[6] Double Shit!
"Aku pilih lelaki tampan itu."
Raquela menghela napas. Ujung jari telunjuk dan jempolnya saling mengetuk, terus berulang sejak semenit lalu. Kaki kirinya yang terlipat di bawah kaki kanan, dengan posisi duduk di atas lantai pada sudut ruangan, tidak henti digoyangkannya karena kesal.
Lama-lama jika terus mendengarkan pembicaraan orang-orang Askor yang tampak mulai berpihak pada Nacio—sepeninggal lelaki itu entah ke mana, kupingnya bisa meledak karena panas.
"Jangan memilih dari tampangnya!"
Raquela mengangguk-angguk dengan mata terpejam, menyetujui. Padahal tidak ada yang sedang berbicara padanya. Para pelaku yang tengah bermusyawarah itu duduk berkumpul setengah meter dari Raquela yang kini juga duduk bersama Laura.
Kalau ingat saat Laura menghampirinya tadi, rasanya Raquela bisa gila!
Perginya Nacio ternyata membawa malapetaka bagi Raquela. Laura yang masih geram pada pria itu, langsung menyeret paksa Raquela untuk duduk di dekatnya dan menjadi sarana pembuangan curhatan kesal gadis itu.
Meski sempat merasa aneh hingga mulutnya setengah menganga saat Laura bersikap selayaknya sahabat, tapi Raquela dengan cepat sadar bahwa Laura di masa sekarang tidak pernah tahu apa yang telah diperbuatnya di masa depan. Membunuh sahabatnya sendiri karena keegoisan.
Raquela tidak henti memanjatkan syukur ketika Laura mulai jenuh bicara dan akhirnya memilih diam. Pemandangan penduduk Askor lain yang berhasil diringkus lebih menarik minatnya. Mungkin itu dapat dijadikan alasan untuk kembali memaki Nacio dalam hati.
"Bukan dari tampangnya," Ibu-ibu yang semula memuji Nacio kembali bicara, menyanggah pendapat temannya tadi. "meski dia memang jauh lebih tampan dari suamiku sendiri, sih." lanjutnya lagi.
Raquela meringis. Rasanya ingin sekali mengetuk wanita itu dengan gayung karena lagi-lagi perkataannya tak pernah jauh-jauh dari pujian untuk sang Pangeran Sceybia.
"Tapi setelah kupikir-pikir lagi, kata-kata pria itu benar juga. Untuk apa kita bertahan tetap dipimpin oleh penguasa diktator seperti Raja Joel? Dia dan ayahnya sejak dulu sudah banyak menyengsarakan kita." Tidak menyerah, wanita beralis tipis yang sempat Raquela perhatikan itu mengeluh sewot penuh semangat.
"Aku dan keluargaku bekerja dari pagi sampai malam di perkebunan hanya untuk membuatnya kaya, tapi kami di beri upah jauh dari jumlah cukup. Suamiku sakit bahkan dipaksa tetap bekerja!" Keluhnya lagi.
"Benar. Aku sudah lama memimpikan saat-saat ini. Saat di mana Raja Joel kalah telak dan hancur lebur tak bersisa!" Kali ini, seorang pria paruh baya menyahut penuh dendam. Semua orang itu saling berbisik agar tidak kedengaran lima prajurit yang berjaga ketat di pintu masuk dan kini sedang menginterogasi para tawanan baru.
"Kau tau dari mana dia sudah hancur lebur? Dia saja kabur meninggalkan pasukannya!" si wanita pemuja Nacio kembali protes. "Benar-benar raja lemah dia itu! Istri dan simpanannya saja yang banyak! Awas kalau ketemu, kutendang juga selangkangannya!"
Raquela melotot. Tidak bisa membayangkan adegan tersebut.
"Jangan keras-keras! Kalau dia sembunyi di sekitar sini, dia bisa membunuhmu." Wanita lainnya menanggapi. Suaranya bersarat cemas.
"Mereka terus berjaga seketat itu di sana, kucing saja takut lewat. Tidak mungkin lelaki tua itu berani ke sini! Dia, kan, tidak bisa apa-apa tanpa tentaranya!" tukas si pemuja Nacio lagi.
"Ngomong-ngomong pangeran tadi, dia ahli sekali menggunakan senjata, lho!" Lelaki lainnya ikut masuk dalam pembicaraan yang penuh kobaran amarah. "Sekali tembak tepat sasaran! Aku melihatnya langsung saat aku diseret ke sini tadi. Banyak pasukan Askor yang terluka. Sebagian bahkan menyerah karena takut benar-benar dibunuh olehnya."
Raquela menggigit bibir, kedua tangannya mengepal di atas paha. Gelisah. Ingin sekali ia robohkan pilar-pilar gedung ini setiap kali mendengar sanjungan berlebihan untuk Nacio. Kalau saja mereka tahu apa yang si pemuda budak cinta itu lakukan terhadapnya, pasti mereka bersedia ikut gabung bersama Raquel. Berkumpul membentuk segelintir orang yang bercita-cita menjambaki Nacio sampai plontos.
"Aku benci sekali dengan lelaki tadi, Raa." Raquela terkesiap ketika suara Laura tiba-tiba berada dekat sekali dengan telinganya. Ia menoleh dan nyaris menahan napas, mendapati Laura sudah mempersempit jarak duduk di antara mereka. Gadis itu tampaknya ingin bercerita lebih panjang.
Raquela berdeham untuk menghilangkan kegugupan—sebenarnya untuk menahan diri tidak mendorong jauh-jauh dahi Laura yang kini sedang menatapinya.
"Huh? Si—siapa?" tanya Raquela, pura-pura tidak paham.
"Si pangeran sialan itu! Aku tidak percaya kata-katanya. Dia pasti hanya menipu kita. Rakyat kita terlalu mudah diperdaya."
Raquela berusaha keras memutar otak. Jangan sampai ia salah bicara. Lalu dengan sok bijaknya ia bicara sembari menepuk-nepuk pelan bahu Laura. "Cobalah percaya sekali ini saja."
"Kau membelanya?"
Raquela melongo, berdeham sesaat, lalu cepat-cepat menarik tangannya sebelum Laura punya pikiran mematahkan organ tubuhnya itu.
"Bu—bukan begitu. Setidaknya.." Jantung Raquela bertalu-talu cemas. "kau bisa berharap ada kemungkinan penelitianmu akan diberikan investasi oleh Kerajaan Sceybia, kan? Begitu pun aku, aku berharap bisa dibuatkan toko roti."
'ALASAN APAH ITU, RAQUEEEL?'
Raquela memutar bola mata, tidak percaya dengan ucapannya sendiri.
Tidak ada jawaban. Saat Raquela menoleh khawatir, dilihatnya Laura termenung dengan memeluk kakinya yang saling tertekuk.
"Entahlah.." imbuh Laura lirih. "aku hanya punya firasat.. tidak akan semudah itu rakyat Sceybia mau berbaur dengan rakyat dari negeri musuh mereka sendiri."
Itu benar. Tapi seharusnya Laura bisa tenang, kan, jika tahu penduduk Sceybia justru mengelu-elukannya yang di kemudian hari akan dekat dengan Nacio, sementara mereka menjatuhkan beragam sumpah serapah untuk Raquela?
Mengamati raut wajah Laura yang diliputi cemas, Raquela menghela napas samar. Entah kenapa, rasanya sulit memercayai apa pun ekspresi gadis itu lagi. Dan sebenarnya, dendam apa yang Laura punya sampai ia benar-benar membenci Nacio dan keluarganya?
*
"Kau baru bisa menemuinya setelah perang ini selesai."
"APA?"
Lima pasang mata itu menatap tajam Raquela yang baru saja berteriak tanpa sadar.
"Berhenti memberontak jika tidak ingin kepalamu disarangi peluru, Nona." Pria yang tadi membawanya ke gedung ini bicara dengan gigi bergemeletuk. Kata-katanya benar-benar sarkas, membuat Raquela meradang.
"Kapan kalian akan menghentikan serangan ini? Demi Tuhan, aku hanya butuh menemui bibiku. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Pinta Raquela untuk kesekian kali. Ini sudah hari kedua dan Raquela benar-benar tidak tenang dengan keadaan Bibi Ruth. Jika di masa lampau, Raquela pasrah saja saat prajurit Sceybia tidak mengizinkannya bertemu sang bibi sama sekali, kali ini tidak bisa. Raquela harus membuat Bibi Ruth tidak diangkat sebagai budak oleh Earl Philip, bangsawan Sceybia yang terkenal kejam. Sekararang, ia bertekad untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
"Jika kau berani, kau bisa menanyakannya langsung pada Panglima kami."
"Baiklah, aku akan menemuinya. Boleh aku tau di mana dia?"
"Malam ini beliau akan memantau ke sini sekali lagi. Kau bisa langsung bertanya pada Pangeran Nacio."
"Baiklah, terima kas—" Raquela melotot. "SIAPA?" tanyanya terkejut. Saking begitu semangat bisa berjumpa dengan Bibi Ruth, dia lupa fakta bahwa Naciolah pemimpin perang kali ini. Sama seperti di kehidupan lalu.
Raquela menelan ludah, sebelum tertawa paksa sambil berkata pada pria kekar berseragam biru di hadapannya. Tak hanya pria itu, prajurit pengawas ruangan yang lain juga ikut menodongkan senjata ke arah Raquela.
"To—tolong turunkan senjata kalian, aku hanya terlalu bersemangat karena mendengar pemuda tampan itu akan datang."
"Beraninya kau menyebut Pangeran kami tanpa gelar?!" Hardik si prajurit kekar.
Ingin sekali Raquela menepuk jidat. 'Ya Tuhan, salah lagi!' pekiknya dalam hati.
"Saking gugupnya untuk bertemu Pangeran Nacio, a—aku salah bicara. Maaf." Melihat reaksi para prajurit itu melunak karena kini mereka mulai menurunkan senjata, Raquela menghela napas lemah. "Ka—kalau begitu, aku akan menunggu Pangeran Nacio untuk menanyakan hal tadi, ya." ujar Raquela tersenyum lebar, sebelum berbalik badan dan napasnya tertahan kembali.
"Kau ingin menanyakan apa padaku?" Nacio berdiri tepat beberapa senti di hadapannya. Pria itu sedang membuka sarung tangan seragamnya yang penuh bercak darah dan memberikan benda itu pada prajurit di belakang dia. Begitu selesai mengganti sarung tangan baru yang diberikan asisten prajurit tadi, Nacio mengangkat wajah kembali. Kedua netra hijaunya berpaku pada netra cokelat bening Raquela yang langsung mengedip begitu kesadaran penuh menghampiri
Dalam sekali gerak cepat, Raquela membalik tubuh ke posisi semula.
"Bo—bolehkah aku ke toilet dulu?" Terbata, Raquela bertanya pada prajurit yang sebelumnya bicara pada dia. Semangat yang tadi sempat memuncak, pada akhirnya merosot dan anjlok hanya dengan melihat wujud Nacio yang begitu dekat barusan.
Tidak, tidak. Raquela belum siap berhadapan lagi, bahkan terlibat komunikasi apa pun kembali.. dengan orang yang pernah memerintahkan Calvino untuk membunuhnya.
*
"Ke mana perempuan itu?! Benar-benar merepotkan sekali!"
"Sialan! Kabur ke mana dia?!"
"Terus cari! Dia tidak akan bisa kabur jauh dari sini."
Raquela mengedip-ngedip karena matanya kemasukan daun dari batang pohon oak yang tak begitu tinggi. Tidak sia-sia ia lari saat perjalanan ke toilet tadi. Keahlian memanjat pohonnya juga bisa digunakan dengan baik di saat tepat begini.
Dua orang yang tadi Nacio tugaskan untuk mengawasinya pergi ke kamar mandi, kelimpungan mencarinya sekarang. Raquela sendiri tidak menyangka mengapa ia bisa senekat ini sampai berhasil menghindari peluru yang di lesakkan berkali-kali padanya tadi. Ia cukup bangga dengan prestasi itu.
Ketenangan Raquela tak bertahan lama. Terpaan angin berhembus cukup kencang sampai-sampai ranting bergoyang. Raquela mengeratkan pegangan tangannya di salah satu dahan yang ada di atas kepala, sedang dirinya sendiri duduk di dahan bawah. Sayangnya, karena keseimbangan yang hilang, tangannya tidak bisa menggamit dengan benar lalu tubuhnya terperosok jatuh dalam kecepatan yang menakjubkan.
"AAA!" Raquela tak tahu, teriakannya karena jatuh menimpa tanah yang cukup lembab membuat kedua prajurit tadi terperanjat kaget. Tak perlu menunggu waktu lama untuk memastikan apa yang jatuh, keduanya sudah lari terbirit-birit sambil berteriak 'hantu' menuju gedung markas kembali. Meninggalkan Raquela yang melongo heran melihat kejadian tersebut.
Gadis itu berdecak setelah berhasil bangkit berdiri dan menyapu-nyapu wajah serta tangannya yang kotor karena lembabnya tanah.
"Menembak kepala orang saja yang berani. Lihat hantu lari.." kekeh Raquela mencibir, bergeleng-geleng tidak habis pikir.
Setelah meyakinkan diri tubuhnya sudah lebih bersih, ia bergegas jalan untuk menuju rumah sakit yang diketahuinya sebagai pusat medis pasukan Sceybia. Entah bagaimana bisa mereka menjadikan rumah sakit di Arkaley itu sebagai tempat perawatan para tawanan. Raquela tidak mau berpikir keras, karena dia harus bergegas melihat keadaan Bibi Rutu lebih dulu.
"Raquela, di kehidupan dulu dan sekarang, kau tetap saja ceroboh sampai bisa jatuh dari pohon." gerutu Raquela pada diri sendiri. Ia memandang ke arah jalan yang dipenuhi lampu paling terang.
"Semoga kali ini kau juga tidak buta arah." harapnya.
*
Sayangnya.. dia tersesat. Malah nyasar ke daerah penuh pohon dan semak belukar. Di sampingnya, bahkan ada goa yang tidak pernah Raquela kenal sebelumnya.
SREK! SREK!
Raquela bergidik dan spontan menghentikan langkah. "Suara apa itu?" tanyanya pada diri sendiri. Suasana malam hari di luar memang tidak baik bagi kesehatan jantung. Raquela gemetaran saat langkahnya terpaksa ia lanjutkan, dalam hati berdoa semoga suara barusan hanya berasal dari hewan kecil yang kebetulan lewat di semak-semak.
"Argh.."
Tubuh Raquela menegang. Matanya berkedip sekali hanya untuk mengolah dugaan-dugaan tentang apakah dirinya terkena karma karena sudah membuat para prajurit tadi lari ketakutan?
"Arggh!" Suara itu terdengar lebih keras. Memancing rasa penasaran yang bercampur takut pada Raquela.
'I..itu suara manusia.. atau..' Raquela menggaruk kepala. Bingung. Haruskah dia pergi? Tapi kakinya serasa berat sekali untuk digerakkan.
Belum sempat Raquela berpikir, dari balik pintu goa yang tidak terlalu besar keluar makhluk yang langsung membuat Raquela jatuh terduduk saking terkejut. Bukan hanya kaget karena tubuh makhluk itu dipenuhi darah dengan sebilah pisau menancap di lengannya, Raquela juga lebih tercengang lantaran makhluk itu adalah manusia dalam wujud Calvino.
Ketika tatapannya dan Calvino bertemu, napas gadis itu tertahan dengan bola mata yang bisa saja akan keluar dari rongga, lalu menggelinding di tanah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro