[3] Doa di Musim Gugur
Eropa, Sceybia, 1936
"Tidak hanya memfitnah anggota keluarga kerajaan, kau juga mencelakai calon istri Pangeran Nacio?" Senyum sinis itu tersungging. Mata menyerupai elangnya tajam menatap Raquela. Di tangan kanannya, sebilah pedang berujung runcing yang tampak baru diasah, tergamit.
Di Sceybia, sejak dunia memasuki tahun yang disebut banyak manusia sebagai permulaan dari abad modern, pedang tidak lagi menjadi senjata penting yang harus selalu ada di setiap kegiatan kemiliteran. Tetapi, pedang masih berlaku digunakan dalam beberapa acara penting. Seperti acara resmi militer serta.. pemenggalan untuk menghukum mati seseorang yang bersalah.
"Raquela Agatha. Sejak awal, aku sudah tahu nasibmu akan semenyedihkan ini karena keserakahanmu sendiri." Suara benci itu terdengar lagi, penuh sindiran. Sementara Raquela tertunduk lemah. Sungguh, tak pernah ia bayangkan detik-detik terakhir hidupnya harus dilalui dengan mengingat kilas balik semua peristiwa satu tahun ini.
Tahun lalu, mungkin tak satu pun rakyat Askor yang menyangka maksud kedatangan Pangeran Nacio ke Kerajaan Askor adalah sebagai bentuk ultimatum bagi Raja Joel—Raja terakhir Askor. Sceybia meminta Askor mengembalikan seluruh wilayahnya yang pernah Askor rebut paksa dalam pertempuran puluhan tahun silam. Banyak nyawa penduduk Sceybia terenggut saat perang tragis kala itu.
Tapi, keserakahan Raja Joel, yang sudah sejak lama meneruskan kepemimpinan tirani ayahnya, menyebabkan Kerajaan Sceybia bertindak tegas dengan melakukan serangan invasi besar -besaran hingga berhasil menggulingkan Kerajaan Askor yang lemah dari sisi pertahanan. Seluruh wilayah Askor pun menjadi bagian dari Kerajaan Sceybia. Rakyat Askor yang memberontak, dijadikan budak untuk para bangsawan Sceybia. Hanya rakyat Askor yang tidak membangkang sedari awal dan memiliki keahlian khusus, yang dipekerjakan pada setiap instansi penting pemerintahan Sceybia.
Dan bagai dongeng yang melegenda, tentang seorang putri baik hati dengan ksatria pangeran, Laura—yang sempat menjadi tawanan prajurit Sceybia bersama Raquela—dibebaskan dari posisi budak oleh Pangeran Nacio sendiri. Berawal dari saling membenci, Laura pada akhirnya berhasil membuat Nacio jatuh hati. Kabar pernikahan mereka membuat Raquela patah hati, tapi dia merelakan perasaannya demi kebahagiaan sahabat serta pria yang diam-diam ia cintai.
Sayangnya, berbagai kejadian membuat julukan 'perebut kekasih sahabat' tersemat dalam diri Raquela. Kebencian rakyat Sceybia menjadi-jadi padanya. Puncaknya, saat kematian Raja Lucian, ayah Nacio, Raquela tak sengaja mendengar percakapan Pangeran Matheo, sepupu Raja yang ternyata menjadi dalang pembunuhan. Raquela memberitahu Nacio dan Laura, tapi malah tertuduh sebagai pencemar nama baik keluarga kerajaan, bahkan penyebab Laura celaka akibat jatuh dari tangga saat Raquela mencoba menyakinkannya.
"Kenapa? Kau masih mau mengelak dari tuduhan menganiaya Laura?"
Manik cokelat yang terbingkai indah di wajah Raquela, menatap tegas pria bertubuh tegap yang kembali bertanya padanya. "Apa kau yang bertugas memenggalku, Calvino?" tanya gadis itu.
"Kau ingin Nacio sendiri yang menebas lehermu?"
Raquel meneguk ludah. Satu nama yang hingga akhir tak pernah bisa dia dapatkan. Raquela takut nama itu berpotensi memecahkan tangisnya. Gadis itu meremat sisi roknya, menahan sengatan perih yang menghantam jantung. Dinginnya lantai menembus sampai ke akar tulang. Bahkan menjelang kematiannya pun, Raquela didudukan dalam posisi rendah yang begitu hina.
"Bukankah aku sudah sering menegurmu untuk tidak mengganggu hubungan Nacio dan Laura? Aku juga sakit hati karena merelakan Laura untuk adik tiriku sendiri, tapi aku tidak sebodoh dirimu." ejek Calvino. Pria yang dua tahun ini selalu jadi orang pertama yang membenci Raquela tiap kali gosip penindasan Raquel terhadap Laura berhembus. Tidak peduli benar atau tidak.
"Kalau memang kau yang bertugas membunuhku, lakukan saja sekarang.." Raquela berkata lirih. "Jangan menambah dosamu dengan menghinaku terus, Calvino."
Hanya ini yang sanggup Raquela lakukan. Tetap bertahan hingga akhir. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ucapan ayahnya dulu benar. Semakin besar ombak menerjang, semakin seseorang tumbuh menjadi karang yang kuat.
"Sial!" Raquel spontan memejamkan mata saat Calvino berteriak geram. "Kau masih tidak menyesali perbuatanmu, Raquel?! Karena kau, Laura hampir sekarat!"
Tidak menjawab. Raquela justru mengangkat dagu, tidak mengedipkan matanya sama sekali ketika langkah besar dan cepat Calvino menujunya dengan pedang teracung tinggi di atas kepala.
Raquela tak bergeming. Sudut-sudut bibir gadis itu tersenyum ketika wajah ayah dan ibunya tampak di antara arakan awan yang terlihat jelas dari jendela menara.
"Calvino!" Seruan bersamaan pintu terbanting membuka, menahan tangan Calvino di udara. Raquela mengerjap, mendapati wajah cantik Laura muncul di ruangan yang sama dengannya dan Cavino sekarang. Bukankah gadis itu masih di rumah sakit?
"Aku mohon, Calvino. Berikan aku kesempatan untuk bicara dengan sahabatku sebentar, ya?" pinta Laura memelas.
Melihat Calvino menyetujui permintaan Laura, Raquela tahu betapa besar cinta lelaki itu untuk sahabatnya. Calvino sampai bersedia menunda tugas yang diberikan Nacio padanya, dia melangkah keluar setelah sempat menusuk Raquela dengan tatapannya.
Begitu pintu tertutup, Laura berjalan cepat menghampiri sang sahabat. Menuntun Raquela yang luruh di lantai untuk berdiri. Kekasih Nacio itu menangis beberapa detik saat memeluki Raquela. Dan kata pertama yang Laura bisikan di telinganya, menghantam Raquela hingga matanya membeliak.
"Dasar bodoh. Kau begitu bodoh, Raquela."
*
Raquela tidak tahu perasaan apa yang merangsek dalam dirinya. Mati? Tapi, dia masih bisa melihat jelas senyuman lebar Laura yang sudah menjauhkan tubuh darinya sekarang.
Senyum indah yang menurut Raquel, selalu dipuja oleh Nacio dan Calvino. Bahkan oleh seluruh rakyat Sceybia yang mendukung percintaan Laura dan calon penerus Kerajaan Sceybia, Nacio. Senyum menawan yang dulu terlampau sering Raquela irikan, karena bisa menerbitkan senyuman juga di bibir lelaki yang ia cintai.
"Kau ingat saat pertama kali kita bertemu, Raa? Saat itu kau dihina oleh teman-temanku, tepat di hari pertama kau pindah ke Arkaley. Lalu aku datang membelamu di depan mereka, padahal kita tidak saling kenal."
Raquela mengerjap. Keningnya mengernyit dalam ketika mendengar penuturan Laura. Gadis bertubuh setingginya itu bersedekap, memandangi Raquela dengan tatapan.. benci?
"Kalau diingat-ingat lagi.. aku tampak begitu baik, ya, di mata semua orang, Raa? Oh! Kau pasti penasaran, kan, kenapa aku kemari?" Lagi. Laura tersenyum lebar. "Aku mau mengucapkan terima kasih. Terima kasih, karena berada di sisimu membuatku terlihat sangat baik."
Raquela mengerjap, begitu dua kata terakhir Laura diucapkan dengan penuh penekanan.
"A—Apa mak—"
"Kau tau?" Laura mengalihkan tatapannya ke arah jendela, memotong ucapan terbata Raquela.
"Kau tau seberapa banyak aku menahan kesal karena dianggap 'bodoh' oleh teman-temanku sendiri, hanya karena aku setia menemanimu sejak hari itu? Kau juga tidak tau, kan, seberapa muak aku tetap bersikap baik padamu? Padahal, kau hanya ingin terlihat seperti pahlawan yang bersedia melanggar peraturan para anak bangsawan sombong itu."
"Kau.." suara Raquela bergetar. Demi Tuhan, sikap Laura yang baru dilihatnya sekarang menjadi hal paling menyakitkan. Laura.. sahabat yang selalu membelanya. Satu-satunya sosok yang Raquela sayangi selain Bibi Ruth di dunia ini, setelah orang tua Raquela tiada.
"Ka—kau.. ber—berpura-pura berteman denganku selama ini?" Setetes air mata mengalir di pipi Raquela. Hatinya berharap Laura akan mengatakan tidak.
"Aku tidak menyangka akan mengakui semua perasaanku tentangmu.. tepat di hari nyawamu akan direnggut, Raquela." Laura tertawa pelan, melirik ke arah pintu sekilas. "Nacio ada di luar. Aku sudah mengajaknya masuk untuk melihatmu terakhir kali. Tapi kebencian dia padamu begitu besar, sampai tidak sudi melihat sama sekali."
Belum selesai keterkejutan Raquela, Laura kembali melanjutkan kalimat usai berdecih. "Maaf, ya.. karena aku harus melibatkanmu sebagai korban. Tapi, salahmu sendiri. Bukankah aku sudah sering memperingatkanmu untuk tidak terlalu jauh melindungi keluarga Raja Lucian?"
"Apa salahku?!" Laura memasang ekspresi takjub saat mendengar suara Raquela meninggi di hadapannya.
"Karena kau menjadi kerikil tidak berguna.." jawab Laura, terkekeh kecil. Ia mendekatkan bibir untuk kembali berbisik di telinga mantan sahabatnya. "yang hanya bisa memperlambat rencanaku dan si Matheo bodoh itu. Tunggu sampai kau benar-benar lenyap, maka Nacio, ibu, dan adiknya, juga si Matheo itu yang akan kuhabisi berikutnya! Mereka harus menyusul Lucian keparat itu."
Raquela menatap Laura penuh benci. "K—kau.."
"Ya, orang yang berbincang dengan Matheo hari itu adalah aku. Bodoh sekali kau sampai tidak mengenali sahabatmu sendiri." Laura tersenyum culas. "Kau malah melaporkan Matheo pada orang yang jelas-jelas bekerja sama dengannya untuk membunuh Raja."
"KENAPA KAU MELAKUKANNYA, LAURA?"
Laura menggeleng pelan, seolah-olah mengajari Raquela yang menurutnya tidak memiliki adab. "Kecilkan suaramu, Sayang. Nacio hanya akan tambah membencimu jika kau menghardikku lagi." desisnya.
Raquela merasa benar-benar bodoh. Mungkinkah selama ini.. Laura juga berpura-pura di hadapan semua orang, bersikap seolah-olah menjadi korban dari Raquela yang telah menyakitinya? Raquela pikir, memang cara bicara blak-blakannya yang kelewatan. Padahal dia selalu berusaha bicara baik-baik dengan caranya sendiri pada sang sahabat.
"Kenapa kau melakukan semua ini, Laura? Bu—bukankah kau mencintai Pangeran Nacio?" suara Raquela bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhir. Dia tidak sanggup membayangkan seberapa hancurnya perasaan tulus Nacio bila mendengar semua ini.
"Terlambat untuk menyesal, Raquel." Bukannya menjawab, Laura justru mengalihkan pembicaraan. Bibirnya yang tersenyum perlahan-lahan berubah menjadi garis datar yang mengatup. Matanya seakan mengobarkan bara api dengan tubuh menegang.
"Sekarang hanya tinggal menghitung detik, kau akan segera menemui alam barumu. Dan sebagai orang yang pernah kau anggap sahabat, aku dengan tulus mendoakan agar kau bisa bertemu kembali dengan Ayah dan Ibumu, ya. Selamat mengakhiri hidupmu sekarang, sahabatku sayang."
"KETERLALUAN KAU LAURAA!" Napas Raquela memburu, tangannya sudah mengguncang-guncang bahu Laura yang tetap saja mengulaskan senyum mengejek. Hingga ketika pintu menjeblak, suara Nacio menyentak Raquela.
"Laura!"
"Nacio!"
Raquela benar-benar muak. Dia benci bagaimana kemudian Laura berlari memeluki Nacio, bersikap seperti seseorang yang baru saja ditindas.
"Maafkan aku.. a—aku hanya ingin membuat Raquel meminta maaf agar hukumannya bisa dibatalkan. Aku.. aku tidak bisa membiarkan sahabatku mati begitu saja. Ta—tapi dia.. dia terus berusaha membuatku percaya bahwa Paman Matheo yang benar-benar membunuh Raja."
Betapa besar keinginan Raquela untuk berteriak, memberitahu semuanya. Tapi, bibirnya sama sekali tidak dapat berucap ketika Nacio mendekatinya. Mengucapkan kalimat yang membuat Raquela seperti tercabik.
"Selama ini aku menahan diri untuk tidak memarahimu, Raquela. Karena kau satu-satunya orang yang dianggap keluarga oleh perempuan yang kucintai. Tapi sikapmu sekarang benar-benar memuakkan. Memang sudah seharusnya kau mati."
Raquela tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Nacio dan Laura sudah pergi. Calvino kembali menatap dirinya penuh benci. Dan Raquela.. pada akhirnya tidak bisa diberikan kesempatan oleh takdir untuk memperjuangkan kebenaran.
Ujung pedang itu menggiris habis lehernya.
Raquela mati dengan leher tertebas, bersama angin musim gugur yang mungkin akan membawanya pada kehidupan baru. Sebuah doa terakhir sempat terucap dalam hati, yang Raquela tahu betul bahwa itu mustahil terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro