[7] Calvino
"Ca—Calvino?" Raquela melirih. Tubuhnya bergetar dengan kedua kaki lunglainya sudah jatuh di tanah.
Calvino masih menyatukan netra padanya hingga napas Raquela tertahan beberapa saat. Saat napasnya sesak karena terlalu lama tidak menghirup oksigen, Raquela tersedak.
Buru-buru ia menutup mulutnya sendiri agar tidak ketahuan Calvino. Ia masih berharap lelaki itu kehilangan penglihatan normal untuk kali ini saja, mata kabur atau apa sajalah. Tapi doa itu rasanya mustahil terkabul melihat betapa lekatnya pandangan lelaki itu ke arahnya.
Saat kesadaran menghampiri, Raquela berusaha keras untuk bangkit berdiri, lalu mencoba berbalik pergi. Dengan mata terpejam ia terseok jalan menjauh dengan buru-buru.
Tapi baru beberapa langkah, otak bodohnya menginstruksi seluruh saraf motorik miliknya untuk kembali berbalik dan menuju ke tempat di mana Calvino berada lagi. Sungguh, ia takut bertemu Calvino. Tapi, Raquela lebih takut lagi jika dirinya membiarkan Calvino mati begitu saja. Bisa-bisa Tuhan benar-benar mencabut nyawanya sekarang jika ia sampai melakukan dosa.
Begitu tiba di pintu goa, tidak ada wujud Calvino lagi di tempat semula, sehingga Raquela memilih masuk perlahan ke dalam goa melalui pintu masuk yang lebarnya dua kali lipat dari tinggi Raquela.
Suara terhenyak Raquela nyaris keluar saat dilihatnya Calvino bersandar di dinding goa tidak jauh dari pintu. Buru-buru ia menghampiri lelaki dalam balutan seragam abu-abu itu.
"Bertahanlah!" tukas Raquela seraya berusaha merobek ujung rok yang ia kenakan hari ini. Bodoh amat jika pakaiannya bau karena sudah dua hari ini dia tidak berganti pakaian, yang penting nyawa Calvino tertolong dulu.
Lebih baik lelaki itu pingsan karena mencium keringat Raquela daripada kritis tidak sadarkan akibat pendarahan, kan?
Tangan yang licin akibat keringat serta lumpur tanah yang mengenainya saat terjatuh dari pohon tadi, membuat Raquela kesusahan mengoyak kain roknya sendiri. Raquela mengedar pandang dan menemukan stalagmit semeter di dekatnya. Menuju benda alamiah yang terbentuk dalam goa itu, Raquela segera merobek ujung kain rok dengan menekannya kuat-kuat pada ujung batuan berbentuk lancip yang mengarah ke atas tersebut, dan berhasil. Setelah sebagian terkoyak, tangan kanannya merobek lebih lebar dan panjang hingga kain rok hanya menutupi sampai setengah betisnya.
"Aku akan menghentikan pendarahanmu dulu." Raquela berujar dengan suara bergetar. Tangannya tidak kalah tremor saat mencoba menarik pisau dari perut Calvino. Teriakan perih lelaki itu sungguh membuat Raquela ngilu. Kepala Raquela rasanya berputar dengan perut sedikit mual ketika tangan bergetarnya membuang pisau ke atas tanah.
Berusaha keras tetap terjaga dalam keasadaran, Raquela melilitkan kain roknya di perut kakak tiri Nacio yang penuh darah itu dengan sangat perlahan dan hati-hati. Dalam sekejap, kain putih tersebut sudah berubah warna menjadi merah gelap akibat darah yang menembus permukaan kain.
"Kau masih sanggup berjal—" Raquela terhenyak ketika tangan besar dan kasar Calvino menyapa erat-erat kulit lehernya, sampai Raquela tersedak lantaran susah bernapas. Pertanyaan batal ia lontarkan karena Calvino sudah mencekik kuat-kuat lehernha. Menatapi Raquela dengan sorot membunuh.
"Jangan kira kau bisa menipuku, rakyat Askor. Aku akan membunuhmu duluan sebelum kau membunuhku!" ucapan Calvino membuat Raquela membeliak. Ia hanya berniat menolong, kenapa malah dicurigai?
Dan lagi.. semudah itu, Calvino mengenalinya sebagai rakyat Askor?
Cukup lama keduanya berada dalam posisi saling ingin membantu dan ingin membunuh. Hingga..
"Akhh.." lenguhan kesakitan keluar di bibir Calvino. Matanya melotot karena Raquela baru saja mengetatkan lilitan kain di perutnya, membuat tangan Calvino terlepas begitu saja dari leher gadis itu.
"KAU MAU MEMBUNUHKU?!"
Raquela menghela napas. Tadi saja pria itu bersikap seolah tidak peduli jika dirinya mati. Sekarang malah ketakutan sampai menuduh Raquela ingin menghilangkan nyawanya.
"Jangan bawel dan turuti aku." perintah Raquela tegas. Kedua alis Calvino bertaut memandanginya tajam.
Begitu selesai menghentikan pendarahan untuk sementara, Raquela berusaha mengangkat tubuh Calvino dengan memasukkan tangan kanannya di celah bawah bahu lelaki itu. Ia berniat memapah. Tapi tubuh berat Calvino seolah menunjukkan lelaki itu sengaja menahan bobot tubuhnya agar tidak bisa diangkat.
Raquela menggeram. Melihat kedua tangan Calvino saling mengepal di sisi tubuh yang sudah tidak berdaya karena luka, Raquela mengajukan protes dengan wajah yang sengaja ia ganas-ganaskan.
Kapan lagi ada kesempatan menggalaki orang yang pernah membunuhnya dulu atas perintah Nacio, kan?
Sekarang waktu yang tepat membalas dendam. 'Hohohoo..' Raquela tertawa dalam hati, tapi secepat kilat menggeleng untuk mengembalikan akal sehatnya.
"Kau mau kupapah atau kuseret?" sindir Raquela, mulai kesal karena Calvino ngotot tidak mau dibantu.
Mendengar tawaran kedua, rahang Calvino mengetat. Menatapi Raquela dengan sorot yang benar-benar ingin membakar gadis itu hidup-hidup, jika saja ia tidak sedang terluka sekarang.
Calvino mendesah geram. Bisa-bisanya, beberapa saat lalu ia kehilangan fokus hanya karena Raja Joel keparat itu memanfaatkan nama adik perempuannya dan Nacio. Joel berseru seolah-olah Puteri Nagia tiba-tiba muncul di goa, padahal jelas-jelas satu-satunya puteri Raja Sceybia itu tidak ikut dalam peperangan.
Terkecohnya ia membuat Joel berhasil menancapkan pisau di perut Calvino sebanyak dua kali, lalu memukul kepala Calvino dengan batu dalam gerakan cepat sepersekian detik, hingga Calvino tidak berdaya menyelamatkan diri.
"Sepertinya kau benar-benar mau aku seret, ya. Baik-" ucapan Raquela terpotong karena Calvino dengan cepat berujar ketus.
"Kau tidak akan bisa membunuhku karena Sceybia masih memiliki pasukan yang bisa membuat seluruh organ tubuhmu menjadi makanan binatang buas."
Raquela menghela napas. Nacio dan Calvino memang benar-benar saudara. Kalau tidak bicara sarkas, tubuh dan hati mereka pasti akan merasa meriang dan kejang-kejang.
Mengumpulkan stok kesabaran banyak-banyak, Raquela membalas raut menikam Calvino dengan cengiran dan seutas senyum selebar jari. Berharap tindakannya dapat mengurangi amarah Calvino sedikit saja.
Tidak lucu juga jika Calvino benar-benar membunuhnya sekarang. Bagaimana pun meski terluka, tubuh lelaki bisa saja punya tenaga ajaib mendadak, kan, saat dilanda amarah?
"Marahnya nanti saja. Sekarang lukamu harus diobati dulu." tukas Raquela sembari menabok punggung Calvino yang langsung membuat si prajurit Angkatan Darat Sceybia itu melotot.
*
"Kerahkan pasukan Les Titans sekarang. Joel menceburkan diri ke samudera atlantik." Nacio berujar cepat pada seorang prajurit yang menyambutnya di depan pintu, sebelum berjalan dengan langkah lebar memasuki salah satu ruangan yang ada di markas prajurit Sceybia di Arkaley.
Seragamnya dipenuhi bercak darah, namun pria itu tidak berniat melepas dan mengganti pakaiannya. Bekerja sebagai prajurit militer berpangkat tinggi dalam Angkatan Udara Sceybia, membuat Nacio sudah terbiasa mencium noda darah pekat sekali pun.
Padahal beberapa tim medis perempuan yang sempat berkunjung ke markas untuk mendata para tawanan dengan kondisi tubuh buruk, dan sempat berpapasan dengannya di gerbang luar tadi, menunjukkan ekspresi seolah ingin muntah.
Nacio mendekati sebuah lemari di sudut ruangan utama, tempat berkumpulnya para prajurit Sceybia untuk membuat perencanaan taktik perang.
Lelaki itu membuka lemari berpintu empat untuk mengeluarkan sebuah kotak peluru berbahan besi, lalu meletakkannya ke atas meja di samping lemari. Dengan cekatan ia memasang Magazen berisi peluru yang baru diambil dari dalam kotak pada senapan miliknya sendiri.
Prajurit yang tadi mengikutinya kini sudah berdiri di belakang Nacio, lalu tiba-tiba berujar sesuatu yang menghentikan gerakan tangan Nacio mendorong Magazen di senapan berikutnya.
"Lapor, Jenderal! Laporan darurat! Delapan puluh persen rakyat Askor yang sudah terkumpul memilih tunduk pada kita. Lima belas persennya masih kukuh mempertahankan Isonville, Arkaley, Crowstar, dan Fairwall. Sisanya, masih dalam pencarian." Prajurit itu menjelaskan panjang lebar, tapi menciptakan kerutan di kening Nacio.
Sang prajurit bawahan menunduk, sedikit merasa cemas dengan tanggapan Nacio. Ia tahu seberapa berapinya panglima perang mereka untuk menyelesaikan misi pengembalian wilayah Sceybia dalam waktu cepat.
"Kalian belum bisa menemukannya?" tanya Nacio dingin.
"Maaf, Jenderal. Laksamana Albie baru saja mengabarkan beberapa pasukannya terjebak di perairan atlantik utara. Karena itu kita terlambat mencegah sebagian pelajar dan para imigran itu melarikan diri." Jelas prajurit itu lagi.
"Mereka menuju ke mana?"
"Tampaknya, Spanyol. Menurut perkiraan saya, seharusnya mereka sudah sampai di perbatasan Welzmir sekarang."
Nacio meletakkan senjatanya di atas meja untuk berbalik badan, menghadap prajurit kepercayaannya.
"Hector, jelaskan padaku kenapa pasukan Les Titans—"
"Nacio,"
Nacio menoleh pada seorang lelaki berambut pirang yang muncul dari pintu masuk. Melihat kedatangan pria tersebut, Hector undur diri seolah tau apa yang akan diberitakan pria itu adalah sesuatu yang penting untuk dibicarakan berdua pada Nacio.
"Blairmore rusak parah." Lelaki piranmng itu berkata cepat begitu tiba di depan Nacio. Rautnya gelisah, menyebutkan nama kapal perang utama yang pasukan ceybia gunakan dalam pertempuran kali ini.
"Ada kebakaran tiba-tiba yang meledakan amunisi cadangan kita di kapal." Pria berambut pirang itu menjelaskan lagi.
"Bagaimana bisa?" tanya Nacio tak percaya. Dia memastikan sendiri kapal itu dalam kondisi yang sangat baik ketika persiapan perang dilaksanakan tempo hari lalu.
"Penyebab kebakarannya masih aku dan tim selidiki, tapi kita tidak bisa menggunakan Blairmore sampai seminggu ke depan. Kerusakannya cukup parah, untung pasukanku berhasil dievakuasi dengan mengirimkan kapal lain.
Maaf, aku sudah lalai. Firasatku mengatakan kaki tangan Joel menghantam Blairmore dengan rudal anti-kapal. Aku akan memerintahkan pasukanku di Sceybia untuk mengirimkan Blairval sebagai gantinya. Walau tidak sebesar Blairmore, tapi itu cukup bisa mengatasi pertahanan kita sampai invasi ini selesai."
Mendengar penuturan panjang itu, Nacio mengangguk pada akhirnya. Tidak punya pilihan lain selain menyetujui pemimpin angkatan laut Sceybia itu.
"Albie, terus kabarkan padaku perkembangan Blairmore."
Pria bernama Albie itu mengangguk. "Kudengar kau berhasil menghabisi Joel? Kau temukan di mana raja lemah itu? Bisa-bisanya dia melarikan diri membawa banyak perhiasan sementara pasukannya berperang antara hidup dan mati."
Nacio melipat kedua tangannya di depan dada. "Joel menceburkan diri di samudera saat aku mengejarnya. Kau bisa mengatasi itu? Maksudku.. kau pasti butuh waktu untuk memperbaiki Blairmore."
"Aku akan menyuruh Scoot fokus pada perbaikan. Kita bisa gunakan kapal selam untuk mencari pria tua itu."
"Terima kasih. Kuharap dia belum mati, karena aku ingin melihat dia lebih lama di penjara untuk merenungi semua dosa-dosanya dulu."
Albie menatap Nacio beberapa detik. Sungguh, ia tahu jelas lelaki itu tidak ingin memborbardir seluruh rakyat Askor yang tak bersalah dengan peperangan. Tapi hanya ini jalan satu-satunya mendapatkan kembali wilayah mereka yang dirampas Kerajaan Askor.
Lagipula, Joel yang terlalu serakah karena tak mau mengakui kesalahan dan tak mau diajak berdamai dengan menyerahkan wilayah secara cuma-cuma.
Dan lagi, mengingat betapa buruknya pemerintahan Askor di bawah kepemimpinan Joel, rasanya rakyat Askor itu berhak mendapatkan penghidupan yang lebih layak di bawah Kerajaan Sceybia. Itulah ya g menjadi dasar mengapa Nacio akhirnya menerima permintaan ayahnya itu. Sekali pun dia harus bekerja sama dengan Calvino.
"Ngomong-ngomong tentang Raja Askor itu, kau tau Calvino terluka saat mencoba menyerang Joel yang hendak kabur? Ia berusaha menghabisi Joel, tapi Joel berhasil kabur."
Albie terseyum tipis saat melihat tangan kanan Nacio mengepal, padahal wajahnya diatur begitu datar. Seolah ingin menunjukkan ketidakpedulian pada saudara tirinya sendiri.
"Dalam perjalanan ke sini, aku melihatnya dipapah seorang gadis ke markas. Lukanya cukup parah, ia tertusuk pisau gara-gara raja sialan itu. Tim medis kita sudah membawanya ke rumah sakit."
"Ooh." tanggap Nacio pendek.
"Tapi, aku penasaran siapa gadis itu." Albie menyeletuk lagi, berusaha mencairkan suasana yang entah kenapa mendadak diliputi hening.
"Sepertinya dia tawanan kita. Aku tidak pernah melihat dia dalam tim medis Sceybia yang kebanyakan wanita. Aah, beruntung sekali kakakmu itu.. baru datang ke Askor, sudah ditolong wanita cantik. "
"Nyawanya terancam, kau malah bilang dia beruntung?" sindir Nacio.
"Ah, kau mengkhawatirkannya?"
Melihat senyum tipis Albie, Nacio mendengus dan membuang muka. Pemandangan musim gugur dari balik jendela besar di sebelah kanannya jauh lebih bermanfaat untuk ia perhatikan.
"Bergegaslah temukan Joel, daripada kau di sini hanya untuk mengeluarkan omong kosong." Ketus Nacio, membuat Albie pada akhirnya mengangkat tangan. Ia menyerah membuat sahabatnya itu sadar, bahwa masih ada rasa sayang sebagai saudara di hati Nacio untuk kakak lelakinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro