Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[5] Pemeran Pembantu

"Cepat jalan!"

Raquela nyaris melotot karena bahunya terus-terusan di dorong.

"Aku bisa jalan sendiri," ketusnya dengan dahi mengkerut.

Mungkin karena merasakan kejadian serupa untuk yang kedua kali, tidak ada rasa takut lagi dalam diri Raquela. Ia yakin, cepat atau lambat dirinya tetap akan menjadi tawanan prajurit Sceybia yang menyebalkan.

Tentu saja menyebalkan, bagaimana bisa mereka memisahkan Bibi Ruth dan Raquela hanya karena bibinya harus ditangani oleh tim medis pasukan mereka. Sialnya, Raquela dilarang menjadi pengganggu di sana. Hey! Memangnya dia datang-datang mau mengadakan konser di rumah sakit?!

Memikirkan itu lagi, kepala Raquela berdenyut-denyut kembali. Pusing. Sudahlah tiba-tiba perut keroncongannya tak tahu kondisi, sekarang ia pun harus melangkah paksa ke dalam gedung yang Raquela kenali sebagai gedung teater terbesar di Arkaley. Orang-orang berseragam yang ingin sekali Raquela tendang pangkal pahanya itu terus-menerus menyebut gedung ini sebagai 'markas'.

Dari dulu, Raquela tetap saja tidak paham taktik apa yang Nacio gunakan dalam mengumpulkan seluruh rakyat Askor saat perang ini. Alih-alih gedung di ibu kota yang jauh lebih luas, pria itu menetapkan lokasi penawanan di gedung-gedung yang ada pada kota kecil, Arkaley salah satunya.

Tentu saja hal itu penting Raquela ingat, karena memori saat ia pernah menanyakan kebingungan tersebut pada Nacio di masa lampau tak akan pernah hilang. Sebab, Nacio sampai menyebutnya bodoh karena sudah dua kali dijelaskan tentang taktik perencanaan perang, Raquela masih menggeleng tidak paham juga.

Raquela mendesah panjang. Ingatan komunikasi bersama Nacio itu memang tak romantis, tapi Raquela menyukainya itu. Dulu. DULU!

Sekarang, kalau bertemu pria itu lagi ingin sekali Raquela menjambakinya sampai botak! Gara-gara perintah dia yang buta cinta pada Laura, Raquela dibunuh oleh kakak tirinya, Calvino.

Tapi.. Raquela tak memungkiri betapa bahagianya ia saat itu. Saat masih bisa berteman sekedarnya dengan Nacio. Setidaknya ia pernah berhasil mendapatkan perhatian lelaki itu, walau sesaat. Setelah Laura datang ketika mereka berdua sedang bertengkar, wajah berseri-seri Nacio hanya tertuju pada Laura.

"Kalian pikir bisa mengusir kami dari tanah kelahiran kami sendiri?!"

Tubuh Raquela menegang. Satu kakinya sudah melangkahi pintu di ujung koridor gedung—arah yang dituntun oleh prajurit di belakangnya.

Suara yang sangat dikenalinya barusan terdengar lagi. Dipenuhi amarah. "Itu tidak akan terjadi!"

LAURA?!

Raquela menggigit bibir kuat-kuat. Serta-merta darah dalam tubuhnya mendidih melihat pemandangan di tengah ruangan. Matanya memanas. Mungkin tubuhnya akan jatuh meluruh ke lantai jika saja satu tangannya tak memegang sisi kayu pintu.

Untuk pertama kali setelah terbangun, Raquela bertemu lagi dengan perempuan yang di detik terakhir hidupnya menjadi orang yang paling ia benci.

"Lekas masuk!" Raquela tersentak saat bahunya didorong keras oleh moncong senapan. Pria berotot yang mengekorinya terus sejak tadi memaksanya lanjut melangkah. "Masuk!" perintahnya lebih keras.

Berusaha menguasai diri agar tetap tenang, Raquela menelan salivanya saat ia melangkah lagi semakin ke dalam. Terus. Mendekati sekumpulan orang-orang yang Raquela tahu betul merupakan penduduk Askor—entah hanya Arkaley saja, atau campuran dari kota lainnya. Mereka terlihat benar-benar menyedihkan.

Di depan orang-orang yang tampak sedang menggencarkan aksi perlawanan, Laura berdiri dengan tangguhnya untuk berbicara pada salah satu prajurit Sceybia yang terlibat argumen dengannya.

"Benar! Jika musuh kalian adalah Raja Joel, maka habisi saja dia dan keluarganya! Jangan rebut negeri kami juga!" salah satu penduduk Askor berseru mendukung Laura. Kemudian, sorak sorai seruan lainnya terdengar.

"Benar!"

"Benar!"

"Lepaskan kami!"

"Jangan ambil wilayah ini!"

"Kami bukan budak kalian!"

"Kalian dengar, kan?!" Laura mengangkat dagu tinggi-tinggi. Bahasa tubuhnya dipenuhi sejuta keberanian, seolah tak gentar pada senjata api para prajurit yang siap sedia menghancurkan tubuh dan mulutnya menjadi beberapa bagian potongan.

"Sampai kapan pun, kami tidak akan menye—" ucapan Laura terpotong. Tak hanya pendukungnya yang menahan napas, tapi Raquela juga merasa saluran napasnya tercekat biji salak ketika dahi Laura diarahkan senapan yang siap membidik.

"Sudah kukatakan jangan memberontak, Nona Sialan!" si prajurit mengumpat. Prajurit bertubuh lebih kurus di belakangnya segera menahan lengan sang teman yang kelihatan luar biasa kesal dengan pembangkangan Laura. Kesal itu seolah beralih jadi amarah saat tangan kirinya bersiap menarik pelatuk senapan yang sungguh... tidak membuat Laura mengedip takut sedikit pun.

Setangguh dan sehebat itulah Laura. Satu sifat yang dulu sering Raquela iri dan banggakan dari sahabatnya. Laura tak pernah takut dan malu membela Raquela yang dirudung orang, Laura selalu ada di saat-saat sedih Raquela, Laura ada... bahkan di detik terakhir leher Raquela ditebas.

Menekan perihnya pengkhianatan yang menyeruak dada, Raquela masuk ke celah-celah kerumunan penduduk Askor di sebelah barat yang hanya memutuskan diam. Tidak berani melawan, tapi pasti juga berharap diberi kebebasan. Begitu pun Raquela. Ia ingin kabur. Laura lebih mengerikan dari senjata-senjata itu.

"Turunkan senjatamu, Carter." Perintah tegas itu memancing perhatian seluruh orang di ruangan. Semua mata memandangi seorang pria bertubuh tinggi dan tegap yang melangkah lebar dengan pedang di tangan kanannya, sedang bahunya menggendong senapan berukuran lebih besar dari senjata para prajurit lain. Dari pintu masuk ia berjalan menuju Laura yang kini sudah dijauhkan dari senapan. Rambut cokelat pendeknya tampak diterpa sinar matahari yang menembus ventilasi gedung.

Semua di sekitar Raquela mendadak hening. Entah detik keberapa, sunyi berganti dengan telinganya berdenging. Tidak bisa mendengar apa yang Nacio bicarakan dengan prajurit tadi. Saat pendengarannya membaik, sayup-sayup suara Laura terdengar.

"Langkahi dulu mayat kami jika kalian mau mengambil alih Askor!" bentak Laura.

"Separuh wilayah Askor adalah daratan Sceybia yang dicuri oleh Rajamu, Nona. Termasuk Arkaley. Tentu kami harus mengambil milik kami kembali." Jawab Nacio, memandnagi Laura yang dipenuhi gelegak amarah. Seperti dulu, jawaban lelaki itu selalu terdengar tenang namun tegas. Khas seorang panglima perang.

"Kau!"

Melihat Laura yang beraninya mengacungkan satu telunjuk beberapa senti di depan wajah Nacio, prajurit musuh Laura tadi kembali mengangkat senjata dan mengarahkannya pada Laura.

"Bicara yang sopan pada Pangeran kami!"

"Pangeran kalian, kan?! Bukan Pangeran Askor!" tantang Laura, berdecih sekali. Membuat raut para prajurit tampak berang. Tapi, Nacio tidak. Dia menatap lurus perempuan berambut hitam sepunggung di hadapannya.

"Wanita kurang ajar!"

"Cukup, Carter. Aku bilang letakkan senjatamu."

Patuh, prajurit itu mengikuti perintah dengan wajah tanpa ikhlas.

"Kalian tidak tahu seberapa keras usaha kami mensejahterakan Askor! Seharusnya kalian bisa menggunakan sedikit saja nurani.." suara Laura tertahan sedikit isak. "untuk tidak menyerang orang-orang tak bersalah yang sejak awal hidup sudah berjuang demi negeri ini!" lanjut Laura lagi.

Entahlah, Raquela tidak yakin sikap Laura itu kejujuran atau bukan. Dari apa yang Laura katakan di Menara kala itu, jelas-jelas Laura sudah mengatur siasat untuk menghancurkan Nacio dan keluarganya sejak lama, kan?

"Kami sudah mengirimkan peringatan dini sebelum menginvasi seluruh wilayah Askor. Sudah kami siapkan juga wilayah di Sceybia untuk kalian berlindung selama kami melawan Raja tirani kalian dan pasukannya. Bukankah kalian juga membenci Raja Joel karena ia menyengsarakan rakyat Askor?" ucapan Nacio tepat sasaran.

Netra Nacio mengitari gedung, membuat Raquela terkesiap dan segera bersembunyi di balik bahu orang-orang untuk menghindari tatapan lelaki itu. Sebelum Raquela selesai berdoa agar Tuhan membiarkannya hilang sebentar saja, tiba-tiba Nacio berseru lantang.

"Semuanya dengar baik-baik! Aku, Pangeran Nacio dari Kerajaan Sceybia, berjanji tidak akan mengusir kalian dari tempat kalian tinggal sama sekali! Kami hanya mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milik kami! Merebut kembali harta kami yang Raja kalian rampas dengan mengorbankan banyak darah penduduk Sceybia!

Kami juga tidak akan mencelakakan seluruh rakyat Askor yang tak bersalah, kecuali mereka yang terlibat dalam penyerangan dahulu! Kami hanya butuh kerja sama kalian! Selama kalian menurut dan tidak memberontak, aku berjanji menjadikan kalian bagian dari rakyat Sceybia! Kalian akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih layak di bawah kepemimpinan kerajaan kami!"

Bisik-bisik mulai gaduh terdengar. Laura bahkan terkejut dengan tindakan Nacio. Beberapa penduduk Askor di dekat Raquela pun saling berebut menggumam, entah ingin membenarkan perkataan Nacio atau tetap teguh menolak tawaran dari putera pemimpin Kerajaan Sceybia itu.

"Bagaimana kami bisa mempercayaimu?" pertanyaan sinis Laura yang tiba-tiba, mencipta senyum tipis di bibir Nacio.

"Jika aku melanggar janji, kalian boleh membunuhku dengan tangan kalian sendiri."

Raquela menghela napas ketika melihat lebih jelas bagaimana kedua orang itu saling bertatapan. Keduanya tampak seperti tokoh utama dari sebuah cerita mau pun legenda. Yang interaksinya tentu saja menarik perhatian semua orang, dan terbukti itulah yang terjadi sekarang.

Tapi, tidak apa.

Raquela sudah mendapat kesempatan mengulang waktu saja sudah cukup. Ia masih ingin hidup lebih lama. Karena itu, dirinya harus berubah. Harus menjadi seseorang yang tidak bermulut pedas lagi seperti dulu. Mulai sekarang, sebisa mungkin dirinya harus memperkecil keterlibatan bersama Nacio, Laura, bahkan Calvino—sang algojo. Raquela tahu, ia tidak boleh menghindar demi membuat pembunuhan Raja Lucian tidak terjadi.

Mungkin bisa saja ia pergi ke mana pun, agar tidak bertemu tiga orang itu lagi. Tapi bagaimana jika Laura dan pamannya Nacio tetap membunuh ayah Nacio? Penyesalan pasti akan sangat membebani Rinjani, karena itu menyangkut nyawa.

Bertindak terang-terangan membenci Laura pun rasanya tidak mungkin Raquela lakukan. Laura pasti bertanya-tanya dari mana Raquela tahu, belum lagi gadis itu bisa saja lebih cepat menghabisi nyawa Raquela.

Semua terasa serba salah.

Selain itu, ada satu hal yang sebenarnya begitu ia sesali, ia benci, namun perasaannya benar-benar tidak mampu memungkiri. Walau hatinya masih sakit atas perbuatan Nacio padanya dulu, tapi kali ini...

Raquela berjanji tidak akan bersedih seperti dulu lagi. Lalu, masalah percintaannya dengan Laura?

Menekan amarah kuat-kuat, Raquela mengangguk kecil, menyetujui isi pemikiran yang sekarang terlintas di benaknya.

Meski ia benci Laura, tapi Raquela harus bisa berusaha membuat Laura tidak lagi menaruh dendam pada keluarga Nacio. Ia yakin, sisi baik Laura masih ada dan hanya perlu dipupuk lagi. Ia akan tetap baik pada Laura, hanya saja dirinya tidak akan serta merta bisa terperdaya oleh setiap kata wanita itu. Bagaimana pun, Raquela harus berhati-hati untuk mempertahankan diri.

Biarkan untuk kali ini, Raquela jadi pemeran pembantu yang bisa mendamaikan ketiga tokoh tadi. Dengan begitu, Raquela tidak akan kembali dibunuh.

Tersenyum bangga dengan pemikirannya sendiri, Raquela berbalik hendak meminta sepotong roti atau apa pun yang bisa menghentikan demo-demo cacing miskinnya. Siapa tahu, kan, ada prajurit Sceybia yang cukup baik hati memberikan.

Sialnya, langkahnya terhenti kala matanya mendapati sosok Calvino berdiri tepat beberapa meter di belakangnya. Bersandar di pinggir jendela dengan tangan terlipat di dada, pandangannya seolah memperhatikan interaksi Nacio dan Laura.

Raquela mengumpat dalam hati ketika iris abu-abu Calvino sedetik menyapa matanya.

Buru-buru ia membalik badan lagi, dan meringis.

Ya Tuhan, baru saja aku berdoa..

Kenapa Calvino benar-benar muncul sekaraang?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro