Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[31] Nacio yang Merasa Kalah

"Kalian sudah dengar berita yang beredar minggu ini?" Pertanyaan Jaycee membuat usapan jempol Raquela di pinggir gelas terhenti.

"Berita apa?"

Raquela menoleh sekilas pada Amy yang lebih dulu menanggapi, sebelum beralih menatap Jaycee di seberang meja. Semilir udara dingin di pukul lima pagi menusuk kulit, membuat Raquela merapatkan jaket yang menutupi seragam chef -nya. Ia, Jaycee dan Amy memutuskan sarapan di pekarangan kecil yang terhubung dengan covey-dovey, memudahkan mereka untuk segera bekerja lima belas menit lagi.

Dehaman pelan Jaycee terdengar. Ia sedikit membungkuk untuk bicara lebih dekat pada kedua temannya. Sorot tatapannya terlihat serius. "Ada salah satu tawanan Askor yang telah dijadikan budak, dia mati karena dianiaya majikannya sendiri. Tubuhnya benar-benar berakhir menggenaskan! Beritanya sudah tersebar ke mana-mana sejak semalam."

Raquel tertegun, jantungnya serasa berhenti berdegup sedetik lamanya. Ia terlampau larut dalam kecemasan saat membayangkan kemungkinan Bibi Ruth-lah yang menjadi korban, sampai terkesiap kala tangan Jaycee menepuk bahunya. Membuat ia gelagapan.

Raquela berusaha keras untuk bersikap normal kala menyadari keheranan yang tercetak nyata di wajah Jaycee dan Amy. Jaycee menyentuh punggung tangan Raquela dengan wajah sungkan.

"Maaf, Raquel. Kau kaget sekali, ya? Maaf karena aku tiba-tiba mengungkit berita buruk tentang warga negara asalmu."

Raquela mendeham, bergeleng pelan. "Tidak apa." Tangannya sedikit gemetar kala ia menggenggam tangan Jaycee dan bertanya terbata. "Ma—majikan..nya.. siapa?"

"Deyn Jammerell." Begitu Jaycee mengucapkan nama itu, Raquela menghela napas samar. Matanya memejam sesaat, benar-benar mensyukuri ketakutannya tak terjadi. Dirinya benar-benar tidak bisa memaafkan diri sendiri kalau sampai Bibi Ruth yang celaka. Bibi Ruth, pengasuh yang telah menjaganya sejak kecil, bahkan melindunginya dari kejahatan keluarga paman kandungnya sendiri.

"Tapi.. mengerikan sekali, ya, kejadian seperti itu. Bisa-bisanya bangsawan tersebut memanfaatkan jabatan mereka untuk menganiaya orang yang lebih lemah." Ami mengomel, mendapat persetujuan dari Jaycee yang langsung mengangguk.

"Tak ada yang menyangka bahwa Deyn Jammerell sekejam itu. Selama ini kejahatannya tersembunyi dengan baik ternyata, tapi karena kasus ini berhasil meluas sampai di telinga rakyat entah bagaimana caranya, kerajaan akhirnya bisa menjatuhkan hukuman untuk dia." Jaycee berkata lesu, kemudian menyicipi puding dengan saus caramel buatan Raquela yang pagi ini mereka jadikan makanan penutup.

"Tapi, aku lega dia ditangkap." Raquela mengangguk-angguk, membenarkan sahutan Amy di sampingnya.

"Seharusnya dia dihukum mati saja, sih!" timpal Jaycee, wajahnya kelihatan benar-benar murka.

Raquela meletakkan sendoknya di atas piring yang menyisakan seperempat salad buah. Ia tidak tahu dirinya masih lapar atau tidak, karena ia tidak sanggup berpikir apa pun sekarang. Otaknya dipenuhi beragam praduga bahwa bisa saja.. suatu saat bibinya akan bernasib sama. Sebab, ia melihat sendiri bagaimana ketakutan Bibi Ruth hari itu saat berlari dari kejaran dua pria yang Raquel kira merupakan pengawal keluarga Roughze Grey.

Dan perkataan Nacio lima hari lalu, semakin memperparah rasa takutnya. Bukankah penyelidikan yang dilakukan oleh petinggi di Sceybia, kebenaran memang akurat?

Raquela menunduk dalam, meremat sendok yang dipegangnya lagi untuk menyalurkan risau. Perasaan yang terus menderanya setiap hari setelah ia bertemu Nacio terakhir kali.

Dia.. harus bagaimana?

Mengabaikan Jaycee dan Ami yang sibuk membahas hal lain, Raquela hanya diam. Dalam kalutnya, ucapan terakhir Nacio di pertemuan mereka hari itu berkelebat di benak. Membuat rematan tangannya di sendok semakin kuat. Kalimat tegas penuh intimidasi dari Nacio terngiang-ngiang semakin keras.

"Aku tidak akan memaksamu. Tapi, aku akan memberimu waktu berpikir selama seminggu. Sekembalinya aku dari Isonville, kau harus memberiku jawaban. Bersedia atau tidak. Ingat, aku hanya memberimu satu kesempatan."

*

Pemandangan yang menyambutnya pertama kali, memperlambat langkah Nacio yang semula berjalan cepat untuk bergegas mengambil dokumen penting di ruang kerjanya. Ia harus membawa dokumen itu ke rapat akbar parlemen Legion. Penentuan sistem pemerintahan Negara Sceybia akan menuju titik akhir siang ini, sebuah keputusan mendadak yang membuat ia kembali dari Isonville satu hari lebih cepat. Jadilah, tugas pemantauannya diserahkan pada Hector yang masih berada di sana.

Nacio tertegun beberapa detik, heran mendapati tatapan tajam Raquela padanya. Mungkin, ini pertama kali gadis itu bersikap lancang seterus-terang itu padanya.

Raquela masih berdiri di dekat sofa tamu.

"Kalau anda tidak mencintai saya, mengapa anda bersedia mengorbankan masa depan anda dengan menikahi orang yang sama sekali tidak anda cinta?"

Satu alis Nacio menukik. Ia menutup pintu di belakangnya sebelum berjalan ke arah Raquela.

"Tolong..."

Nacio tidak mengerti mengapa suara gadis itu tercekat.

"Meski saya tidak berhak untuk mengetahui hal itu, tapi tolong.. sekali ini saja.." Raquela menggigit bibir setelah Nacio berdiri setengah meter di depannya. "tolong katakan dengan jujur, karena saya butuh keyakinan untuk menjawab tawaran anda."

Keduanya saling memandang. Saling paham apa arti dari tatapan lawan bicara masing-masing. Nacio dengan ancaman-nya, sementara Raquela dengan ketakutan yang berusaha keras ditutupi oleh ketegaran.

"Karena aku menyayangi ibu dan adikku." Setiap kata Nacio penuh tekanan, dia balik memandangi Raquela tajam. "Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuat mereka bahagia dengan mendapatkan posisi Putra Mahkota." Termasuk merebut kebahagiaan Calvino.

Hening menyelimuti.

"Tapi, kenapa saya?"

"Karena ibuku menyukaimu."

"Adik Pangeran tidak menyukai saya."

"Yang menikah kita, bukan dia."

Raquela menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya kasar. Jemari kanannya memegangi dahi yang sudah berkedut. "Lalu.." Raquela menelan ludah. "Lau—Laura... bagai.. mana? Bagaimana.. de—dengan Laura?"

"Kenapa dengan Laura?"

Raquela menunduk. Rasanya, kepala dia benar-benar siap pecah sekarang. "Bukankah kalian memiliki hubungan?" tanyanya lagi.

"Benar."

Raquela mengutuki jantungnya yang sesaat berdetak lebih kuat.

"Kami berteman. Bersahabat dekat. Atas dasar apa kau berpikir aku dan dia memiliki hubungan lebih dari itu?" Secepat Nacio menyelesaikan ucapan, Raquela mengangkat wajah.

Jadi, Laura dan Nacio.. hanya sahabat?

"Atau.." Nacio menjatuhi tatapan curiga. "apa kau yang selama ini menyebarkan rumor bahwa kami berpacaran?"

Sorot lelaki itu menikam, membuat seluruh bulu tengkuk Raquela meremang. "Bu—bukan saya, Pangeran!"

Raquela mendesah samar ketika sorot tak suka Nacio memudar. Gadis itu berusaha memutar otak untuk mengalihkan pembahasan. Jangan sampai Nacio juga menanyakan, apa selama ini Raquela diam-diam sering memaki lelaki itu.

"Tapi, Pangeran.."

"Apalagi?"

Meski tersentak akibat ketusan Nacio, Raquela memilih lanjut bicara. Bagaimana pun, tujuannya hari ini menemui Nacio harus tuntas terlaksana. Setelah mendengar kabar kepulangan Nacio dari Ratu yang—entah sengaja atau tidak—menggodanya pagi tadi ketika ia membawakan sarapan buah, Raquela bergegas meminta izin pada kepala pelayan untuk menunggui Nacio di ruang kerjanya. Raquela sempat yakin tak akan diizinkan, tapi seolah rencana pernikahannya dan Nacio sudah tersebar luas entah dari siapa, Joshua Fox—kepala pelayan—mengabulkan permintaannya.

"Tidak adakah perempuan yang Pangeran cintai?"

"Apa aku wajib menjawab pertanyaan dari seorang pelayan?"

"Tapi, aku orang yang ingin Pangeran nikahi." Dua detik setelah berucap, Raquela mengedip-ngedip. Tersadar pada kecerobohannya sendiri.

Ia bersumpah melakukannya bukan sebagai bentuk percaya diri dan bangga, tapi Raquela hanya ingin memanfaatkan keadaan yang tak diinginkannya itu untuk membuat Nacio cepat menjawab.

"Maksud saya.. se—setidaknya.. setengah wajib." Usai menekan dua kata terakhir, Raquela segera memutar bola matanya untuk menyusuri pemandangan apa pun selain Nacio. Tapi, lantaran hanya bunyi detik jam gantung yang dia dapat, Raquela segera menyatukan ujung telunjuk dan jempol kanannya seraya berkata. "Se—seperempat wajib, deh."

Mendapati cengiran Raquela, pada akhirnya Nacio menghela napas. Dia ingin menyudahi pembicaraan yang sedari tadi tidak berguna baginya ini. "Tidak ada." Ia menggeleng.

"Tidak ada perempuan yang aku cintai saat ini. Tidak tahu ke depannya."

Tanpa berminat menunggu respon Raquela, Nacio berjalan menuju meja kerja. Membuka laci untuk mencari berkas pemindahan sistem pemerintahan yang nantinya akan ditandatangani oleh para petinggi negara. Ketika telah ditemukan, ia memeganginya sambil berjalan kembali menuju Raquela yang masih tertegun di tempat.

Nacio berdeham, berusaha merangkai diksi kata yang pas agar penjelasannya kemudian dapat dimengerti oleh Raquela.

"Aku tidak sebodoh itu, Nona Chef. Bagaimana pun aku harus memikirkan masalah percintaanku dan nasib keturunanku kelak, kan? Dan aku.. tidak ingin mendapatkannya darimu."

Sejujurnya, Nacio mengumpati diri sendiri karena kata-katanya cukup terdengar menyakitkan. Tapi, seperti biasa.. ketika berhadapan dengan Raquela, mulutnya kerap bertransformasi menjadi senjata api yang selalu siap meluncurkan peluru ke segala arah. Entah kenapa. Nacio tahu jelas, ia tidak membenci gadis itu. Tapi, jawaban pastinya pun ia tidak tahu. Rasanya seperti.. mereka pernah bertemu di masa lalu dan salah satu dari mereka telah menyakiti.

"Saya juga. Saya juga tidak mau punya anak dari Pangeran. Saya mau punya anak yang tampannya sekelas Bian Tsunako."

Tercengang, Nacio berkedip sekali. Tangan kirinya yang bebas di sisi tubuh mengepal karena alasan yang tidak jelas. Sungguh, dia tidak mengerti mengapa kalimat Raquela barusan membuatnya kesal.

Mungkinkah karena..

Nacio, Pangeran yang selama dua puluh lima tahun hidupnya dielu-elukan banyak wanita, sebegitu mudahnya dikalahkan oleh aktor terkenal Sceybia yang bahkan berakting saja tidak becus di mata Nacio?

Sialnya, Nacio justru berangguk-angguk.

"Karena itulah aku memilih dirimu. Jika wanita bangsawan yang kutawari pernikahan kontrak, mereka bisa saja menggunakan kekuasaan keluarga untuk tetap mempertahankan pernikahan. Tapi, kau.." Nacio menggeleng. "tidak memiliki kuasa apa pun. Lagipula kau memang membutuhkan bantuanku, kan?"

Raquela menggigit bibir, berusaha menahan gelegak amarah. Selain bicara ketus, ternyata Nacio juga suka merendahkan orang lain. Bodohnya, kenapa Raquela pernah mencintai lelaki itu? Atau.. masih?

'ARGH! Tidak tahulah!' umpat Raquela dalam hati.

"Sampai kapan?"

"Apanya?"

"Pernikahan kita." Raquela menjawab pertanyaan balik yang Nacio berikan. Diam-diam merasa aneh dengan kata 'kita' barusan. Tapi, seperti kata Nacio, dirinya memang butuh bantuan dan tidak punya pilihan.

"Setelah aku berhasil mendapatkan tujuanku. Aku akan memberi waktu satu tahun setelah itu, agar namamu tetap baik dalam pandangan rakyat. Kita akan beralasan ketidakcocokan dan keinginan untuk sama-sama berpisah, bukan karena kesalahan dari satu orang."

Bisakah Raquela melakukannya? Jika mereka menikah.. itu berarti mereka akan berdekatan untuk waktu yang lama? Apa Raquela sanggup mematikan perasaannya untuk Nacio, bila mereka justru bersama di setiap waktu? Bukankah seperti itu gambaran pernikahan? Seperti ayah dan ibu Raquela dulu.

Ada begitu banyak pertanyaan yang menyakiti kepala Raquela.

"Tapi, jika kau atau aku menemukan pasangan yang dicintai sebelum waktu habis," suara Nacio selanjutnya menyentak Raquela. "maka perpisahannya dapat lebih cepat dilakukan. Asalkan kita sepakat melakukannya bersama. Ah, satu lagi.." Nacio mengangkat satu tangannya yang memegangi map merah. Seulas senyum tulus, untuk kali pertama, lelaki itu berikan pada gadis di hadapannya.

"aku juga tetap akan memberimu sebahagian hartaku, hak yang selayaknya kau dapatkan sebagai mantan istri dari seorang Pangeran."

Sepuluh detik berlalu dan Raquela hanya diam.

"Jadi?" Nacio bertanya dengan sebelah alis terangkat, pancaran matanya menyiratkan pertanyaan lanjutan yang seolah dapat Raquela tangkap maksudnya. Gadis itu menelan ludah dengan susah payah.

"Tolong.."

Raquela tidak tahu, bahwa bibirnya yang bergetar saat berucap kemudian, menjadi fokus Nacio yang sempat membuat lelaki itu tertegun beberapa detik lamanya.

"Tolong bebaskan bibiku." lirih Raquela.

Legion : Legislatif (Parlemen) Sceybia

##

Belum ada yang baper sama Nacio, ya? wkwk.

Udah?

Atau Calvino tetap tak terkalahkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro