[1] dead leaves
[prompt]
"Saat melihat hujan meteor di musim gugur, kamu berharap bisa menghancurkan bumi dan segala isinya. Lantas apa yang terjadi?"
"Seharusnya kau mati saja."
Jemari kurus Yang Jungwon meremat celana gemetaran. Udara musim gugur merambat, mengisi rongga dada yang kelewat sesak. Kalimat itu masih berusaha menggerogoti akal sehat. Aliran kecil merembes dari pelupuk, satu demi satu—lagi-lagi meluncur tanpa diminta—lalu menyisakan bekas yang memungkinkan wajah kian sembap. Lelaki itu menjatuhkan tubuh, meringkuk sambil meyakinkan diri bahwa keputusannya tidak akan disesali, pun kepergiannya tak bakal meninggalkan bekas luka bagi siapa pun.
"Lagipula, daun yang gugur akan dianggap mati juga." Bibir Jungwon yang kepucat-pucatan mulai bergetar. Dingin melesak di sekujur kulit. Membuat beku dan membikin kepala makin pening. "Dan begitulah aku akan mengakhiri semua penderitaan ini."
Sekelumit hangat turun dari lubang hidung sebelah kiri. Setitik noda pekat segera melekat di sweter cokelat terang yang membalut kaus tipis kusut tersebut. Jungwon sudah muak.
"Tidak ada yang menginginkanku. Bahkan diriku sendiri." Kepala Jungwon ditundukkan. Jemarinya menyeka cairan di hidung, lalu menengadah, berusaha menghalau pengar di pangkal hidung. Netranya yang sayu merayapi langit menjelang pagi yang bersih. Kerlip bintang samar-samar menghiasi. Pelan, bibir kering pucat itu ditarik.
"Sunghoon Hyung selalu membual kalau aku akan sembuh saat ada hujan meteor. Lalu aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." Segelintir tawa remeh meluncur. Dia bangkit dengan topangan kaki yang dikuatkan sedemikian rupa. Pada sebuah pegangan besi yang membujur di sepanjang Sungai Han, pijakan itu dibiarkan makin dekat. "Aku malah berharap bisa memusnahkan segalanya di dunia ini. Agar orang-orang yang merundungku ikut lenyap. Agar rasa sakit ini turut lesap. Aku sungguh tidak tahan."
Jungwon melangkah makin dekat. Pijakannya dibawa ke pinggiran jembatan, melewati pembatas yang membawa sensasi dingin ketika bersinggungan dengan telapak. Netranya sempat memejam. Paru-parunya dipaksa memasok udara musim gugur yang ngilunya bisa menembus tulang-tulang. Saat kelopaknya kembali terbuka, sekelebat terang melintas di langit menjelang fajar. Satu, dua—tidak, tiga. Jungwon tak mungkin salah lihat. Itu benar hujan meteor.
"Omong kosong," desisnya. Raut kecut membungkus wajah yang kian hari kian tirus. "Tak ada yang terjadi bahkan saat aku berharap langit akan runtuh." Cairan yang mengalir di hidung kembali mengotori pakaian yang dia kenakan. Lesatan cahaya di langit tampak lagi. Dan rasa sakit itu belum juga sirna. Kali ini, Jungwon yakin, keputusannya sudah tepat. Untuk melesapkan lara-lara, dia hanya perlu menghilang. Selamanya.
"Maafkan aku, Hyung." Jungwon mulai melepas jemari satu per satu. Tubuhnya sudah siap merasakan air sungai yang membekukan kulit.
"Yang Jungwon! Hentikan!"
Dari kejauhan, seorang laki-laki dengan tinggi rata-rata berlari kepayahan—berharap orang di tepian jembatan tidak nekat meloncat. Kepul udara yang keluar dari mulut menyertai dadanya yang bergerak naik-turun. Sigap tangannya menahan pergerakan Yang Jungwon. Dingin. Hanya itu yang bisa terindra telapaknya.
"Hentikan. Tolong jangan begini, Jungwon-ah," mohonnya.
"Kau bilang, aku akan sembuh saat ada hujan meteor." Jungwon berkata pelan tanpa menoleh. Kedua bahu ringkihnya bergetar, membersamai isak yang tertahan di ujung kerongkongan.
"Jungwon-ah, tolong dengarkan aku dulu." Sunghoon masih susah payah mengatur napas. "Kumohon, aku bisa—Hei! Yang Jungwon!"
Terlambat. Sunghoon terlambat. Sebelum kalimatnya selesai, Jungwon telah lebih dulu melepas tautannya pada pembatas besi. Tubuhnya hilang, ditelan air sungai yang permukaannya bergolak.
°°°
T A M A T
–끝–
2021년 9월 30일
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro