Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lekang Gemintang

"Duar, meledak!"

"Dodol, Cendol, Sempol, Panadol!" seru Dirga, dengan berjuta kosa kata latahnya yang hanya memuat nama-nama makanan penyedia amunisi perut. Letusan kembang api terdengar nyaring, pijarnya seakan memburu ke mana pun Dirga melangkah. Lelaki itu heboh mengangkat sarung yang mengerubungi seluruh tubuhnya. Gila saja. Itu petasan gasing yang putarannya aktif sekali sampai loncat-loncat ke sana kemari. Beberapa detik sejak Dirga terbirit menghindar, akhirnya petasan itu padam, asapnya menipis. Dirga memasang muka masam. "Siluman Perempuan! Kau merundungiku dengan empat biji petasan gasing, sekaligus! Mau membakar sarungku?"

Biang keroknya malah puas tergelak sampai terkapar di lantai halaman masjid. Rasi Kejora, gadis yang masih dibalut mukena cokelat itu merasa bangga karena misinya berhasil. "Payah! Begitu saja heboh. Mana harga diri lelakimu?"

"Rasi, Dirga! Pulanglah jika kalian tak berniat mengaji!" Itu suara Ustadz Ali, yang baru saja selesai mengikat hijab penyekat di dalam masjid. Sepuluh malam terakhir Ramadhan. Jemaah tarawih baru saja berhamburan keluar. Kini, keramaian di Masjid Darussalam digantikan sekelompok anak TK sampai remaja, yang melingkar untuk tadarus pakai mikrofon, bergantian. Sembari menunggu giliran, mereka akan mengaji sesuai hanca masing-masing.

Demi mendengarnya, Rasi ribut berteriak, "Ustadz Ali, Ustadz Ali! Aku sudah juz 23, lho. Dirga masih juz 21!"

"Amboi, aku bacanya tartil, ya, mohon maaf."

Tak peduli pembelaan omong kosong yang Dirga bilang, Rasi bergegas meraih mikrofon. Sebagai salah satu senior di pengajian sini, Rasi merasa berkuasa.

Dirgam sudah memangku Al-Qur'an di tangan, tak lupa berniat untuk menyusul bacaan Rasi. Akan tetapi, Ustadz Ali menyuruhnya membawakan gorengan di rumah Ustadz Ali—yang memang berdampingan dengan masjid. Di sisi lain, Rasi tampak semakin menghayati qiraah-nya. Asik, ada gorengan! Gehu, cibay, cipe, aku padamu!

Begitu Dirga tiba dengan tangan yang dipenuhi nampan, Rasi berteriak girang. Tanpa pikir panjang, diserahkannya mikrofon pada anak SD di sebelah. "Ah, iya. Sebagai kakak kelas yang baik, aku harus mengalah dan memberikan kesempatan pada junior-junior tersayangku."

Anak lain mendelik sebal, memastikan Rasi tidak membabat habis gorengan yang ada. Lihat saja. Kurang ajarnya, Rasi asyik menaikkan kaki, persis jantan ketika makan. Tampaknya, perlu menunggu Upin-Ipin jadi duta sampo untuk melihat Rasi versi kalem dan tidak banyak tingkah.

Namun, ada yang berbeda dengan Dirga. Musuh bebuyutan Rasi itu belum menyambar gorengan, kali ini. Matanya berbinar seterang lampu yang dialiri jutaan voltase listrik. "Kau tahu, Rasi? Dengar-dengar dari Ustadzah Qonita, malam ini, Diba pulang dari pesantren, lho!"

Tersedak. Rasi terbatuk heboh. Diba? Ah, ya. Seperti biasa, gadis itu akan mengganggunya dengan eksistensi yang tak diperlukan, di akhir bulan Ramadhan ini. Rasi mendengkus singkat. Kenapa harus pulang, sih? Kenapa tidak lumutan saja di pesantren sana?

Kedua mata Rasi berotasi malas. Lagi dan lagi. Semua ini masih tentang gemintang yang tak kunjung dirindukan garis cakrawala. Masih tentang siang-malam yang sepanjang pergantiannya selalu ditandai 'mentari-rembulan', bukan 'mentari-gemintang'. Dan untuk kesekian kalinya, bintang hanya bisa sembunyi di balik kelam selaput awan. Apa boleh buat. Rembulan itu sudah mencapai purnama-nya.

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro