Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[33] Hukum Alam

Hay, Arslovers!

Sorry baru muncul lagi. Karena satu dan dua proyek yang lagi kukerjain, jadi aku gak sempet lanjutin TTKR kemarin2. Terima kasih untuk kalian yang masih menanti Raquela dan ayang2nya (eh?)

Jangan lupa vote dan komen, ya. Biar aku juga makin semangat nulis.

Eropa, Sceybia, 1919

Hangatnya sinar mentari yang membiasi wajah Nacio, sama sekali tak mampu menarik ujung-ujung bibirnya untuk terkembang lebar—sebagaimana  ekspresi wajah yang Calvino tampilkan sekarang. Senyuman sang kakak tak kunjung surut sepanjang ia mengoper bola ke sana ke mari bersama teman-temannya di lapangan bukit belakang yang tampak langsung dari jendela setinggi dua meter di kamar Nacio.

Menghela napas, Nacio mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Pemandangan hangat Calvino bersama teman-teman sekolahnya yang hari ini diundang ke istana entah dalam rangka apa oleh Ratu, semakin mengoyak luka tak kasamata yang tak tahu sejak kapan terbentang memisahkan Nacio dan Calvino.

Sudah berbulan-bulan. Calvino yang ramah menghilang.

Satu-satunya kakak lelaki yang Nacio punya, yang siap sedia menjawab pertanyaan memusingkannya yang penuh ingin tahu.

Calvino yang tak jera mendengarkan curhatan Nacio selelah apa pun ia, Calvino yang diam saja dihina tapi akan bereaksi melindungi ketika adiknya diserang. Semua sifat Calvino yang selalu Nacio banggakan itu.. kini lenyap tak bersisa.

Nacio sudah bertanya apa salahnya, berulang-ulang, tanpa lelah, tapi diamnya Calvino adalah jawaban.

Entah sejak kapan sunyi menjadi kata yang pantas menggambarkan hubungan mereka. Senyum sang kakak tak pernah tertuju lagi untuknya. Bahkan untuk sekadar membalas senyuman yang Nacio ciptakan lebih dulu, Calvino tak bersedia menyambut.

*

Eropa, Sceybia, 1919

"Tuan istirahat saja."

Nacio menggeleng lemah, sebagai respon atas perintah Ashley ketika wanita paruh baya itu membantunya menutupi tubuh dengan selimut tebal hingga sebatas leher.

Nacio membuka mulut untuk menyatakan keengganan, tapi batuk yang membuat dadanya sesak menunda ucapan dari bibirnya.

"Tapi," Susah payah, ia mengeluarkan suara di sela batuk. "Aku ingin bertemu Kak Calvino, Bi.." pintanya, membuat Ashley tertegun sesaat.

Senyum tipis wanita itu kemudian memperkaya rasa gelisah yang sekembalinya dari rumah sakit, terus menggerogoti hati Nacio saat ia tidak menemukan Calvino di mana pun.

"Maaf, Yang Mulia. Tapi, Pangeran Calvino sudah masuk ke kamarnya setelah makan malam tadi."

Jadi, Calvino menghindarinya? Lagi?

"Mungkin sekarang.. Pangeran Calvino juga sudah berisitirahat." Ashley mengusap bahu pangeran kecil yang sejak lahir diasuhnya itu, berniat menenangkan untuk menghilangkan gurat cemas dari dahi Nacio yang kini mengerut dalam.

"Jadi, lebih baik Pangeran Nacio segera tidur juga, ya. Supaya bisa segera sembuh."

Nacio menghela napas. Tertunduk. Sudah ia duga, pada akhirnya tak ada siapa pun yang bisa membantunya bertemu dengan sang kakak.

Meski tak rela, lelaki kecil itu akhirnya mengangguk saja, berbaring sepenuhnya di atas ranjang, dan membiarkan Ashley mematikan lampu kamar.

"Bibi.." Suara lirih Nacio menghentikan langkah Ashley yang baru akan mencapai pintu. Pelayan istana itu berbalik menghadap Nacio kembali, menanti lanjutan ucapan sang Pangeran yang wajahnya tampak samar di bawah terpaan cahaya bulan.

"Ya, Yang Mulia?"

"Apa Kak Calvino tahu bahwa kemarin aku hampir jatuh di jurang?"

Kesekian kalinya, Ashley tertegun. Sebenarnya, selama satu bulan terakhir ia sering kelimpungan menjawab pertanyaan Nacio tentang Calvino. Ketidakakraban kedua saudara itu sudah menjadi desas-desus yang berkeliaran di tiap sudut istana, terutama di antara para pelayan.

Meski Ashley menjadi salah satu orang yang sangat penasaran, mengapa dua orang yang sebelumnya bagaikan dua raga satu jiwa, kini saling berdiri di utara dan selatan—tak akan bertemu pada satu titik yang sama, tapi Ashley sadar diri untuk tidak lancang bertanya.

"Bibi?" suara Nacio menyentaknya lagi, membuatnya gelagapan dalam diam. Lelaki kecil di hadapan Ashley itu tampak gundah, mungkin cemas pertanyaannya tak kunjung dijawab.

"Beliau tahu, kok. Ratu Tamara sudah memberitahu Pangeran Calvino saat makan malam tadi."

Bara semangat di mata Nacio memudar, berganti dengan kecewa. Jawaban Ashley seperti jarum yang menusuk di luka yang sama.

"Apa dia menanyakan kondisiku?"

"Tentu."

Terbitnya senyum Nacio menular pada Ashley. "Ratu Tamara juga sudah menjelaskan bahwa Pangeran Nacio telah dibawa ke rumah sakit dan diobati, lalu sekarang harus banyak-banyak istirahat."

"Lalu.. apa dia tetap tidak ingin menemuiku, Bi?" Tanya itu mencipta diamnya Ashley untuk beberapa detik.

"Apa Kak Calvino masih marah, ya? Apa aku berbuat salah padanya? Tapi, apa? Apa salahku?"

Ashley mengerjap, menghalau cepat air matanya yang dirasa timbul di sudut mata. Lirihan Nacio yang terus meracau tanya pada dirinya sendiri, benar-benar membuat perasaan Ashley ikut tersakiti.

"Yang Mulia, ayo segera istirahat. Nanti Ratu Tamara bisa sedih jika Pangeran tidak mau menuruti perintahnya."

Pada akhirnya, Ashley hanya mampu mengalihkan pembicaraan sebelum berlalu keluar malam itu. Meninggalkan Nacio yang terus memikirkan sejuta tanya akan kesalahannya.

*

Eropa, Sceybia, 1919

Nacio menuruni tangga penuh semangat. Suara ketukan sepatunya sampai memancing perhatian beberapa pelayan yang berjaga di dekat tangga utama, sebuah area yang menghubungkan langsung dengan kamar para keturunan Raja di lantai atas.

Peringatan hati-hati dari Ashley yang berdiri di ujung tangga atas—tidak kuat menyusul Nacio yang terlampau lincah—tak dihiraukan Nacio sama sekali. Dia ingin segera menemui Calvino di ruang lukis yang berada di paviliun timur istana. Sebuah ruangan yang dipersiapkan Ratu Tamara sebagai hadiah ulang tahun Calvino tahun lalu.

Sekembalinya dari sekolah, Nacio kegirangan ketika ibunya memberitahu jika kakaknya itu telah pulang dari Esyran, kota yang letaknya tiga jam dari Mosca. Selama seminggu belakangan, Calvino mengikuti lomba melukis nasional yang diadakan di kota tersebut.

Meski awalnya tak mendapat izin dari Raja yang memang tak pernah suka Calvino menguasai seni, namun berkat permintaan Ratu, akhirnya Calvino bisa mengikuti kejuaraan itu dan mendapatkan piala pemenang di peringkat pertama.

Saat bicara dengan ibunya tadi, Nacio bisa merasakan betapa beliau bangga akan prestasi Calvino. Sangat bertolak belakang dengan respon ayah mereka. Bahkan reaksi ibu kandung Calvino sendiri hanya datar saja ketika diberitahukan.

Pada tiga anak tangga terakhir, tubuh Nacio hampir limbung dan terjerembab kalau saja tangan kanannya tidak lebih cepat memegang pembatas tangga.

Untuk beberapa detik, ia membiarkan dirinya diam, berusaha mengatur napas dan menenangkan diri. Nacio tak boleh gegabah berlari saking antusiasnya bisa bertemu Calvino lagi. Karena jika tidak, cokelat dalam dekapannya yang sengaja ia bawa untuk kakaknya itu,  bisa jatuh dan tumpah berserakan di lantai. Tidak boleh. Cokelat ini edisi terbatas dan Nacio sudah meminta Joshua memesannya langsung dari toko cokelat paling terkenal di Mosca, sebagai hadiah atas kemenangan Calvino.

Dengan segala ketenangan yang berusaha keras dilakukannya, Nacio berjalan santai menyusuri setiap koridor istana yang akan membawanya ke ruang lukis.

Bila sudah melukis, kakaknya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam, jadi Calvino pasti masih ada di sana.

"Jadi begitu, ya?"

Suara asing itu menyambut Nacio begitu tangan kecilnya berusaha menggapai gagang pintu yang tertutup.

Bocah itu tertegun. Calvino tidak sendiri?

"Kau sengaja tetap meladeni ocehannya yang menyebalkan itu karena kau harus tetap baik di depan ayahmu, ya?" Suara tadi kembali terdengar, kali ini membuat Nacio mengurungkan niat untuk membuka pintu kayu di hadapannya. Pertanyaan yang membawa-bawa kata 'ayah' itu tiba-tiba saja mengusiknya.

"Kau memang benar-benar cerdas, Calvino! Aku salut padamu."

Kening Nacio mengernyit. Suara barusan berbeda. Tapi, jelas itu bukan suara kakaknya.

"Aku juga!" Suara pertama menyahut, ada tawa kecil bersarat ejekan dari suaranya setelah itu.

"Memang sudah seharusnya ayahmu lebih menyayangimu daripada Nacio yang bodoh itu. Kau tahu? Adikku yang sekelas dengan Nacio bilang, adikmu itu gagal berulang kali saat ujian olahraga memanah di sekolah mereka kemarin."

Tawa menyakiti itu terdengar lagi. Kalimat berikutnya terus menikam perasaan Nacio yang kini tercengang di tempat.

"Beda sekali denganmu, Cal. Kau cerdas, peringkat satu di sekolah, pandai melukis, bahkan bela dirimu paling terbaik di angkatan kita! Mustahil kalau bukan kau yang menjadi penerus tahta negeri ini."

"Aku setuju dengan Dean. Pokoknya, aku sangat mendukung rencanamu yang ingin mendiami dia. Jauhi saja anak itu. Rebutlah apa yang sejak awal seharusnya memang menjadi milikmu, Calvino. Jangan takut, ada kami yang akan membantu."

"Sudahlah. Ayo kita latihan melukis lagi. Bukankah kalian ke sini karena ingin aku ajari?"

Tepat saat Calvino mengambil alih bicara, Nacio mengerjap karena tak mampu menahan mata yang sudah basah. Kedua matanya tidak mampu menampung air mata lebih lama. Kalimat ketidakpedulian dari Calvino jauh lebih menyakitkan dari ejekan teman-temannya tadi. Calvino tidak membelanya sama sekali.

Menakutkan.

Mendapati kenyataan bahwa Calvino benci dan muak padanya selama ini, sungguh mengerikan. Itukah alasan Calvino mulai menghindarinya? Karena Calvino sudah tidak tahan untuk terus berpura-pura?

Pura-pura?

Jadi, semua kebaikan dan kasih sayang Calvino sebagai kakak padanya sejak kecil.. hanya sebuah taktik untuk mendapatkan hati ayahnya dan menyingkirkan Calvino sebagai salah satu calon penerus kerajaan?

Nacio menggeleng lemah. Tangannya bergetar ketika mendekap erat-erat kotak cokelat di dada agar tak jatuh dan menimbulkan kecurigaan.

Ia berjuang keras meyakinkan diri bahwa mungkin saja dirinya berhalusinasi atau bermimpi. Tapi tawa lebih keras yang saling bersahutan dari ruangan di sebelahnya, membuat Nacio sadar bahwa ia berada di alam nyata.

Percakapan itu nyata.

Kebencian Calvino bukan sesuatu yang lagi samar.

Meski tak begitu pandai dalam belajar, tapi Nacio cukup tahu tentang kewajibannya sebagai pangeran. Seandainya Calvino meminta, Nacio bersedia memundurkan diri dari status calon penerus. Status yang mulai detik ini.. menjadi momok menakutkan untuknya.

"Tapi, Cal.. aku penasaran. Apa selama ini kau memang tidak pernah menyayangi adikmu itu?"

*

Eropa, Sceybia, 1935

Diamnya Calvino atas pertanyaan di hari itu, menjadi awal mula segala keretakan. Permulaan di mana mereka tak saling menyapa hingga sekarang.

"Selamat, Pangeran Nacio." Suara berat di sebelahnya memutus tatapan tajam Nacio pada Calvino, lelaki yang sejak selesai rapat hanya duduk menunduk di kursinya.

Nacio menoleh ke kanan, tersenyum dan menyambut uluran tangan salah satu anggota Legion Council yang menyalaminya.

"Selamat karena kau berhasil meyakinkan Raja, seluruh parlemen, bahkan rakyat. Kau berhasil mengubah negara kita menjadi monarki konstitusional. Memang sejak lama, aku merasa sistem pemerintahan itu jauh lebih adil untuk negara kita."

Nacio mengulas senyum pada satu-satunya petinggi parlemen yang berasal dari luar bangsawan di hadapannya, sosok ramah dan bijaksana yang selama ini paling banyak membantu Nacio dan timnya.

"Terima kasih kembali, ini semua juga berkat dukungan anda, Sir Conrad." ujar Nacio.

Conrad Van Houx tersenyum kembali sebelum menepuk bahu Nacio dan berlalu dari ruangan. Menyisakan Calvino dan Nacio di ruang rapat sekarang.

Beberapa saat lalu, hujan turun deras sejak status pemerintahan yang baru ditetapkan sah oleh Raja. Sejak detik itu, Nacio melihat kekecewaan di mata Calvino. Sedari awal, lelaki itu masuk dalam kubu penolak. Entah karena merasa sistem lama memang peraturan yang paling tepat, atau karena tidak terima dirinya dikalahkan.

Oleh orang yang paling dia benci, adiknya sendiri.

"Kau tidak ingin menyelamatiku?" Nacio membuka percakapan.

"Selamat."

Nacio mendengus.

"Kau cerdas, Calvino. Aku selalu mengakui itu dengan tulus." ucapnya. Tapi, tatapan datar Calvino padanya entah kenapa berhasil menyulut emosi.

Nacio benci dengan kenyataan bahwa kadang kala, Cavino lebih pandai menyembunyikan amarah dibandingkan dirinya.

"Hanya saja alam selalu memiliki hukum tersendiri, Calvino. Jika ada yang menang, maka pasti ada yang kalah. Kalah bukan berarti tidak pintar, kan? Maka, kau pun begitu."

"Terima kasih atas penjelasannya. Tapi aku benar-benar tidak butuh penghiburan darimu." Calvino berujar seraya bangkit. Ia sudah hampir mencapai pintu keluar, saat langkahnya terhenti berkat tawa kecil Nacio yang memprovokasi.

"Ini bukan hiburan, Calvino. Tapi sebuah permulaan."

Berniat mengikuti permainan saling menantang dari adiknya, Calvino berbalik dan memberi Nacio sebuah tatapan datar. "Begitukah?"

Nacio mengangguk. Senyum lebarnya terukir. "Jadi, tolong jaga erat-erat sesuatu yang sejak awal kau genggam. Agar dia tidak lepas begitu saja, karena ada orang lain yang lebih cepat menangkapnya saat genggamanmu melemah."

Sebelum Calvino menyahutinya, Nacio lebih dulu melirik pada Hector yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu terbuka. Mungkin mencari Nacio yang tak kunjung keluar dari ruangan.

"Hector, tolong sampaikan pada Raquela untuk jangan menungguku hari ini. Kami akan bertemu setelah aku selesai memastikan segala dokumentasi hasil rapat hari ini." Dari sudut matanya, Nacio yakin ia baru saja berhasil merobohkan benteng ketenangan yang Calvino bangun sejak awal.

Menyunggingkan senyum sinis yang teramat mengekspresikan rasa bahagianya, Nacio melangkah keluar bersama Hector.

Meninggalkan Calvino yang mematung, hanya ditemani hujan musim dingin yang membawanya pada sebuah firasat buruk.

Raquelanya kita kekep dulu, ya wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro