[32] Dosa
Eropa, Sceybia, 1918
"Kau tau apa yang baru saja kau lakukan, Nacio?!"
Gebrakan di meja menyentak laki-laki kecil yang sejak lima belas menit lalu tertunduk risau di tempat duduknya. Kedua tangannya yang berada di atas paha, meremas celana formal yang hari ini ia kenakan untuk acara penting negara.
Nacio Alvaro Baldwin—lelaki kecil itu—tidak menghiraukan tangannya yang kini bergetar, juga telapak tangan yang telah basah karena gelisah teramat sangat. Tatapan bengis sang ayah yang berada di balik meja, duduk di kursi singgasananya saat bekerja, jauh lebih menakutkan dari semua hal di dunia ini yang pernah Nacio lihat.
"Dasar bodoh."
Desisan penghinaan itu menundukkan kepala Nacio semakin dalam.
Dua kata barusan.. membuat goresan luka yang tercipta sejak lama di hatinya teriris semakin parah. Jauh lebih menyakitkan dari yang semula Nacio perkirakan sebelum ia masuk ke ruangan laknat ini beberapa menit lalu—ketika kepala pelayan memberitahunya bahwa Raja Lucian ingin bertemu dengannya.
Nacio pikir, ia hanya akan dimarahi. Seperti biasa, setiap kali ia tidak berhasil melakukan sesuatu sesuai keinginan ayahnya yang selalu menuntut ia terlihat sempurna.
Nyatanya, ucapan ayah kandungnya tadi jauh lebih menakutkan dari pusaran air sungai yang dua tahun lalu pernah menyedot kuat dirinya masuk ke dalam air, hingga ia terhanyut beberapa jam sampai akhirnya berhasil diselamatkan.
Peristiwa itu cukup menjadi trauma. Namun seminggu setelah kejadian, Nacio sudah berjuang keras melawan rasa takutnya. Semua hanya untuk mematuhi perintah Lucian yang selalu menekankan padanya sebuah kalimat, 'Tidak ada yang boleh ditakuti oleh seorang penerus kerajaan.'
Demi membanggakan sang ayah, tanpa sadar Nacio melawan semua hal yang ia takutkan. Bahkan tidak memberikan jeda waktu untuknya menyembuhkan luka dan kesakitan.
"Ta—tapi.." Nacio berucap parau. "a—aku, kan, sudah bilang sebelumnya pada Ayah.. aku tidak pandai matematika." Ia menggeleng pelan, tapi langsung tersentak hingga kepalanya spontan menengadah ketika gebrakan di meja terdengar.
Nacio menelan ludah susah payah, tubuhnya bergetar hebat. Sorot mata Ayahnya seolah ingin memasukkan Nacio ke penjara.
"Bukan hanya matematika." Lucian berdecih. "Kau bahkan tidak pandai di semua mata pelajaran! Bahkan bela dirimu juga masih kalah jauh dari anak-anak prajurit di kerajaan kita!"
Memang benar. Tapi, haruskah ayahnya memarahi dia sampai separah itu?
Bukan salahnya jika hanya mendapat peringkat tiga dalam Lomba Matematika Nasional yang diadakan Sceybia pagi tadi. Bukankah peringkat tiga juga juara?
Tiga bulan ini, Nacio sudah berlatih demikian keras sampai sering ketiduran saat belajar hingga tengah malam. Semenjak ayahnya memerintahkan ia untuk mengikuti perlombaan itu sebagai bukti partisipasi anggota kerajaan, juga untuk membuktikan kecerdasan dari keturunan raja, Nacio berjuang keras. Semampunya.
Untuk seseorang yang teramat benci matematika, Nacio merasa perjuangannya selama ini sudah mencapai tahap maksimal. Bukan salahnya juga, jika dua saingannya tadi jauh lebih pintar, kan? Ibunya bilang tidak masalah. Nacio harus mensyukurinya dan bisa belajar lebih giat lagi untuk ke depan. Lantas, kenapa ayahnya harus semarah ini?
"Kau ingat dapat peringkat ke berapa di sekolahmu dulu?!" Hardikan itu datang lagi. Nacio mulai merasa matanya basah. Jantungnya berdebar kuat karena takut. Kalau nada bicara ayahnya sudah sekeras itu, beliau pasti akan mendiamkan Nacio untuk waktu yang lama.
"Tiga terakhir, Nacio! Tiga!" Lucian mengacungkan tiga jari tangan kanannya, membuat Nacio menggigit bibir kuat-kuat. Benar. Di semester-semester awal sekolahnya, Nacio pernah mendapat peringkat terbelakang. Tapi, ia sudah belajar terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan belajar. Lantas, tak bisakah usahanya dihargai sedikit saja?
"Kau benar-benar mempermalukan Ayah!"
"Ma—maaf.." Tak kuasa menahan takut lagi, Nacio mulai terisak. Ia menarik tangan ayahnya yang masih berada di atas meja, menggenggamnya erat-erat seraya berkata dengan air mata yang membasahi pipi.
"Maafkan aku, Ayah.. Nacio bersalah. Nacio minta—" perkataannya tak pernah berhasil terucap karena Lucian menghempas genggamannya.
"Sudah ayah bilang jangan pernah menangis, Nacio! Kau laki-laki! Tidak pantas menangis!" suara ayahnya kembali membuat sekujur tubuh Nacio bergetar. Ia membersit hidung untuk menarik ingus. Memaki dirinya sendiri karena telah melupakan janji untuk tidak meneteskan setitik pun air mata di hadapan sang ayah.
"Maafkan aku, Ayah.." lirih Nacio.
Helaan napas Lucian beberapa detik kemudian, membuat pundak Nacio seolah diletakkan ribuan batu besar.
"Kalau saja Calvino yang mengikuti perlombaan itu, Sceybia pasti bisa jadi juara."
Nacio menahan napas sesaat. Kata-kata itu lagi.
"Dengar, Nacio." ucapan berintimidasi Lucian membuat Nacio memfokuskan pandangan meski matanya mengabur. Dia tidak mau ayahnya kembali membentaknya lagi.
"Seharusnya kau berterima kasih karena darahmu mengalir darahku dan Tamara. Karenanya, kau dipilih oleh seluruh orang di negeri ini untuk menjadi perwakilan negara kita dalam perlombaan itu. Sampai-sampai kakakmu sendiri yang lebih cerdas tidak bisa diikutsertakan. Seharusnya, kau belajar lebih giat lagi, Nacio. Bukan mempermalukan Ayah seperti ini."
TOK TOK!
Ketukan dari luar menginterupsi, membuat tatapan ayahnya yang mengarah pada pintu sesaat menjadi beralih pada Nacio kembali dengan sorot mata yang tetap dingin.
"Keluar. Dan jangan bilang apa pun pada ibumu jika masih ingin ayah bersikap baik padamu lagi."
Antara lega dan kecewa, Nacio berdiri gamang. Ia membungkukkan tubuh sedikit sebagai tanda memberi hormat, sebelum akhirnya berjalan keluar. Saat langkahnya hampir mencapai pintu, ia mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh begitu telinganya masih bisa menangkap jelas geraman dan kata lanjutan dari sang ayah. "Memalukan."
*
Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menatap punggung ibunya yang kini menjauh dengan tatapan sendu. Hatinya sakit. Ia terpaksa berbohong kesekian kalinya pada sang ibu yang semula menanyakan keadaannya setelah perlombaan usai, juga bertanya apakah ayahnya tadi memarahi ia atau tidak.
Selalu.. selalu seperti ini.
Nacio tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap sebenci itu padanya. Selama ini, semua orang kerap beranggapan bahwa Nacio lebih banyak mendapatkan perhatian di bandingkan Calvino—kakak lelakinya, sekaligus anak pertama dari sang ayah dengan wanita lain.
Dulu, Nacio yang tidak mengerti senang-senang saja memiliki dua ibu. Meski dia jauh lebih menyayangi Tamara—ibu kandungnya. Tapi semua berubah seiring ia mendapati Tamara sering menangis diam-diam di tempat sepi, setiap kali melihat sang ayah dan ibu kedua Nacio bersama.
Selain itu, sikap terang-terangan membenci yang Emmeline—ibu kandung Calvino—berikan pada Tamara juga dirinya, cukup membuat semua kerumitan yang terjadi dalam keluarga mereka, dapat Nacio mengerti lebih cepat. Kerumitan yang entah sejak kapan berakar. Yang jelas, sesuai permintaan Tamara, Nacio berusaha tidak membenci Emmeline dan..
"Kakak!"
Dan Calvino.
Nacio tersenyum semringah saat mendapati Calvino melewati koridor di depan ruang kerja ayah mereka. Langkah lelaki yang dua tahun lebih tua dari Nacio itu terhenti begitu mendengar seruannya. Calvino memutar tubuh untuk menghadap pada Nacio yang kini berlari menujunya.
Sebelum Calvino bertanya, tubuh sang adik sudah lebih dulu mendekapnya, membuat Calvino tertegun.
"Kakak sudah pulang sekolah?" tanya Nacio, setelah melepaskan pelukan.
"Menurutmu?"
"Sudah. Hehe.."
Calvino menatap datar sang adik yang tetap setia memasang senyum terbaiknya. Senyum yang tidak pernah luntur, sedingin apa pun sikap yang Calvino berikan pada Nacio selama beberapa hari belakangan ini.
"Ah!" Seolah teringat sesuatu, Nacio memegangi lengan Calvino dan berkata. "Kakak tunggu sebentar di sini, ya. Aku mau menunjukkan sesuatu."
Calvino sudah bersiap membuka mulut untuk menyatakan penolakannya, tapi Nacio lebih cepat berlari menuju ruangan yang tepat berada di sebelah ruang kerja ayah mereka. Seolah terburu dan takut ditinggalkan kakaknya, Nacio kembali ke tempatnya semula bersama Calvino sebelum semenit terlewati.
"Ini!" sebuah kertas bergambar terulur di hadapan Calvino, Nacio tersenyum menanti pujian sang kakak. "Bagus, kan, Kak?"
Calvino tak menjawab. Tatapannya tetap datar. Tapi, itu tak menyurutkan sedikit pun semangat dalam diri Nacio untuk terus berceloteh. Ia sudah menanti saat-saat ini, saat di mana bisa berbagi kisah dengan satu-satunya saudara lelaki yang ia punya.
"Kemarin ada pelajaran menggambar di sekolahku. Aku mau menunjukkan ini padamu sejak kemarin, tapi ayah terus menyuruhku belajar untuk perlombaan, jadi tidak sempat. Maaf, ya, Kak. Oh iya! Guru Hans memujiku, lho. Dia bilang, kau dan aku sangat mirip." Nacio menunjukkan gambar dua orang anak kecil yang saling bergandengan tangan dan berada di antara tiga orang dewasa, yang terdiri dari satu pria dan dua wanita.
Hanya dengan melihat sekilas saja, Calvino tahu Nacio menggambar keluarga inti mereka. Bahkan, Emmeline pun ada di sana. Hal itu terlihat jelas dari gambar wanita yang rambutnya disanggul, sementara wanita yang satunya lagi digambarkan dengan rambut panjang—khas penampilan Ratu Tamara, ibu Nacio.
Cekikikan Nacio mengalihkan fokus Calvino dari gambar tersebut. Demi apa pun, Calvino tidak sanggup melihat pemandangan keluarga di atas kertas putih itu lebih lama. Karena, perasaan bersalah terus menggerayanginya. Perasaan yang membelenggunya sejak ia berusia tiga tahun dan mulai mengerti artinya perbedaan setelah melihat bagaimana sikap sang ayah. Perbedaan dari anak sah dan anak yang tidak diharapkan. Nacio.. dan dirinya.
"Aku bilang pada Guru Hans, tentu saja kita mirip! Kita, kan, bersaudara. Kira-kira, kalau adik kita lahir nanti, dia mirip kita juga atau tidak, ya, Kak?" Nacio menggumam, Calvino tahu jelas Nacio sedang membicarakan tentang anak yang saat ini tengah dikandung ibunya.
"Kalau laki-laki mungkin mirip."
"Kalau perempuan?"
"Tentu saja tidak. Jenis kelaminnya saja sudah beda. Kalau pun mirip, mungkin hanya di beberapa bagian wajah."
Tidak menyadari nada Calvino yang seolah enggan melanjutkan percakapan, Nacio mengangguk-angguk sebelum menelengkan kepalanya dengan dahi mengerut. "Jenis kelamin itu... apa, Kak?"
Calvino menghela napas. Ia memalingkan wajah. "Aku lelah, Nacio. Aku harus kembali ke kamar."
Senyum tak pernah pudar Nacio perlahan menyurut. Ia memberengut seraya menggoyang-goyangkannya lengan kakaknya.
"Kakak tidak mau bermain denganku? Padahal aku sedang sedih, lho. Aku dimarahi ayah lagi." Tapi, Nacio tetaplah Nacio. Sesedih apa pun ia, suasana hatinya begitu cepat berubah.
"Oh, iya, kakak tau tidak? Hari ini ayah memuji kakak, lho. Katanya, kalau saja kakak yang ikut lomba, pasti juara satu. Kalau kakak tadi dengar, pasti kakak senang, deh. Maaf, ya, Kak. Lagi-lagi karena aku kakak jadi tidak bis—"
"Nacio.." Nacio terkesiap tatkala tangannya dihempaskan oleh Calvino. Sesaat, Nacio merasa gentar. Tatapan Calvino berubah seperti tatapan ayahnya ketika tidak menyukai suatu keadaan.
"bisakah kau tidak berisik? Aku sudah bilang, aku lelah!"
Menelan ludah kasar, Nacio tetap menyunggingkan seulas senyum secerah mentari seraya mundur selangkah menjauhi Calvino yang kini terlihat sangat mengerikan.
"Baik. Selamat istirahat, Kakak."
Nacio meremat sisi bajunya ketika helaan napas kesal Calvino terdengar. Tanpa membalas ucapan Nacio, Calvino berlalu dengan langkah cepat dan tergesa. Seolah-olah, berada dalam waktu yang lama bersama Nacio adalah sebuah dosa untuknya.
Gimanaa?
Penggemar Calvino jangan lempar aku sepatu, yaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro