Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[29] Gila

"Namamu Raquela Agatha Pearce?"

Raquela mengerjap-ngerjap. Entah sudah berapa kali ia melakukan gerakan yang sama. Sejak dirinya diperintahkan oleh Margot untuk segera menemui Raja dan Ratu, ia dikejutkan oleh beberapa pelayan istana yang langsung menyeretnya paksa ke sebuah ruangan dan didandani habis-habisan.

Setelah disuruh mandi dengan air rendaman bunga, para pelayan wanita itu segera menggantikan coat, celemek, dan celana Raquela dengan sebuah gaun berlengan panjang biru muda bermotif anggrek. Raquela nyaris melotot saat sepatu karet yang setia menemaninya di dapur seharian, dihempaskan begitu saja untuk digantikan oleh sepatu berwarna senada gaun yang membuat tubuhnya jadi lebih tinggi.

Seumur-umur, ini kali pertama kakinya mengenakan sepatu berhak tinggi, model yang sangat hits beberapa tahun belakangan ini. Di Askor dulu, hanya bangsawan dan pedagang wanita kaya yang bisa memilikinya. Tak hanya itu, topi koki Raquela pun digantikan dalam hitungan detik oleh jepitan mutiara yang diselipkan di belakang rambut panjang Raquela yang telah tergerai.

Sekali lagi, Raquela mengedip-ngedip. Netranya masih memandang tak percaya dua orang di hadapannya. Dua sosok yang pertama kali menyambut Raquela saat ia dibawa dari ruangan dandan ke ruangan lain yang lebih luas dengan beragam interior mewah. Kedua orang itu duduk di sofa ukiran tangan yang bercat warna emas.

Layaknya terdakwa, Raquela menunduk takut-takut. Otaknya berputar cepat, mengira-ngira kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai dipanggil oleh penguasa tertinggi di Kerajaan Sceybia dan istrinya itu.

"I—iya, Yang Mulia.." Raquela menjawab dengan suara pelan. Hampir tak terdengar. Uniknya, Raja Lucian yang mungkin sudah seusia ayahnya itu justru mengangguk-angguk sebagai tanggapan.

"Sebenarnya.." Lucian berdeham sekali. "Aku tidak tahu apa keistimewaanmu sampai—" perkataannya terjeda karena sang istri menyikut lengan kanannya.

"Baginda.."

Raquela mengangkat kepala, bingung mendapati Tamara dan Lucian saling melempar kode dalam pandangan. Apa ada rahasia yang coba disembunyikan darinya?

Saat tersadar sesuatu, Raquela membeliak dengan tangan yang refleks memegangi leher. Jangan-jangan dirinya benar-benar akan dihukum penggal?!

"Kau tau kenapa aku memanggilmu ke sini, chef Raquela?" suara Lucian kemudian menyentak Raquela, mengalihkan fokusnya pada ayah Nacio tersebut lagi.

"Ti—tidak, Yang Mulia Raja." Raquela kembali menunduk, jemari-jemari tangannya yang saling bertaut untuk mengurangi kegugupan terasa basah saking eratnya ia menggenggam. "Saya mohon maaf jika saya telah melakukan kesalahan."

"Benar, kau memang telah melakukan kesalahan besar." Raquela spontan menengadah, menatap gentar sang raja yang kini sudah menyandarkan punggung di bahu kursi.

"Kau membuat putraku jatuh sejatuh-jatuhnya."

Raquela membelalak. Beberapa detik ia hanya dapat termangu. Ia sudah membuka mulut, tapi tidak menemukan satu diksi pun di kepalanya sehingga ia mengatupkan bibir lagi rapat-rapat. Bingung harus berkata apa.

Raquela menggigit bibir, keningnya mengernyit dengan kaki yang tanpa sadar bergerak-gerak gelisah. Ia sedang memperkirakan seberapa besar kemungkinan Raja dan Ratu mengetahui bahwa selama ini, diam-diam dirinya sering mengumpati putra mereka dalam hati, tepat ketika pintu terjeblak mendadak. Membuat Raquela terperanjat dan spontan menoleh ke belakang.

Nacio. Berdiri angkuh di depan pintu yang sudah menutup dengan sendirinya, melempari Raquela tatapan datar. Pria muda itu menghela napas sesaat sebelum berjalan dan sialnya, duduk tepat di samping Raquela yang nyaris menjatuhkan bola matanya. Untuk apa Nacio duduk sedekat itu dengan dirinya, haah?

"Raquela.." suara Tamara mengembalikan Raquela pada kenyataan. Ia memandang Lucian dan segera menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Saya mohon maaf, Yang Mulia! Saya mengaku salah, saya memang sering mengomeli Pangeran Nacio di belakangnya, tapi itu tidak benar-benar berasal dari lubuk hati saya yang terdalam. Saya benar-benar minta maaf. Sungguh saya tidak bermaksud menyakiti hati Pangeran Nacio." Raquela bicara tanpa titik koma yang membuat Nacio dan kedua orang tuanya memandangi gadis itu takjub.

"Saya hanya.. hanya.. o—omelan saya hanya sebagai bentuk pujian dan kekaguman semata untuk Pang—"

"Cukup." Sentuhan di bahunya membuat Raquela tersentak dan spontan menjauhkan bahu. Saat mendapati raut Nacio seolah menyaratkan berhentilah-bicara-jika-tak-ingin-mulutmu-robek, Raquela meneguk ludah.

"Aku sudah sangat cukup menerima pujianmu, Raquela. Terima kasih." Nacio menekan setiap kata dalam ucapan. Raquela ketakutan kala tangan pria itu meremat pelan bahunya. Tapi, demi asas sopan santun yang patut dijunjung tinggi di mana pun seseorang berada, Raquela menjawab pernyataan Nacio dengan kalimat yang membuat lelaki itu berusaha keras menahan tawa. "Sama-sama, Pangeran."

Beberapa detik setelah saling berdiam, muda-mudi itu kembali mengalihkan pandangan pada dua orang tua di hadapan mereka. Lucian menatap Raquela seolah gadis itu adalah manusia langka abad sekarang, sementara Tamara tersenyum pada putranya.

Nacio menghela napas, sebenarnya ia tidak senang digodai seperti itu oleh sang ibu. Tapi, apa yang terjadi saat ini juga akibat perbuatannya sendiri.

"Baiklah." Lucian mengangguk-angguk, mengusap dagunya yang dipenuhi janggut. "Jika memang dia yang bisa membuatmu bahagia, Ayah setuju."

"Ayah benar-benar menyetujui permintaanku?"

Lucian mengangkat bahu. "Ya. Tentu. Kapan lagi kau memohon pada Ayah untuk segera dinikahkan?"

Raquela mendadak diserang mual.

Nacio ingin menikah? Kenapa Laura tidak pernah bercerita tentang itu padanya?

Saat menyadari ia dan Laura memang tak pernah bertemu lagi setelah Camp Blaze, Raquela mengangguk-angguk seorang diri. Tidak sadar bahwa Nacio meliriknya sinis. Heran dengan tingkah gadis itu yang selalu di luar dugaan.

"Walau dari luar gadis ini tampak biasa saja, penampilannya pun jauh dari puteri bangsawan.. tapi Ayah yakin dia punya keistimewaan tersendiri sampai berhasil membuatmu bertekuk lutut seperti sekarang." Lucian menjelaskan lagi, Tamara mendukung perkataan suaminya dengan menganggukkan kepala sambil memandangi Raquela yang terhenyak kaget.

Gadis ini?

Refleks, mata Raquela menjelajahi ruangan. Kepalanya sampai ikut berputar ke belakang untuk mencari-cari keberadaan Laura yang mungkin saja sejak tadi bersembunyi entah di mana.

"Maaf, Raquela. Mungkin kau terkejut karena kami mengundangmu tiba-tiba." Tamara mengambil alih pembicaraan. Menciptakan kebingungan Raquela semakin parah.

"Bahkan kami langsung mengatakan rencana pernikahan sebelum kau berdiskusi dengan kekasihmu dulu."

Raquela membeliak.

"AP—" Seruannya gagal terucap berkat tangan Nacio yang melesat cepat, memasukkan biskuit ke mulutnya, hingga gadis itu terbatuk-batuk kecil dan mau tidak mau mengunyah dan menelan juga biskuit di dalam mulut.

Sialnya, bukan berhenti menjauhkan diri, Nacio malah menepuk-nepuk punggung Raquela pelan dan berkata lembut sambil menatapnya. "Makan kuenya, Sayang. Tapi, pelan-pelan, ya. Semua ini memang khusus untukmu, kok. Jangan takut habis."

Nacio... punya penyakit mematikan, ya?! Kenapa tingkahnya jadi tiba-tiba aneh begini?

"Raquela.."

Raquela mengarahkan sorot matanya pada Tamara kembali. Wanita paruh baya yang anggun itu tersenyum lebar. "Aku dan suamiku terlampau bahagia saat tahu bahwa Nacio ternyata mencintai seorang wanita, yaitu kau."

Sepersekian detik, Raquela merasa petir baru saja menyambar kepalanya.

Belum juga hilang keterkejutan, rentetan kalimat-kalimat tidak masuk akal dari Tamara yang membuat Raquela berpikir apa yang sedang dialaminya adalah mimpi, kembali terdengar. Mengusik sunyi, sekaligus mengusik ketenangan Raquela yang entah sudah melayang ke mana-mana.

Apa, sih, yang terjadi saat ini?!

Kekasih?

Pernikahan?

Jangan-jangan bukan hanya Nacio yang gila, tapi satu keluarganya juga ikutan gila?

Bergeleng kuat—menepis pemikiran absurd di kepalanya—Raquela mencoba meditasi diri dengan menarik napas panjang selama beberapa detik, sebelum kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Lalu menyorotkan fokusnya pada Lucian dan Tamara kembali.

"Nacio sudah menceritakan semuanya pada kami, Raquela. Termasuk tentang kalian yang berhubungan diam-diam karena perbedaan status selama ini. Tapi tenang saja, mulai sekarang kalian tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi di hadapan semua orang untuk saling mencintai. Aku dan suamiku sudah menyetujui hubungan kalian." Tamara mengulas senyum hangat. Sangat kontradiktif dengan kobaran api yang menyala-nyala di hati Raquela sekarang.

"Maaf, ya.. kau pasti sangat tersiksa memendam segalanya selama ini, ya, Nak.."

Cepat-cepat, Raquela mengibaskan kedua tangan di depan dada. Sepertinya Tamara dan Lucian menyalahpahami sosok perempuan yang dicintai Nacio.

"Tapi, Yang Mulia Ratu.. saya tidak.."

"Kami mengundangmu ke sini karena ingin.." Lucian menjeda. Raquela menggeram frustrasi karena lelaki paruh baya itu memotong perkataannya. Kalau Raquela bersikeras melanjutkan ucapan, bisa-bisa lehernya dipenggal dengan pedang tajam.

"..ingin memberitahu bahwa Kerajaan Sceybia tidak mewajibkan keturunan Raja untuk menikah dengan orang dari kalangan bangsawan. Aku dan istriku juga tidak bisa melarang Nacio jatuh cinta pada siapa."

Lucian menghela napas sejenak. Sebenarnya ia masih cukup tak percaya dengan apa yang Nacio sampaikan pagi ini di ruang kerjanya.

Nacio tidak pernah menyetujui perjodohan yang selama ini Lucian dan Tamara atur untuk lelaki itu, tetapi mendadak saja Nacio membawa kabar mengejutkan yang nyaris membuatnya tak bisa berkata-kata. Nacio meminta kesediaan Lucian sebagai ayah untuk melamar seorang gadis yang ternyata putranya cintai.

Meski terlampau kaget saat mengetahui gadis itu adalah salah satu pelayan dapur istana, tapi berkat pengertian yang diberikan Tamara, mau tidak mau Lucian bersedia menanggapi permintaan Nacio dengan serius. Memanggil gadis itu untuk menemuinya dan sang istri.

Tapi di tengah pertemuan yang Lucian rencanakan akan berisi wawancara untuk menguliti latar belakang Raquela secara langsung, putranya malah tiba-tiba bergabung. Padahal di awal, Nacio sama sekali tidak tahu niat Lucian dan Tamara yang telah  mengatur pertemuan hanya bertiga saja dengan Raquela.

"Karena itulah, aku dan istriku menyetujui hubunganmu dan Nacio." Lucian bersedekap. "Jadi, kapan pernikahan kalian mau dilaksanakan?"

Raquela melotot.

Ingin sekali ia menggigit bantal saking merasa kesal. Dirinya sedang bermimpi atau apa, sih?! Kalau iya, Raquela berharap ada yang menyiraminya dengan sepuluh ember air agar ia benar-benar bangkit dari alam mimpi yang sangat-sangat-sangat menakutkan!

"Tapi—"

"Anakku mencintaimu." Lagi dan lagi, kata-kata Raquela tertahan lantaran antusiasme Tamara. "Dia ingin menikahimu, Raquela. Kau bersedia, kan?"

Raquela yang sudah kelelahan tanpa sadar mengucapkan kalimat "Ya.."

Sialnya, maksud hati ingin berkata 'Ya jelas tidak bersedia!' malah diartikan sebagai persetujuan oleh Tamara dan Lucian yang kemudian saling melempar senyum lega.

Saat menyadari ada kesalahan dari  ucapannya sendiri, Raquela mengibas-ngibaskan tangan sekali lagi. Kali ini lebih cepat, tidak peduli pada Nacio yang sudah menatapinya seolah Raquela adalah makhluk paling aneh di muka bumi.

"Oh! Bu—bukan! Bu—bukan itu maksud saya, Yang Mulia! Sama sekali bukan! Saya.. saya.."

"Ayah, hentikan."

Raquela tertegun. Menoleh pada Nacio yang kini mengambil alih bicara.

"Tolong berhenti mengganggu kekasihku."

Belum sempat Raquela menghela napas lega, lelaki di sampingnya sudah kembali memantik amarah dalam dadanya hingga ia spontan terperanjat. Memandangi Nacio tajam dengan kening mengernyit dalam. Sedalam Samudera Hindia. Eh, sebentar.. Sceybia berbatasan dengan samudera apa, sih? Ah. Tidak tahulah!

Yang terpenting sekarang, Raquela harus menghilang dari perkumpulan anggota keluarga yang tampaknya sudah tidak waras.

"Bukankah sudah kukatakan biar aku dulu yang melamarnya, baru pernikahan akan dilangsungkan? Ayah terlalu buru-buru bertindak." protes Nacio.

"Ayahmu hanya terlalu bersemangat, Nacio. Ini pertama kalinya kau mengatakan keinginan untuk melamar seseorang."

"Ibumu benar."

'Oh, Tuhaaan. Kenapa aku harus terjebak pembahasan antah berantah ini terus, siiih?' batin Raquela menjerit-jerit tak tertahankan.

Ada lubang tidak, sih, di ruangan ini? Lubang pembuangan air kamar mandi, lubang tikus, lubang selokan atau lubang apalah itu.. yang jelas bisa menyembunyikan Raquela sebentar sampai pembicaraan ini selesai.

"Raquela.."

Raquela terkesiap kala suara lembut Tamara menyapa pendengarannya lagi. Gelisah dengan jantung yang berdegup keras, Raquela menatap ibu Nacio itu kembali. Berharap wanita itu mengatakan bahwa dirinya, sang suami, dan anak mereka baru saja mencandai Raquela.

"kau tidak perlu menjawabnya sekarang, Nak. Pikirkan saja dulu, ya. Tapi, aku sungguh berharap kau mau menerima lamaran putraku. Karena aku khawatir," Tamara menjeda untuk beralih memandangi Nacio dengan senyum tulus sesaat, sebelum menatap Raquela lagi dan melanjutkan kalimat yang benar-benar menghantarkan gadis itu pada kenyataan pahit.

"Aku khawatir Nacio bisa gila kalau kau sampai menolaknya. Aku tau, dia sangat mencintaimu, Raquela."

Raquela mematung. Merasakan jantungnya baru saja merosot hingga ke perut.

'MEREKA GILAAA!' umpatnya kesal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro