Persoalan Pesanan
"Alde, lihat! Sudut bibirmu banjir bandang!" seru Rasi di tengah-tengah jam kosong sebelum tarawih, sambil memamerkan jepretan foto yang terpampang di layar ponselnya. Tampaklah potret seorang bocah lelaki yang berbaring santai dengan mata terpejam kuat dan iler menetes, tak peduli meski jadi pusat perhatian di sela-sela pelaksanaan lomba Cerdas Cermat yang sedang berlangsung. Dibandingkan ramai berteriak 'dikurangi seratus' pada tim lawan yang menjawab soal dengan keliru, anak lainnya justru lebih memilih untuk menertawakan Alde dan mencoret wajah anak tak berdosa itu layaknya karya seni masterpiece.
Namanya Aldebaran, anak kelas satu SD yang sudah berlagak mau ikut MABIT. Padahal, peserta yang diwajibkan hanyalah kelas 4 ke atas. Tak heran, baru saja satu malam, Alde sudah tepar tak berdaya. Habisnya, jadwal tidur dia hampir jam sebelas malam. Dibangunkan pagi buta untuk tahajud, pula. Panitia lainnya terkikik lalu menjulurkan lidah, mencemooh. Siapa suruh sok dewasa, pakai ikut MABIT segala? Anak seusianya hanya ikut kuliah subuh, tuh.
"Ih, Kak Rasi, hapus!" jerit Alde. Tangan kecilnya berusaha menggapai gawai di genggaman Rasi.
Gelak tawa Rasi menggema semakin kencang. Rasi tambah terobsesi untuk mengangkat ponsel tinggi-tinggi dan ... lari! Di belakangnya, Alde sudah kelimpungan ingin menyusul. "Eit, tidak bisa!"
Saking menghayatinya, Rasi sampai berniat kabur ke jalan pematang sawah. Sekitarnya temaram, intensitas cahaya hanya dihasilkan dari penerangan seadanya di belakang masjid. Karena sepi dan tak mampu melihat dengan jelas, Alde akhirnya hanya bisa menjerit kesal, hampir menangis. Nasib baik, Lutfi menghampirinya lebih dulu. "Alde, kenapa malah di sini? Yang lain sudah ke masjid!"
Merasa menemukan setitik harapan, Alde langsung menghambur ke arah Lutfi. "Bang Fi, Bang Fi! Kak Rasi-nya nakal! Kak Rasi menyimpan foto aib Alde! Huaaa, Alde kejar malah kabur, enggak tahu ke mana."
"Rasi!" Lutfi berdeham ganas. Dari balik kegelapan, Rasi muncul dengan cengiran tanpa dosanya.
"Eh, iya, Bang?"
"Peserta harusnya diamankan dan sudah berbaris di saf masjid, jam segini! Sudah mau azan isya! Berhentilah mengganggu anak-anak seperti itu." Lutfi beralih pada Alde yang sudah memasang muka menang, merasa dibela. "De, sekarang kamu langsung wudu, terus siap-siap shalat isya sama tarawih, ya. Soal Kak Rasi, biar Bang Fi yang urus."
"Ih, ini untuk kepentingan dokumentasi di penutupan kegiatan Ramadan, lho, Bang!" Lutfi malah menanggapinya dengan pelototan garang. Rasi cemberut. Bang Fi enggak asik! "Huu, dasar bocil! Mengadu saja bisanya."
Kehilangan objek permainannya, Rasi melengos pergi untuk kembali ke ruang sekretariat DKM, markasnya panitia. Sebelum menaiki anak tangga, Rasi mendapati sebuah sepeda motor sudah terparkir rapi di depan aula. Dirga! Anak itu pasti sudah kembali!
Layaknya seorang ibu yang baru bisa bertemu anaknya setelah bertahun-tahun terpisahkan di serial India yang sering mamanya tonton, Rasi merentangkan tangan untuk memeluk Dirga, dramatis. "Dirga! Es boba fresh milk punyaku mana?"
Benar. Dirga memang jadi abang go-food jadi-jadian, khusus untuk anak-anak FORMADA, malam ini. Belum sampai berjarak satu meter dari jangkauan, Dirga lekas-lekas menarik lengan baju Rasi ke pojokan, sangat tidak lembut. "Sssh, punyamu sudah kukasih ke Diba."
Seakan bermuatan tenaga nuklir tingkat tinggi, emosi di kepala Rasi meledak. "Gamit-gamitan Setan Jantan! Aku sudah bayar duluan! Bagaimana mungkin kau menyerahkannya begitu saja?"
Diomeli seperti itu, Dirga tak terima. "Hei, Diba belum sempat pesan karena sibuk mengondisikan anak-anak sehabis bukber! Lagi pula siapa suruh kau menghilang, barusan? Siapa cepat dia dapat, dong."
"Tapi aku yang pesan! Bukan dia!" Rasi semakin brutal, mulai menyingkirkan pundak Dirga hingga terbanting keras ke dinding. "Bucin terus sampai mampus. Begitu saja sampai kau lupa dengan eksistensi manusia lainnya. Minggir! Aku tak mau tahu, kau harus ganti boba-ku dengan tiga kali lipat!"
Bajingan! Enteng sekali bedebah itu berbuat seenaknya pada Rasi. Rasi bukan cemburu! Siapa pun akan marah jika berada di posisinya, 'kan? Rasi langsung kabur ke sudut belakang madrasah yang memang menyatu dengan bangunan masjid. Rasi menendang-nendang udara untuk melampiaskan sebal, lalu memeluk lututnya erat-erat.
Kisah ini selalu saja begitu. Berjuta pasang mata terfokus untuk mengagumi setiap senti keelokan dari kemilau sang purnama. Padahal, rembulan hanya memantulkan cahaya. Gemintang kesepian di sudut angkasa sana yang memilikinya. Bukan dia.
• • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro