengernya kamu panggil gitu."

"Eh, kenapa? Kamu memang dokter." Gista melirik papan hitam di depannya, "dr. Nindya Ayu, SpOG. Tuh, nggak salah dong aku. Di papan ini aja tertulis gitu."

"Karepmulah, Gis." Nindya menyandarkan bahunya di kursi kebesaran.

Setelahnya, Gista tertawa pelan melihat temannya sangat frustrasi menghadapinya. Tidak ada yang salah dengan sebutan yang Gista lontarkan pada Nindya. Benar itu nama dan gelarnya, bahkan untuk mendapat gelar itu tidaklah mudah bagi Nindya. Hanya saja wanita itu lebih suka jika Gista memanggilnya seperti biasa, hanya dengan sepenggal nama. Tidak perlu terlalu formal, mengingat hanya ada mereka dan seorang suster di ruangan ini. Lain cerita jika mereka di luar yang lebih banyak rekan lainnya.

Mengembuskan napas panjang, Gista berdiri dan keluar dari kursinya. Nindya sudah berjalan lebih dulu, menyingkap gorden berwarna ungu tua hingga terpampanglah satu tempat tidur dengan berbagai alat di sekitar sana.

"Silakan Dokter Gista," ujar Nindya membalas Gista bersikap formal seperti wanita itu beberapa saat lalu.

Gista tak menyahut, dengan perasaan gugup ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Seorang suster mendekat, menarik selimut di ujung kaki Gista hingga menutupi batas pinggang wanita itu.

Nindya setelah mengarahkan alat ke atas permukaan perut rata Gista. Dahinya mengernyit sesekali meneliti pada layar monitor, seakan ada yang salah dari tampilan USG tersebut.

"Kamu pernah ada riwayat kista?"


Tanjung Enim, 05 Mei 2023
RinBee 🐝
.
.
.
.

Haloooowwww... Apakah ini sangat lambat di up?

Tolong beri aku banyak emot favorit kalian di sini 👇 biar aku semangat up lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro