Bab Sepuluh
Artem berjalan seraya mengalihkan pandangan sesekali pada beberapa papan dengan nama tanaman yang tergantung di dekat batang kayu kecil pada tanah dekat tanaman.
Ia butuh distraksi, karena merasa tak seharusnya ia terus menerus menatap Vyn selama mereka bersama. Entah kenapa, rambut perak lelaki itu tampak berkilauan di bawah sinar matahari. Sudut bibirnya sedikit terangkat dan matanya seolah mengerling dengan antusias sambil memperhatikan tanaman hias.
Ketika melihat tanaman bunga, Vyn benar-benar tak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Lelaki itu bahkan berhenti, lalu bercakap-cakap sejenak dengan sang penjual.
"Aku tidak menyangka bisa melihat bunga anggrek bulan di sini," ujar Vyn sambil melirik Artem sekilas ketika akan beranjak pergi.
"Kau suka? Kalau begitu aku akan membelinya untukmu."
Biasanya Vyn akan merasa risih. Tidak cuma Artem, dia pun bisa membelinya kalau dia mau. Namun kali ini, entah kenapa ia malah senang karena Artem berniat membelikan sesuatu untuknya.
"Kurasa aku tidak bisa merawatnya. Cuaca di Stellis kurang mendukung."
"Sayang sekali."
"Makanya aku kaget bunga itu ada di pameran. Bahkan dijual."
Artem sama sekali tidak memahami soal bunga dan tidak berminat. Tidak seperti biasanya, kali ini dia bahkan tidak riset dengan pergi ke pameran terlebih dulu. Dia tahu Vyn jauh lebih paham soal hal semacam ini dan kali ini dia hanya ingin menghabiskan waktu berdua.
Artem baru menyadari, rupanya berjalan bersama seseorang bisa begitu menyenangkan meski jarang bertukar kata. Dia hanya berjalan di dekat Vyn, menyadari antusiasme lelaki itu yang jarang terlihat, lalu mendengar Vyn membahas soal bunga.
"Kalau aku masih di Svart, kurasa aku akan membeli tanaman bunga itu. Menurutku cuaca di Svart jauh lebih mendukung."
"Mungkin kau perlu menanamnya di rumahmu, lalu sesekali melihatnya waktu pulang ke rumah."
Vyn terdiam sejenak. Raut wajahnya terlihat gelap. Namun sesaat kemudian, dia langsung berucap, "Aku tidak berencana pulang ke Svart dalam waktu lama."
Artem tersadar bahwa topik soal pulang ke Svart bukanlah hal yang menyenangkan. Vyn tak pernah membahas detail, meski semua anggota NXX tahu bahwa lelaki itu sebetulnya bangsawan di sana. Yang jelas, Vyn punya hubungan buruk dengan keluarganya.
"Maaf. Aku--"
Ucapan Artem terputus ketika Vyn meliriknya, "Sejak kau menyerah punya gelar doktor tambahan, kau jadi lebih emosional, ya?
Artem mengatupkan bibirnya dan menahan diri untuk tidak menyeringat. "Memangnya kau menganggapku robot?"
"Tidak. Mana mungkin robot bisa batuk di wajahku?"
Wajah Artem memerah seketika. Ia merasa benar-benar malu hingga tidak bisa berbuat apapun. Tiba-tiba saja, kenapa tenggorokannya jadi gatal?
Namun ia terkejut bergitu menyadari Vyn sudah menyentuh bagian belakang lehernya. Tangan lelaki itu sedikit dingin, namun cukup lembut untuk ukuran lelaki.
"Wajahmu memerah. Tolong jangan batuk lagi di sini."
Artem mengatur napasnya sendiri. Ia merasa seolah sedang terpergok melakukan sesuatu yang memalukan.
"Kau mau lihat binatang di sebelah sana?"
Vyn mengangguk. Ia sudah memutari berbagai penjual tanaman sebelumnya. Memang tidak semuanya, namun dia sudah memutari sebagian besarnya. Bahkan dia sampai membeli pupuk dan bibit sayuran hidroponik.
Area hewan tidak seluas tanaman. Terdapat penjual yang menjual berbagai hewan, mulai dari kodok, hewan semacam anjing dan kucing, ikan, bahkan kelomang.
Ada juga beberapa penjual kura-kura. Berbeda dengan kura-kura berwarna hijau atau berukuran besar yang berwarna hitam yang berada di pasaran, kura-kura ini memiliki motif berwarna hitam dan coklat dengan pola tertentu namun didominasi warna hitam.
Tiba-tiba saja, Artem tersentak saat menyadari seseorang meremas lengan kirinya. Ia menoleh dan mendapati Vyn meremasnya dan kepalanya tertunduk. Lelaki itu jelas ketakutan dan sedikit mendorong Artem ke sisi kanan.
"Kenapa?"
Vyn tetap meremas lengan Artem dan agak mempercepat langkahnya. Artem bergerak mengikuti Vyn.
"Maaf. Tadi ada orang yang memegang ular. Aku kaget."
"Lain kali, kalau kau takut, kau boleh bilang padaku. Aku akan menggandengmu. Ularnya jangan dilihat."
Kini, wajah Vyn yang sedikit memanas. Seseorang memerhatikannya dan terasa tulus. Bahkan Artem tidak meledeknya sama sekali soal ketakutannya pada ular di luar kandang.
.
.
Ini benar-benar konyol. Namun semakin lama Vyn menghabiskan waktu bersama Artem, semakin dia menyadari bahwa dia menikmati eksistensi lelaki itu.
Semula, dia rish apabila harus berada di dekat lelaki itu. Begitupun sebaliknya. Nanun kini dia malah ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi. Dia ingin mengenal lebih jauh secara personal, juga ingin mengobrol lebih banyak. Dia ingin tahu, bagaimana masa kecil Artem? Apa yang suka dilakukan lelaki itu di saat santai?
Sesudah menyadari ketidaknyamanannya dengan ular, Artem jadi lebih memerhatikan sekeliling. Kalau harus melewati penjual ular, Artem akan berupaya menghindar. Kalau tidak bisa, Artem akan langsung maju dan membuatnya berjalan di sisi yang jauh dengan kandang ular.
Artem benar-benar memerhatikan dirinya. Sampai-sampai lelaki itu membisikinya setiap ada ular, juga mengenggam tangannya. Vyn baru menyadari, telapak tangan sedikit hangat dan tidak begitu lembut itu bisa begitu nyaman.
"Kau sibuk? Kalau tidak, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
Artem yang sedang mengemudi segera menyahut tanpa menoleh, "Kau mau ke mana?"
"Terserah. Kalau cuma mau mengemudi berputar-putar juga boleh."
Artem terdiam sejenak. Mereka baru saja makan malam dan dia tidak tahu tempat seperti apa yang dinikmati Vyn. Biasanya perempuan suka makan kue, apakah Vyn juga sama?
"Kau mau kue?"
"Kau punya rekomendasi?"
"Tidak. Sebetulnya aku jarang makan kue. Tapi bisa kutanyakan ke Rosa atau Celestine."
"Kalau begitu tidak usah makan kue. Aku ikut apapun yang kau mau."
"Kalau begitu, aku akan menyetir ke pantai buat menikmati angin malam. Kau tidak masalah?"
'Oke. Aku ikut."
Artem tidak lagi berbicara. Lelaki itu mempercepat laju mobilnya tidak lama sesudah mereka memasuki jalan tol.
Vyn hanya duduk di samping lelaki itu. Terlihat jelas Artem menikmati apa yang sedang ia lakukan. Cara mengemudinya stabil meski cepat, dan Artem tampak begitu fokus.
Kalau dilihat dari samping, wajahnya menarik juga.
Vyn meringis seketika menyadari pemikirannya mulai aneh. Namun di sisi lain, ia tak bisa menahan diri untuk tidak sesekali memandang Artem. Entah kenapa lelaki itu tampak jauh lebih keren di balik setir kemudi.
"Kenapa?"
Vyn ingin menjawab jujur meski memalukan. Namun ia segera berkilah, "Aku cuma mau melihat pemandangan dari jendela sisimu."
.
.
Angin malam.yang bertiup lebih kencang berpadu dengan aroma laut samar menerpa tubuh mereka segera setelah keluar dari dalam mobil. Di kejauhan, air laut berwarna hitam terlihat t mengerikan.
Namun ketika bersana Artem, Vyn merasa begitu aman dan terlindungi. Rasanya ia bisa pergi bersama lelaki itu ke mana saja. Cinta benar-benar mengikis rasionalitasnya.
"Sebenarnya aku suka pergi ke pantai sendirian kalau stuck soal pekerjaan."
Artem mulai membahas hal pribadi. Entah kenapa ia merasa ingin melakukannya. Percakapan mengalir begitu saja.
"Kau biasa pergi di malam hari?"
"Biasanya siang. Kalau malam, aku terkadang menyetir tanpa tujuan."
"Kau suka menyetir?"
"Iya, suka. Kau sepertinya tidak?" tanya Artem seraya melirik Vyn. Di bawah sinar bulan, bulu mata lentik lelaki itu tampak menawan. Rambut peraknya seolah bersinar.
"Tidak begitu. Aku biasa menyetir kalau ada tujuan."
Artem tidak menyahut. Sejak tadi otaknya berkecamuk. Meski berusaha terlihat tenang, sebenarnya dia gugup. Jantungnya seolah akan meledak, rasanya dia ingin mengungkapkan apa yang ia rasakan. Namu sejak makan malam, tidak ada momen yang pas.
Kalau enam puluh detik lagi Vyn masih diam, maka dia akan menyatakannya sekarang. Kalau tidak, dia akan menunda.
Vyn menatap air laut berwarna hitam. Tidak ada yang menarik sebetulnya, hanya ada kegelapan dan air yang sesekali bergerak. Mereka bahkan hanya berdiri di tepi pantai yang lumayan jauh.
Lima puluh detik. Artem menunggu dan ikut memandang air laut. Suara ombak pelan dan air yang bergoyang menarik pehatiannya.
Empat puluh detik. Vyn masih terdiam. Artem bertanya-tanya apa yang dipikirkan Vyn kali ini. Apakah lelaki itu senang menghabiskan waktu bersamanya?
Tiga puluh detik. Kira-kira apa yang harus dikatakan Artem? Apakah langsung bilang suka?
Dua puluh detik. Artem meremas tangannya sendiri, berusaha memberanikan diri.
Sepuluh detik. Artem merasa sedikit khawatir. Apakah terlalu cepat baginya untuk mengungkapkan?
Nol detik. Vyn masih juga diam. Persetan lah bagaimana nantinya. Toh yang penting dia sudah menyatakan.
"Vyn."
"Artem."
Keduanya menoleh di saat bersamaan juga memanggil satu sama lain di saat bersamaan.
Vyn segera berucap, "Kau duluan."
Artem mengambil jeda dan meneguk ludah, kemudian menatap Vyn lekat-lekat.
"Vyn, aku tidak sedang bermain-main. Apa kau mau menjadi kekasihku?"
Vyn tertawa dan menganggukan kepala, membuat kedua alis Artem tertaut. "Ternyata kau mendahuluiku. Tadinya aku juga mau bilang ini."
Artem tersenyum kikuk. Ia baru saja akan berucap sesuatu ketika mendadak sebuah kecupan lembut mendarat di bibirnya.
Bibir Vyn tipis dan lembut. Artem tersentak merasakan sensasi asing yang tak pernah ia rasakan di bibirnya.
Sebelum Artem hampir lepas kendali dan mencium bibirnya, Vyn segera melepaskan diri.
"Aku bersedia."
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro