Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 📌 Dia ... maduku

***

Setelah sepuluh jam dari pelepasan sel telur di rongga rahim Gista, wanita itu masih merasakan keram ringan di bagian perutnya. Gista mengusap pelan perutnya, ada banyak asa yang ia rapalkan dalam hati, termasuk keberhasilan proses inseminasi yang ia jalani setelah waktu subuh tadi.

Gista mengedarkan pandangan, tak ia temukan keberadaan suaminya. Seingatnya, sebelum ia tertidur dua jam lalu, Arras masih berada di sofa ujung sana.

Mas Arras mana? Apa cari makan di luar? Atau salat zuhur?

Tidak ada pikiran yang terlintas selain itu, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Barangkali suaminya makan siang di kantin rumah sakit sekalian menunaikan ibadah salat zuhur.

Gista berusaha bangkit dari berbaringnya, meraih ponselnya di atas nakas. Dahinya mengernyit tatkala melihat benda canggih milik suaminya pun ada di sana. Layar ponsel Arras menyala, ada satu panggilan yang masuk.

Tante Tia?

Jemari lentik Gista menggeser tanda hijau, kemudian membawa benda pipih itu ke telinga kanannya.

"Asalamualaikum, Tante. Ini Gista, Tan. Mas Arras lagi keluar."

"Walaikumsalam. Gis, Tante lihat status WhatsApp Arras, kamu dirawat di rumah sakit? Sakit apa?" Suara di ujung saluran telepon terdengar cemas.

"Oh, itu. Gista nggak sakit, Tan. Gista sama Mas Arras ... lagi jalani promil, Tan." Gista mengulum senyumnya, ada rasa haru yang ia tahan. Bagaimana tidak, sembilan tahun berumah tangga akhirnya hari ini ia berani melangkah di tahap ini.

"Promil? Masyaallah, semoga diperlancar ya, Gis. Di rumah sakit mana? Bisa dijenguk nggak? Nanti Tante jenguk, ya."

Gista menarik garis senyum tinggi, respons Tante Tia terdengar sangat antusias. Ia bersyukur, adik bungsu dari ibu mertuanya itu sangat mengerti Gista. Itu sebabnya, wanita berusia 55 tahun itu sangat dekat dengannya.

"Bisa Tante, nanti Gista kirimkan lokasinya, ya."

Panggilan terputus, senyum Gista masih saja belum pudar menatap layar ponsel Arras yang telah berubah hitam dan berganti dengan foto dirinya dan Arras.

Alis Gista terangkat, jika lock screen ponsel Arras foto mereka berdua, bukankah tidak dipungkiri di bagian lain ada foto Safa yang dipajang suaminya di ponsel. Pada wallpaper atau latar belakang room chat, mungkin?

Gista memeriksa ponsel suaminya, mulai dari wallpaper, room chat, bahkan sampai ke galeri. Tak ia temukan foto Safa, foto sewaktu akad yang ia ambil dan dikirimkan ke suaminya saja tak ada tersimpan di galeri. Arras menghapusnya? Kenapa? Bukankah, halal baginya menyimpan foto Safa. Perempuan itu juga istrinya.

Derit pintu terdengar, Gista mengangkat kepalanya. "Walaikumsalam," jawabnya setelah beberapa detik salam Arras mengudara memasuki gendang telinganya.

Pria itu berjalan mendekat ke arah tempat tidur Gista, lengan kemeja putih yang ia kenakan telah digulung sampai ke siku. Ada satu kantong belanja berukuran sedang yang ia tenteng kemudian disimpan di atas nakas. Arras mencondongkan tubuhnya, mengecup singkat dahi Gista.

"Udah bangun, Sayang?"

"Maskernya," tegur Gista saat Arras belum melepas masker putih yang ia kenakan.

Arras melepasnya, kemudian membuang masker bekas tersebut ke dalam tong sampah aluminium di pojok ruangan. Tungkainya berbalik menuju tempat semula.

"Ulang," katanya sembari mendaratkan kembali kecupan di dahi Gista dan berakhir mengecup berulang bibir istrinya.

"Mas Arras dari mana?" tanya Gista sembari mengangsurkan ponsel Arras.

Pria itu duduk di ujung tempat tidur, pupil matanya sedikit membesar saat alat komunikasi miliknya itu ada di tangan Gista selama ia tinggalkan tadi.

"Kenapa? Ada telepon penting dari kantor?" Arras berdecak, tergesa ia memeriksa ponselnya. "Udah dibilang, Mas cuti. Jangan ada yang ganggu soal kerjaan," gerutunya.

Ibu jarinya bergerak lincah di atas touch screen ponselnya, kemudian satu alisnya terangkat. Atensinya beralih ke Gista. "Nggak ada panggilan dari kantor, Sayang?"

Gista tertawa kecil. "Ya, emang nggak ada, Mas."

Arras menggaruk alisnya. "Lah, terus? Kenapa kamu pakai handphone Mas?"

"Tante Tia telepon, katanya mau jenguk aku." Gista menatap Arras dengan tatapan tak biasa. "Kok, kamu tumben update status WhatsApp, Mas?"

Arras beranjak menyimpan ponselnya di laci nakas, kembali duduk di kursi samping tempat tidur Gista. Tangannya terulur memijat lengan Gista, meninggalkan kecupan lembut di jari-jari istrinya. Memanjangkan lengannya, telapak tangan Arras mengusap perut Gista yang masih rata. Usapan lembut itu bergerak memutar dengan teratur.

"Semoga hasilnya baik, ya, Sayang." Arras mendongak menatap lekat wajah istrinya. "Kamu tahu nggak, aku subuh tadi khawatir banget waktu kamu masuk ruang operasi."

"Khawatirnya kenapa?"

Menggenggam tangan istrinya, atensi Arras lekat pada manik Gista. Senyum samar terlukis di wajah pria berusia 38 tahun itu, tetapi tatapan Arras menyiratkan sesuatu.

Gista membalas tatapan itu dengan pupil mengecil, matanya memicing. Ia masih menunggu jawaban Arras. Apa yang pria itu khawatirkan? Bukankah Nindya selaku dokter kandungan yang menangani Gista sudah menjelaskan, bahwasanya program yang mereka jalani tidak begitu banyak resiko. Mungkinkah ... Arras mengkhawatirkan tingkat keberhasilan program inseminasi ini?

"Mas Arras takut gagal? Takut kalau aku benar-benar nggak bisa kasih keturunan." Gista mencicit, pikiran itu seketika mampir di benaknya.

Usianya tidaklah muda lagi, kesuburannya sebagai wanita pun tentu saja sudah mulai menurun dibandingkan sembilan tahun lalu atau saat ia masih berusia awal tiga puluhan dulu.

Sosok pria tempatnya berpegang selama lebih dari sepuluh tahun itu menggeleng pasti, kecupan hangat yang ia bubuhkan di punggung tangan Gista menjalar ke aliran darahnya.

"Dari pada takut gagal, Mas lebih takut kamu kenapa-kenapa di dalam sana. Mas kira dari mulai pengambilan telur sampai pelepasan ke rahim, itu seperti operasi besar. Perut kamu disayat-sayat." Arras meringis membayangkan perut istrinya dibedah layaknya operasi caesar pada ibu hamil.

Gista sontak tergelak, menipiskan bibir wanita itu merangkum wajah suaminya dengan kedua telapak tangannya. "Makanya, kalau obgyn jelasin itu didengarin Pak Arras. Terus juga temani istrinya kontrol, jangan banyak mangkir."

Arras menelan ludahnya kasar, ia akui saat mereka memutuskan untuk melakukan program kehamilan, Arras banyak mangkir saat wanita itu pemeriksaan. Ya, apa lagi kalau bukan ibunya memaksa untuk mengunjungi Safa. Dengan dalih Safa juga berhak mendapat perhatian suaminya.

"Oh, iya. Mas tahu nggak, aku sebel banget waktu Nindya kasih tunjuk hasil pengambilan sperma kamu." Gista menarik garis senyum sebelah. "Akhir-akhir ini mas ngapain? Stres kerjaan atau gimana?"

Arras beranjak meraih kantor yang tadi ia bawa, mengeluarkan satu cup persegi berisi potongan buah yang ia beli di minimarket tadi dan ia simpan di atas nakas. Dengan telaten Arras membenahi letak selang infus di tangan kiri Gista, meraih cup itu lagi dan menusuk satu potong melon, kemudian mengangsurkan ke depan mulut wanita itu.

Sambil mengunyah buah melon, Gista kembali berkata, "Kan punya kamu sebelum disemprotkan ke rahimku, dibersihkan dulu, ya. Masa kata Nindya, kebanyakan nggak sempurna." Gista kembali menerima potongan buah yang Arras suapkan ke mulutnya. "Ada yang nggak ada kepalanya, lah. Ada yang nggak punya kaki, lah, tapi alhamdulillah dari pengambilan yang pertama, masih ada beberapa yang sempurna. Nah, yang itu diambil dua apa tiga, ya. Lupa aku."

"Iya, mungkin seminggu kemarin stres di kerjaan." Arras berkata datar, mengakui jika benar-benar sibuk menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti.

Gista mengangkat kedua bahunya. "Kata Nindya, itu bisa juga karena faktor si suami stres atau pengaruh asupan makanan juga bisa memengaruhi kualitas spermanya. Cepat ngaku, sebelum pengambilan kamu makan sembarangan, ya?"

Arras menyengir, menyugar rambutnya ke belakang. "Lupa, Sayang. Kayaknya makan Mas nggak kekontrol waktu di rumah ibu."

"Loh, bukannya aku udah kasih pesan ke Safa. Kalau Mas ke sana, makanan Mas harus dijaga."

"Kamu tahulah sendiri, ibu kalau nyuruh makan masakannya gimana, padahal Mas udah bilang harus jaga pola makan."

Setelahnya Gista hanya bisa bergeming, ia tahu maksud dari kalimat akhir Arras. Di rumah ibu, itu berarti Arras sedang mengunjungi istri mudanya. Gista tidak mempermasalahkan itu, tetapi kenapa ibu mertuanya justru memaksa Arras makan makanan yang di luar program mereka. Bukankah Gista sudah mengirim pesan pada ibu mertuanya atau Safa, bahwasanya mereka akan melakukan program inseminasi. Gista pun sudah meminta tolong pada Safa agar menjaga asupan makanan sehat untuk Arras—suami mereka berdua. Apa yang ibunya lakukan, seolah tidak mendukung apa yang akan mereka jalani.

"Asalamualaikum." Suara dari ambang pintu mengalihkan atensi kedua pasutri itu.

"Tante Tia ...," sapa Gista antusias, kedua lengannya terbuka lebar.

Disambut hangat oleh wanita yang mengenakan setelan gamis biru muda dan dipadukan dengan jilbab panjang berwarna senanda. Adik dari mertuanya itu memeluk Gista, mengusap punggung wanita itu dengan lembut. Tangannya terulur saat pelukannya dengan Gista terurai, Arras mencium punggung tangan Tante Tia.

"Tante sehat?" Sapa Arras beranjak dari tempatnya duduk, mempersilakan Tante Tia untuk duduk.

"Alhamdulillah sehat, Ras," balasnya sembari menjatuhkan bobotnya pada kursi di samping bed pasien. Senyum lembut tak lepas dari wajah yang hampir serupa dengan wajah ibunya Arras itu.

"Assalamualaikum."

Ada suara lain di ambang pintu yang tidak tertutup rapat itu. Tiga orang itu menoleh dalam waktu yang hampir berbarengan dengan ekspresi berbeda-beda dari ketiganya.

Gista menatap datar dengan senyum tipis, Arras dengan tatapan terkejut, sedangkan Tante Tia tersenyum ramah menyambut sosok yang belum juga berani melangkah mendekat itu. Sampai ... suara Gista memanggilnya barulah ia mengayunkan tungkainya menyalami satu per satu dari mereka.

"Safa, kamu sendirian? Kenalin ... ini Tante Tia. Adiknya ibu yang bungsu."

Safa berdiri di samping kursi Tante Tia setelah menyimpan satu paper bag di atas nakas. Ia mengangguk sopan kemudian seketika menurunkan pandangannya di hadapan Tante Tia saat wanita itu menebak hubungan persaudaraan antara dirinya dan Gista.

"Ini Safa adik kamu itu bukan, Gis?" Tante Tia mengusap lengan Safa sekilas.

"Bukan, Tante." Safa menjawab dengan lirih, jemarinya memilin ujung hijab yang ia kenakan.

Harusnya, Safa tidak perlu merasa gugup bertemu dengan keluarga dari suaminya. Bukankah ini adalah adik dari ibu mertuanya, itu berarti Tante Tia juga bisa menerima keputusan ibu mertuanya yang meminta Arras menikah lagi. Jadi, tidak akan ada acara caci maki atau melabraknya karena sudah mengambil suami dari perempuan lain, kecuali jika itu datang dari keluarga Gista yang tidak terima akan pernikahannya dengan Gista.

"Ini Safa yang dulu kerja di toko Ibu, Tan." Gista memberi tahu Tante Tia. Atensi Gista beralih pada Safa yang masih belum berani mengangkat kepalanya. "Dia ... maduku."

Tanjung Enim, 10 Juli 2024

Halo, aku datang dengan 1600 kata 🤭
Apakah masih ada penghuni?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro