Lembar Kedua : Hei, Tak Ada Gunanya Berkabung.
"Ritme kematian berdengung dalam kepala, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
****
Saat mataku membuka, langit berwarna putih adalah hal pertama yang kulihat. Tak ada siapapun di sini, membuatku segera bangkit namun terhenti sebab infus yang bersarang di tangan kiri.
"Oh? Sudah bangun rupanya." Sebuah suara masuk ke pendengaranku. Seorang pria dengan mantel sewarna jelaga berdiri di kosen pintu.
"Siapa ...?" tanyaku dengan lirih. Pria itu terdiam sejenak sebelum tersenyum dan berjalan ke araku.
"Aku? Hanya seseorang yang dimintai tolong oleh orangtuamu," tukasnya. Kerutan dalam tercetak jelas di dahiku. Apa maksudnya? Namun, bukan saatnya aku bertanya-tanya saat sesuatu yang penting menghampiri pikiran.
"Ayah! Ibu! Bagaimana kondisi mereka?!" Keruh tercetak di wajah pria itu. Ia menggeleng, menyebabkan sesuatu yang berat menenggelamkan diriku secara tak nyata. Langit rasanya runtuh saat ini, karena aku tahu apa makna dari gelengan itu. Mereka ... telah pergi jauh, sangat jauh sampai tak bisa kujangkau.
"Kenapa?" aku terhenti sejenak. Kupandang netra pria itu lekat, "kenapa tak menyelamatkan mereka waktu itu?" pria itu menundukkan kepalanya, menyebabkan kami jatuh dalam keheningan yang canggung.
"Karena mereka tak ingin diselamatkan," ucap pria itu tiba-tiba.
"Tapi tetap saja mereka harus---" ucapanku terhenti. Pipi pria itu basah, ia ... menangis. Sial, jika begini akunya merasa jahat. Pada akhirnya, aku hanya diam memperhatikan pria itu yang entah kenapa tiba-tiba menangis.
****
Tak terasa, matahari sudah ada di atas kepala. Aku tak tahu pria ini akan membawaku ke mana. Mobil yang kami tumpangi hanya berputar-putar di jalan berbentuk lingkaran tempat orang main sepeda. Pada akhirnya, kupandang pria itu dengan tajam.
"Bisa Anda jelaskan kenapa kita berputar-putar di sini?" tanyaku. Namun, pria itu hanya mendiamkanku saja sedang matanya melihat ponsel di tangan kiri.
"Harusnya, sekarang ...!" Setelah ia berkata demikian, sebuah pusaran berwarna emas muncul di hadapan kami.
"W-wow! Apa itu!?" kegenggam pegangan di atas jendela sebelah kiri, peluh entah kenapa turun di dahiku saat melihat kami semakin mendekat ke cahaya emas tersebut. "hei! Putar balik sekarang!" perintahku malah diabaikan oleh pria ini. Lihat saja, dia malah tersenyum dengan lebar.
Dalam sekian detik yang seolah-olah mengambil napasku secara paksa, aku pejamkan mata.
Ah! Inilah akhir hidupku!
"Hei, buka matamu sekarang." Suara tenang masuk ke telingaku. Ah, apakah dia adalah malaikat maut?
"Bukan, bodoh. Aku Jeremi." Eh, dia bisa membaca pikiran? Saat kubuka mata, kerlap kerlip lampu menyambutku. Di langit, warna biru dengan kumpulan kapas ada di sana. Semuanya tampak seperti bumi, kecuali dua matahari yang saling berdampingan di atas sana. Yang satu berukuran sedang, sedang yang lainnya setengah dari matahari pertama.
"Mataharinya ... ada dua?!" Rahangku turun, terlalu tak percaya dengan yang kulihat sekarang.
"Yah, selamat datang di Hundian, Zeina." Alih-alih menjawab, pria di kursi kemudi itu malah mengatakan hal tersebut. Membuatku mendelik sejenak sebelum kembali mengangumi segala hal di sini.
Mobil-mobil melayang dengan warna yang berbeda di bawah ban kendaraan, sebuah kereta tanpa rel melintas di atas mobil-mobil, melewatinya dengan berbagai macam maneuver, seakan-akan kereta itu hidup-atau mungkin memang hidup-ada beberapa orang yang melayang dengan sayap seputih angsa di punggungnya. Seakan belum puas, aku melihat beberapa manusia raksasa berjalan dengan bangganya.
Semuanya hanya bisa dilihat dalam novel fantasi, namun sekarang tepat ada di depan mataku. Ini ... bukan mimpi kan? Kucubit pergelangan tangan sedikit dan mendapati bahwa semuanya bukan hanya bualan. Senyum terkembang dengan merekah. Kejadian nahas hari kemarin seakan-akan hilang berganti dengan pemandangan di hadapanku.
Namun, semuanya terhenti kala mobil kami berhenti di halaman rumah besar di hadapan kami.
"Di mana ini?" tanyaku kemudian. Namun, tak ada jawaban dari Jeremi. Dia malah berjalan terlebih dahulu dan membuatku harus berlari kecil agar tak tertinggal.
"Oh, Jeremi. Akhirnya kamu sampai." Seseorang berdiri di hadapan Jeremi. Pria sekitaran usia enam puluhan memandangku sejenak dengan pandangan jenaka.
"Salam, Kakek Augorius." Jeremi meletakkan tangan kanannya di dada kiri, menarik kaki kirinya kebelakang sebelum menekuknya sedikit. Hal tersebut membuatku ikut melakukannya walau aku tak paham maksud tindakan ini.
Kakek tersebut tertawa, membuat jenggot putihnya bergetar seperti gempa local terjadi di sana. "Tak perlu memberi hormat yang berlebihan, lagipula aku hanyalah tetua bayangan." Ucapannya entah kenapa terasa penuh dengan getir, membuatku sedikit memiringkan kepala saat melihatnya lagi.
"Ini Zeina, 'kan?"
"Benar, Kakek Augorius." Kakek itu mengangguk sejenak sembari mengelus jenggot. Matanya memandangku dengan seksama sebelum tersenyum cerah.
"Kalau begitu, Zeina ikut denganku." Kulirik Jeremi sejenak sebelum mengikuti kakek tersebut dalam diam.
Kami berjalan di lorong panjang. Temboknya berwarna merah dengan ukiran berbentuk tulisan berwarna emas yang tak kuketahui apa maknanya. Sedang atapnya, ada patung naga dengan mulut tebuka yang bertumpu pada ujung pilar di sini.
"Aku turut menyesal atas kematian Bianca dan Norman," ucap kakek tersebut. Wajah kedua orangtuaku melintas sejenak saat nama mereka di sebutkan. Langkahku terhenti, kepalaku menunduk dalam. Kesedihan yang sempat hilang muncul lagi, menyergap mataku untuk mengeluarkan air berasa asin dari kelopak mata.
Namun, semuanya terhenti saat sebuah tangan mengelus kepalaku pelan. Tanpa melihat pun aku tahu siapa pelakunya, kakek Augorius. Elusannya penuh dengan maksud menghibur seorang anak enam belas tahun yang baru kehilangan kedua orangtuanya dan datang ke tempat antah berantah ini.
Cukup lama kami berada di posisi sepeti ini hingga tangan itu terangkat dari kepalaku saat tak ada lagi getaran di badan. Kupandang kakek dihadapanku dengan nelangsa. Sebuah senyum terukir indah di bibirnya, membuatku terpana sejenak.
"Bukan salahmu, Zeina. Itu adalah takdir mereka." Kakek Augorius tiba-tiba berkata demikian. Seakan-akan dia tahu kalau dari hati terkecil, aku menyalahkan diri sendiri karena tak bisa menyelamatkan orangtuaku.
"Tapi ...." Diriku berhenti berkata. Tak sanggup mengatakn hal selanjutnya dengan lantang. Kakek Augorius masih tersenyum, kemudian ia membelakangiku dan berkata.
"Tak ada gunanya meratapi apa yang telah berlalu, atau siapa yang telah berkorban. Karena jika kamu demikian, sama saja dengan menyia-nyiakan perjuangan mereka," kakek itu menoleh ke arahku. "Itulah kata-kata terakhir orangtuaku sebelum mereka meninggal." Getir ada di nada suaranya dan untuk sejenak, aku melupakan segala kutukan dalam hati yang menyalahkan diri sendiri.
"Ya, pada akhirnya kita tetap harus melangkah maju. Tanpa ada belakang, kita tak bisa maju." Ucapan kakek itu terasa rumit bagiku, namun aku hanya mengangguk saja. Berusaha pura-pura mengerti, lebih tepatnya.
Kemudian, kami berjalan lagi. Tanpa ada percakapan apapun, seakan-akan ingin memberi ruang bagi satu sama lain. Hingga, kami berhenti di depan pintu berukiran dua nada yang saling melingkar.
"Kita sampai." Dan saat pintu dibuka, aku tanpa sadar menegak ludah dengan gugup.
-To the next page-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro