Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[9] Merajut Permulaan

NB: Sangat disarankan mendengarkan lagu di atas.

"Kau masih marah, Raa?"

Suara lembut barusan mengusik fokus Raquela yang masih berperang dengan sel pemecah masalah di kepalanya. Sudah lima belas menit ia berpikir keras pola mana yang harus dirinya ulang.

Setengah sebal, Raquela menoleh pada Laura yang telah menumbangkan konsentrasinya untuk merajut sebuah alas gelas.

Hidung mancung berkulit putih, dengan bibir tipis merah ranum milik Laura, tampak memberengut menatap Raquela. Yang ditatap justru mendesah frustrasi. Padahal Raquela sudah sengaja mencari kesibukkan guna menghindari Laura. Raquela meneruskan latihan merajut yang sempat diajarkan para dayang istana Sceybia dalam rangka pelatihan keterampilan diri untuk seluruh tawanan Askor, beberapa jam lalu.

Tapi, kenapa Laura teruuus saja mengajaknya berbincang? Padahal masih banyak yang bisa Laura ajak bicara di gedung ini.

Kaktus, kek. Rumput, kek. Atau sapi di peternakan depan gedung bisa juga dia ajak curhat tentang betapa kejamnya Pangeran Nacio.

"Kau masih marah." kata-kata Laura lebih mirip penegasan, mencipta hela napas Raquela.

Sudah cukup dia pusing karena harus beradaptasi di alam, udara, serta negeri yang baru. Sekarang, Laura menambah kepalanya serasa ditusuki ribuan jarum.

Raquela memandang tanah Sceybia di mana kakinya menapak, memikirkan baik-baik jawaban yang tepat. Begitu tiba di negeri yang selama ini menjadi wilayah dambaan sebahagian besar rakyat Askor—karena sistem pemerintah yang damai serta pesatnya perkembangan zaman—Raquela dan para tawanan yang 'sepenuhnya masih memberontak tak menerima kekalahan' telah di bawa ke sebuah gedung berhalaman luas di Sceybia.

Jangan tanya kenapa Raquela bisa berada di kubu yang sama dengan Laura! Hatinya masih tercabik-cabik jika mengingat saat Laura dengan seenak jidatnya, menyeret paksa Raquela ikut masuk ke komplotan para pemberontak Askor.

Akhirnya, mereka berdua berakhir di gedung ini. Sementara para rakyat Askor yang menyerah pada invasi Sceybia sudah di arahkan ke gedung lain untuk menjalani pelatihan. Mereka semua diberi persiapan agar dapat dipekerjakan dengan baik pada pemerintahan Sceybia.

Sungguh miris sekali nasib Raquela, berada di sini bersama Laura. Ugh.

"Aku tidak marah." Raquela menjawab datar kemudian. Tangan kanannya meremat erat jarum rajut yang ujungnya sudah terpasang benang wol berwarna biru dan diselipkan di telunjuk kiri. Raquela baru saja berhasil membuat tiga jalur dari pola tusuk dasar, tetapi gara-gara pertanyaan Laura yang sudah ke seribu seratus satu koma satu kalinya, Raquela jengah dan ingin sekali membakar gedung ini. Tapi, janganlah. Bisa-bisa dirinya yang duluan dibakar oleh Nacio atau Calvino.

"Sungguh?" tanya Laura, memastikan.

"Ya." Kali ini Raquela menjawab dengan senyum melengkung yang dipaksa. Siapa pun, tolong hadiahkan apa saja pada Raquela jika sekali lagi Laura menanyakan hal sama.

Tidak mau diteror pertanyaan serupa, Raquela memalingkan wajah. Memperhatikan kelanjutan proses merajut yang dirinya geluti sekarang.

Dari yang Raquela dengar, lokasi yang sudah tiga hari ini ia dan Laura tinggali bersama para pemberontak lainnya merupakan sebuah bekas tempat latihan menembak para pasukan Angkatan Militer Sceybia. Di samping gedung, hanya dibatasi pagar kawat setinggi lima meter, ada lapangan pacuan kuda yang tiap sorenya rajin diisi para prajurit militer yang sedang berlatih. Tak jarang Raquela mencuri-curi pandang melihat mereka dari balik tembok di ujung lorong, karena cukup banyak juga prajurit Sceybia yang tampan-tampan. Lumayan, kan, pemandangan segar.

"Kau tidak bohong? Kau.. benar-benar tidak marah, kan, Raa?"

"Tidak."

'Tidak salah lagi maksudnya!' teriakan itu mengaung dalam hati Raquela. sementara bibirnnya hanya bisa tersenyum miris.

Laura tersenyum lebar. "Syukurlah. Aku melakukannya karena ingin mempertahankan negeri kita, Raa." Ia menundukkan wajah. Mungkin partikel debu di taman belakang gedung lebih menarik minatnya.

"Memangnya kau tidak mau Askor kembali, ya? Kau ingin tinggal di Sceybia?" pertanyaan tiba-tiba itu membuat Raquela terkesiap.

Terbata, ia menjawab. "Bu—bukan begitu. Aku hanya—"

'Hanya sangat yakin bahwa Sceybia akan tetap menang pada akhirnya. Karena itulah yang pernah terjadi dulu. Dan meski pun aku mengulang waktu, bukan tidak mungkin takdir yang berlaku untuk peristiwa besar seperti perang Sceybia-Askor itu akan tetap terjadi seperti semestinya, kan?'

"Hanya?" suara Laura yang kembali terdengar merusak lamunan Raquela.

"Hanya..." Raquela mengarahkan bola mata ke atas beberapa detik, berpikir. "ingin berkumpul bersama pria-pria tampan saja." celetuknya kemudian yang langsung dirinya sendiri sesali. Kenapa alasan yang keluar dari bibirnya selalu konyol?

Raquela hanya tersenyum miris saat mendapati wajah melongo Laura.

'Bodohlah. Sudah terlanjur juga.'

"Kau tau, Laura? Saat kau menyeretku masuk ke komplotan pemberontak, aku sempat lihat para rakyat Askor terpilih yang Pangeran Nacio kelompokkan menjadi pekerja pemerintahan di Sceybia." jelasnya sembari meletakkan rajutan di pangkuan. Berbohong memang membutuhkan tenaga ekstra.

"Maksudmu?"

"Kau tidak tahu mereka semua rata-rata sangat tampan? Kebanyakan dari mereka adalah para mahasiswa berprestasi dan terkenal di Askor dulu." Raquela mengangkat satu tangannya, bersikap bak pujangga. "Wajahnya saja bagai bunga yang menguncup di musim semi—"

"Menguncup? Layu, dong?"

Raquela terhenyak. Oke, diksi katanya salah. Ganti!

"Hmm, maksudku.. wajah mereka bagai bunga yang mekar di musim dingin." lanjut Raquela, tersenyum.

"Musim semi." Ralatan dari Laura membuat pupil Raquela melebar. Rasanya, kedua bola mata ia bisa jatuh dari rongga sebentar lagi, saking syok mendengar kecermatan Laura.

Raquela mengibaskan tangan dengan raut sebal. "Aish! Pokoknya begitulah! Bisa tidak, kau jangan memotong ucapanku?"

Tawa Laura pecah, membuat hati Raquela meradang. Laura sedang mengajaknya bercanda atau sedang mencemoohnya?

"Baiklah, maaf. Kau bisa lanjutkan." pinta Laura.

"Pokoknya, ya, kemarin itu aku berharap sekali bisa masuk menjadi bahagian mereka yang menerima Sceybia dengan sukarela. Supaya aku bisa sesekali cuci mata melihat banyak makhluk tampan. Bukan karena aku tidak mencintai Askor, Lau."

Butuh beberapa detik untuk menunggu reaksi Laura yang hanya tersenyum tipis. Sejenak, gadis itu memandangi Raquela lama. Menghadirkan gelisah yang menghujami Raquela. Baru kali ini, Raquela menyadari bahwa ternyata.. dirinya memang benar-benar tidak bisa membaca ekspresi Laura. Meski status mereka saat ini masih berstatus 'sahabat'.

Padahal dulu, Raquela sungguh merasa kedekatannya mereka sedekat nadi. Selalu merasa bahwa Laura mengupas tuntas kulitnya sendiri hanya di hadapan Raquela yang selalu gadis itu sebut sebagai sahabat terbaik.

Raquela meremat keras jarum di tangan kanannya. Menyalurkan amarah sekaligus kecewa yang kembali bertunas. Dulu, ia tulus menyayangi Laura. Tapi perasaannya ditusuk oleh sebuah hubungan palsu yang Laura rencanakan. Miris.

Apa tidak pernah sekali pun, Laura mensyukuri keberadaan Raquela di sampingnya sebagai sahabat? Benar-benar sahabat.

Mengedip cepat, berusaha keras menahan bulir air yang sudah memupuk di ujung mata, Raquela berujar cepat seraya menundukkan wajah. "Sudahlah, aku ingin merajut lagi."

"Baiklah." Laura tersenyum. "Tapi, aku boleh menemanimu, kan?"

Tidak mau ambil pusing akan sikap Laura, Raquela mengangguk. Laura menghabiskan waktu tiga puluh menit lamanya dengan hanya saling berdiam, untuk bisa melihat Raquela selesai membuat alas gelas yang tidak terlalu rapi, tapi cukup menerbitkan senyum kelewat bangga di bibir Raquela.

"Seles—"

"Benar-benar memuakkan."

Raquela menoleh heran pada Laura. Seruan kegembiraannya barusan sampai terpotong karena suara Laura barusan terdengar begitu menekan dan sarat kebencian. Mengikuti arah pandangan tajam Laura, Raquela tersedak kecil. Dirinya tidak sedang mengunyah apa pun, tapi kemunculan Nacio yang sedang menunggangi kuda putih melintasi lapangan pacuan. Dari posisi Raquela sekarang, lapangan itu cukup bisa dilihat jelas.

Nacio melintas di barisan terdepan, beberapa prajurit lain mengawal di belakangnya. Persis dulu.. Nacio begitu percaya diri memegang tali kendali, membuat gerakan ketukan kaki dan wajah kuda yang maju mundur menjadi seirama. Ia bahkan berhasil membuat kudanya melompati delapan besi rintangan setinggi satu meter. Sorak sorai rakyat Sceybia yang menonton pelatihan dari balik pagar besi terdengar keras setiap kali ia melewati rintangan itu dengan gerakan yang sungguh menakjubkan mata.

Raquela menggeleng pelan, berusaha cepat-cepat menepis raut senang di wajahnya sebelum Laura mencekik lehernya yang ketahuan mengangumi sang musuh.

"Adeline dan Rose mulai mengelu-elukan dia, Raa." Laura menyebut nama teman-temannya yang pernah Raquela sapa di pesta minum teh dulu. Mereka juga masuk dalam komplotan pemberontak karena keluarganya merupakan sekutu keluarga Kerajaan Askor.

"Aku tidak mengerti dengan mereka, kenapa bisa jatuh hati hanya karena paras dan kemampuan pria sombong itu? Aku sengaja ke tempatmu karena muak mendengar cerita mereka yang mulai membangga-banggakan si Nacio."

"Kau sungguh membenci Pangeran Nacio?" Raquela tidak paham, pertanyaan itu tiba-tiba saja begitu berani ia lontarkan. Tapi dirinya benar-benar penasaran, apa kesalahan Nacio dan keluarganya hingga Laura memiliki dendam sedalam itu. Pasti bukan hanya karena penyerangan yang mereka lakukan terhadap Askor, kan?

"Sangat."

"Maaf, tapi.." Raquela menelan ludah, mencoba tetap kuat mengutarakan keheranannya. "boleh aku tau kenapa?"

Seketika itu sorot mata Laura menajam, menatapinya. Raquela berusaha keras mempertahankan kekuatan, untuk kali ini saja ia tidak ingin gentar dan lari dari kenyataan yang ada. Bahwa mungkin.. perasaan benci Laura padanya sudah muncul sejak detik ini. Atau sejak pertama kali mereka bertemu?

"Tidak apa jika kau tidak mau berce—"

"Apalagi kalau bukan karena dia menghancurkan negeri kita." Laura menjawab.

"Benarkah karena itu?"

Melihat wajah Laura benar-benar berubah datar, Raquela cepat-cepat berujar. "Sepertinya aku salah bicara. Kau tau, kan, aku suka kebingungan diksi kata? Aku bukan meragukanmu, Lau. Aku hanya kebanyakan makan buah pala, jadi kepalaku sedikit mabuk.."

Baiklah, mengalah dulu daripada Laura sungguh-sungguh mengulitinya di tempat.

"Po—pokoknya.. sebagai sahabat, aku selalu ada di sisimu, Lau. Dan sebagai sahabat juga. Aku hanya bisa menasihati agar sebenci apa pun kau padanya, jangan diteruskan. Aku takut itu menjadi dendam, dan dendam hanya akan membawa malapetaka."

"Karena itu kau tidak pernah berontak saat bibi dan pamanmu menindas?"

Raquela tertegun. Tidak menyangka Laura akan mengalihkan pembicaraan pada salah satu kenangan menyakitkan untuknya. Mungkin menyadari keterkejutan Raquela, Laura berucap lirih seraya menunduk. "Maaf,"

"Yah.." Raquela mengangguk. "kau benar. Mungkin terlihat bodoh, tapi Ayahku selalu berkata untuk tidak membalas perbuatan buruk orang lain. Berdoa saja agar mereka bisa berubah jadi lebih baik."

'Sepertimu Laura..

Kukira aku hidup kembali untuk bisa membalas perbuatanmu. Tapi, tidak. Dengan segenap usaha, aku akan berusaha membuatmu sadar lebih awal agar tidak lebih lama terjerembab di balik dendam.

Mungkin dengan begitu, Ayah Nacio tidak akan mati, Nacio tidak akan menjadi incaran pembunuhan paman dan kekasihnya sendiri, dan juga.. kau bisa hidup bahagia bersama Nacio. Untukmu aku mengikhlaskannya.. karena memang hanya kau yang Nacio cintai..'

"Lagipula.. aku hanya ingin bisa hidup dalam ketenangan, Lau. Dendam yang pernah kurasakan saat awal-awal Bibi Vallery menghancurkan hidupku, nyatanya sama sekali tidak bisa membuatku bernapas lega.

Aku juga tidak tahu akan seperti apa nasib kita di masa depan. Tapi, aku punya firasat semua rakyat Askor akan lebih bahagia di bawah kepemimpinan Kerajaan Sceybia. Kau tau firasatku sering benar, kan?" Raquela menyengir.

"Karena itu, aku mohon padamu.." Raquela tersenyum, memandangi Laura dengan sejuta perih dan rasa rindu. Dulu mereka begitu bahagia sebagai sahabat, tidak bisakah Laura menerima dirinya dengan tulus?

"cobalah menerima perubahan ini, Laura. Aku menyayangimu, aku ingin kau mendapatkan yang terbaik. Kau pasti bisa berkembang lebih baik di sini, aku yakin. Dan tidak ada yang tahu, kan, seperti apa Pangeran Nacio sesungguhnya? Bisa jadi dia memang orang baik. Hanya saja tertutupi karena perannya sebagai panglima perang, yang mengharuskan ia ia bersikap dingin dan tegas."

Keduanya saling berpandangan. Raquela meremat sisi roknya tanpa sadar, menyalurkan kekuatan. Hingga suara gaduh yang lama-kelamaan makin terdengar jelas mengejutkan keduanya. Mereka menoleh pada pintu samping yang menunjukkan segerombol orang berlari. Sepertinya menuju pintu utama.

Merasa ada alasan untuk menjauhkan diri dari Laura sesaat, Raquela bangkit dan menuju ke sana. Tidak sadar Laura menyusulnya juga, raquela mencegat salah satu tawanan yang ia kenal karena mereka berasal dari satu desa.

"Ada apa, Gladis?"

Wajah Gladis begitu panik. "Pangeran Nacio jatuh dari kuda saat Latihan. Sekarang dia dibawa ke mari. Semua orang ingin melihat kondisinya, Raquel. Kau mau melihatnya juga?"

Hah? Baru saja ia melihat Nacio, tapi sepertinya percakapan intens dan menyayat hati dengan Laura membuatnya tidak sadar bahwa lelaki itu mengalami kecelakaan.

"Laura Catalina?"

Suasana panik semakin mencekam ketika salah seorang prajurit Sceybia terburu-buru menghampiri Laura yang sudah berdiri di sebelah Raquela dan Gladis. Belum sempat Laura menjawab, pria itu berujar lagi dengan sorot mata resah yang tak kunjung hilang.

"Kau rakyat Askor yang pernah bekerja di pusat layanan kesehatan, kan?"

"Dari mana Anda tau?" Gladis yang mewakili pertanyaan di benak Raquela dan Laura.

"Earl Oskar memberitahuku." Mendengar nama kepala daerah Arkaley, ketiga gadis itu mengangguk paham.

"Benar, tapi kenapa kau mencariku?" tanya Laura pada akhirnya.

"Kau bisa membantu memberi pertolongan pertama untuk Pangeran Nacio? Kami masih menunggu dokter kerajaan, tapi kedatangannya butuh satu jam karena ia sedang mengoperasi pasien lain. Sementara luka Pangeran Nacio cukup dalam. Kami khawatir ia terkena infeksi. Kau bisa membantu kami, Nona Laura?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro