Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[28] Permulaan

"SIAL!"

Nacio tersentak. Lamunannya tentang lukisan-lukisan Calvino yang ia lihat siang tadi di De Clarte buyar seketika. Suara barusan menghancurkan segala kekaguman yang bercampur cemas dalam dirinya.

Menghela napas pelan, lelaki yang sudah mengenakan kemeja santai berwarna abu-abu itu menolehkan kepalanya ke kanan. Memandang kesal adik perempuan satu-satunya yang kini menghempaskan buku ke atas meja di hadapan mereka.

"Si-"

"Jaga ucapanmu, Nagia."

Nagia membeliak. Kata umpatannya kalah cepat dari peringatan Nacio, si kakak lelaki menyebalkan yang malam ini merecoki kamarnya hanya untuk melamun selama hampir satu jam. Satu jam!

Nagia tidak mengerti mengapa Nacio Alvaro Baldwin bisa melamun selama itu sekembalinya ia dari De Clarte, museum seni negara, untuk menghadiri salah satu kunjungan tahunan.

Tak hanya itu saja yang aneh. Malam-malam sebelum ini, tepatnya setelah pulang dari Camp Blaze, Nagia juga sering menemukan Nacio menghabiskan waktu sendirian sampai dini hari di ruang kerjanya.

Entah masalah apa yang tengah lelaki itu pikirkan. Nagia enggan bertanya karena tahu kakaknya bukanlah orang yang suka berbagi sesuatu yang Nacio anggap sebagai penderitaan kepada Nagia mau pun Ibu mereka.

Nacio terlalu dan selalu pendiam. Memendam semua kesakitan sendirian.

"Tidak masalah. Di sini hanya ada kau." Nagia melipat tangan di depan dada, mengangkat sedikit dagunya. Angkuh, seperti biasa.

"Lagipula.. kenapa Kakak jadi seperti Ayah dan Ibu, sih? Teruuus saja menyuruhku menjadi perempuan anggun."

Helaan napas lelaki yang sejak tadi duduk bersamanya di sofa panjang, terdengar kembali. Memancing Nagia untuk menukik sebelah alis. Bingung.

"Kau-"

"Aku adalah seorang puteri." Nagia memotong ucapan Nacio sembari bangkit berdiri. Lalu dengan tangan yang masih bersedekap, gadis itu mondar mandir di hadapan kakaknya. Tepat di seberang meja. Ia meneruskan pidatonya.

"Aku adalah anak kandung Lucian Baldwin dan Tamara Baldwin. Sekaligus adik dari Putera Mahkota Kerajaan Sceybia. Jadi, merupakan sebuah kewajiban untukku tampil baik, lemah lembut, cerdas, dan sempurna di hadapan semua orang." Langkah Nagia terhenti. Ia memutar tubuh yang semula menyamping menjadi kembali menghadap Nacio.

"Bagaimana? Kaget karena aku menghapal semua kata-kata yang selalu kau peringatkan untukku, Pangeran?"

Bukannya marah, justru seringaian tipis yang Nagia dapatkan.

"Kau tertinggal satu kata, Tuan Puteri." ungkap Nacio, dalam sekejap mematahkan segala kepercayaan diri yang tadi sudah Nagia bangun tinggi-tinggi.

"Calon. Calon Putera Mahkota." Ralat Nacio, menciptakan kerutan di dahi putih Nagia.

"Sama saja. Nantinya kau juga akan menjadi putera mahkota. Atau jangan bilang..." Nacio menatap tajam sang adik yang kini menutup mulutnya dengan satu tangan. Tatapan gadis dua puluh dua tahun itu jelas menunjukkan niat untuk menjahili Nacio. Kebiasaan yang terlampau sering Nagia lakukan.

"jangan bilang kau takut kalah saing dengan si Calvin-"

"Kakak, Nagia. Kak Calvino." potong Nacio. "Haruskah aku mengingatkanmu lagi untuk selalu menjaga sopan santun?" Perkataan lanjutan sang kakak membuat Nagia menggeram dan menghentak-hentakkan kakinya, kesal. Seumur hidup Nagia, kakak kandungnya itu memang kerap menjadi patroli 'sopan santun' untuknya.

"Lagipula.." Nacio meraih cangkir di atas meja. Meneguk sesaat teh chamomile miliknya sebelum kembali berujar. "apa yang membuatmu kesal sampai mengumpat barusan?"

"Buku ini."

Netra Nacio mengikuti arah telunjuk Nagia. Gadis itu memasang tampang masam. "Aku mendapatkannya dari Lusi." Ia menyebut nama pelayan kepercayaannya.

"Karena Lusi selalu senyum-senyum sendiri saat membacanya, aku meminta buku itu untuk kubaca."

"Lalu?"

Nagia bertepuk tangan sekali. Melahirkan keheranan Nacio. Lelaki itu sungguh tidak mengerti, mengapa adiknya bisa semarah barusan hanya karena sebuah buku?

"Lusi bilang ceritanya benar-benar bagus, romantis, tapi apa?! Omong kosong!" umpat Nagia. "Kalau aku bertemu lelaki yang mau memanfaatkanku seperti tokoh dalam cerita itu, aku akan lebih dulu menyuruh Hector memenggal kepalanya!"

"Memang apa yang tokoh lelakinya lakukan?"

"Dia benar-benar kurang ajar, Kak!" Dengan kobaran api membara di mata, Nagia mengambil buku itu dan mengetuk-ngetukkan satu jarinya di bagian belakang buku yang berisi deretan huruf.

"Bagaimana bisa tokoh utama lelakinya.." Nagia menekan setiap kata dalam ucapan. "sengaja pura-pura mendekati tokoh wanita dan membuatnya jatuh cinta hanya untuk membalas dendam pada laki-laki lain yang juga cinta pada wanita itu? Gila, kan?!"

Kembali, Nagia melempar buku setebal lima senti yang Nacio prediksi merupakan sastra roman itu ke atas meja.

Nagia mengibaskan rambutnya ke belakang. "Meski aku tidak seanggun yang kau dan Ibu inginkan, setidaknya aku selalu menghormati sebuah pernikahan. Tapi lelaki jahat di cerita itu malah memainkan pernikahan yang seharusnya sakral. Menyebalkan, kan?!"

Hening. Saat tawa Nacio pecah selama beberapa detik, Nagia cemberut. Nacio bergeleng-geleng tidak habis pikir. Dia tidak pernah menyangka jika adiknya akan ikut terbawa perasaan dengan sebuah cerita fiktif.

"Jangan terlalu benci sesuatu, Nagia. Bagaimana bila suatu saat kau bertemu lelaki seperti itu?" tanya Nacio, berusaha bijak. Ia menyesap teh lagi untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering karena kebanyakan tertawa. Namun, sebersit ide di kepalanya membuat lelaki itu tertegun. Hanya beberapa detik. Ia tersadar begitu suara Nagia mengisi indera pendengarannya lagi.

"Tentu saja aku akan membunuh-Hey!" Nagia berseru kala kakak lelakinya tiba-tiba bangkit dalam satu sentakan cepat. Tanpa bicara apa pun, langkah-langkah lebar Nacio menuju pintu kamar Nagia. Gadis itu mengernyit keheranan.

"Nacio! Aku belum selesai bicara!"

Terlambat.

Nagia berdecak saat pintu setengah terbanting dari luar hingga menutup sendirinya, sebelum punggung Nacio benar-benar hilang dari pandangan.

Menertawakan dirinya sendiri, Nagia bergeleng tidak habis pikir. Bisa-bisanya Nacio berbuat seperti barusan pada adiknya sendiri? Sa-ngat-me-nye-bal-kan!

Kesal, Nagia melemparkan bantal kursi berlapis kain dengan benang-benang sutra emas ke depan pintu kamarnya sendiri.

"Yeah, aku akan membunuh lelaki yang seperti dalam buku itu. Tapi, sebelumnya.. aku akan membunuh Nacio lebih dulu! Seenaknya main pergi begitu saja! Dasar kakak kurang ajar!" desisnya murka.

*

"Ayo, Raa.."

Raquela terus bergeleng sebagai jawaban. Ia berusaha melepaskan lengannya yang sejak tadi ditarik-tarik oleh Jaycee. "Untuk apa ke sana Jaycee?" tanyanya.

"Tentu saja untuk melihat ramalan jodoh, Raqueeel." Jaycee bertepuk tangan sekali setelah Raquela berhasil menjauhkan tangannya yang semula melingkar di lengan gadis itu. "Ah! Sekalian kita lihat juga siapa jodohmu, Raa."

"Tidak, tidak, tidak!" Raquela kembali menolak. Kali ini ia sengaja menegaskan kalimat. Seperti perkiraan, Jaycee memberengut.

"Kenapa tidak mau?"

"Aku tidak percaya ramalan, Jaycee." Raquela menghela napas. Berusaha memilih diksi kata yang tepat untuk menjelaskan. "Demi diriku yang sangat cantik ini.. di zaman sudah modern seperti sekarang, kau masih percaya dengan bola-bola yang katanya bisa melihat masa depan itu? Ayolah, Jaycee! Semua itu hanya tipuan!"

Jaycee mendesah pasrah. "Ya sudah, aku sendiri saja. Kau tau, kan, aku jauh-jauh ke pasar ini untuk menemui Sir Hortman?"

Raquela mengangguk lemah. Tentu saja dia ingat. Jaycee sudah mewanti-wanti sejak hari pertama Raquela tiba di Mosca usai Camp Blaze berakhir. Jaycee meminta agar Raquela bisa menemaninya ke pasar yang cukup jauh dari istana, pada akhir pekan, hanya karena mendengar berita  dibukanya acara ramalan oleh seorang peramal terkenal di Mosca. Tentu saja hanya terkenal di kalangan orang-orang yang menganggap ramalan itu sebuah kebenaran. Tidak bagi Raquela.

"Baiklah. Kau pergi saja sendiri, ya? Aku tunggu di sini. Lagipula aku mau membeli pie buah itu." Raquela menunjuk ke arah pedagang yang menjajakan berbagai jenis kue, beberapa meter di sebelah barat mereka. Banyak rakyat yang juga mengerubungi tempat tersebut.

"Aku sudah lapar, Jay.." Raquela menyengir saat mengelus perutnya sendiri, membuat Jaycee memutar bola mata lantaran kesal.

"Oke. Tunggu aku di sini setelah kau membeli kuenya, ya. Awas kalau kau kabur!" Jaycee memperingatkan.

"Iyaaa.." Raquela mengangkat jempolnya. Ia tersenyum kala menatapi Jaycee yang berlari menjauh.

Masih berdiam di posisinya, Raquela sedang menunggu Jaycee tiba di tenda yang berada sepuluh meter di depan, ketika seseorang menubruk bahu Raquela cukup keras dari belakang.

Gadis itu meringis menatapi lengan kanannya sendiri. Saat tertabrak barusan, jahitan di lengan Raquela yang seminggu lalu terluka terasa sedikit berdenyut. Meski perbannya sudah dibuka, tapi Laura selalu memperingatkannya untuk berhati-hati dalam menggerakkan lengan selama beberapa hari ke depan.

"Ma-maaf, Nona!" Suara lemah itu mengalihkan fokus Raquela. Jantungnya berdegup kuat karena mengenali suara barusan.

"Bi-" Raquela tidak bisa menyelesaikan kalimat saat netranya bertemu pandang dengan iris biru sosok di sebelahnya. Sosok yang selama ini selalu ia khawatirkan. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana menemui orang tersebut. Raquela tidak punya kuasa untuk itu.

"Bi.. bi Ruth?" Suara Raquela melemah. Matanya membeliak. Bukan hanya karena terkejut mendapati sang bibi pengasuh berada di pasar seperti ini, padahal terakhir kali mereka bertemu di gedung tawanan saat penetapan status budak, tapi juga karena memar biru lebam yang ada di sekujur tangan hingga wajah perempuan paruh baya itu.

Apa yang sebenarnya terjadi?!

"Bibi di sini?" Meski kebingungan, Raquela tetap tak bisa menyembunyikan senyumnya yang teramat cerah. Ia memeluk Bibi Ruth yang sejak tadi hanya diam dan tak kalah terkejut juga.

"Akhirnya kita bisa ketemu, Bi!" Raquela menjauhkan tubuh kembali, menatap orang yang telah mengasuhnya dari kecil penuh kerinduan. "Bibi apa kabar? Bibi baik-baik saja, kan? Aku rindu sekali, lho, Biii."

"Nona, maaf.. bibi harus segera pergi." Suara lirih Bibi Ruth mengernyitkan kening Raquela. Terutama saat tangan kanan Bibi Ruth yang terasa kasar menyapa telapak tangannya. Menggenggam erat-erat.

"Tapi Bibi senang.. bibi senang Nona sehat-sehat saja." ujar Bibi Ruth, terbata di sela isakan yang mulai terdengar. Parahnya, Raquela semakin tidak mengerti dengan situasi ini.

"Bi-"

"KEMBALI KAU KEPARAT!" Suara dari arah belakang yang sangat keras menyentak Raquela, memotong ucapannya barusan yang ingin kembali menanyakan kondisi tubuh Bibi Ruth.

Raquela menoleh pada datangnya suara dan terhenyak saat dua lelaki berotot berlari cepat ke arahnya dan Bibi Ruth.

Sebelum Raquela sempat bertanya keheranannya pada dua orang berwajah sangar itu, Raquela lebih dulu dikejutkan oleh tamparan sangat keras yang mendarat di pipi Bibi Ruth. Pelakunya adalah salah satu dari dua orang tadi. Sementara pria satunya lagi, mencekal tangan Bibi Ruth agar tak bisa lari ke mana pun.

Raquela baru akan membuka mulut untuk berteriak, tapi ia kalah cepat dengan pukulan kuat di tengkuknya yang membuat ia terperosok jatuh di jalanan kerikil pasar. Sebelum Raquela sempat berdiri, orang-orang tadi sudah berhasil menyeret paksa Bibi Ruth lebih dulu.

*

"Raquela." Tepukan dibahunya membuat Raquela menjatuhkan panci kosong ke lantai. Suara nyaring pun mengundang perhatian semua penghuni Covey Dovey pagi ini. Hanya sejenak, karena saat Margot Lawrence memerintahkan semuanya untuk fokus bekerja kembali, dengan sigap mereka melanjutkan tugas masing-masing.

"Hey! Ada apa denganmu?"

Raquela menatap takut-takut sosok Margot di hadapannya. Senior Chef sekaligus kepala bagian Covey Dovey itu balik memandangi Raquela penuh heran.

Raquela membungkuk dalam. "Ma-maaf, Chef!" mohonnya. Cepat-cepat ia mengambil panci yang sudah teronggok di bawah pantry untuk diletakkan kembali di atas meja.

"Maaf..." lirih Raquela kembali. "sa-saya tidak sengaja. Saya hanya.. sedikit pusing."

"Kau sakit?" Margot bertanya lagi. Mimik wajahnya menunjukkan kekhawatiran khas seorang ibu. Membuat Raquela makin merasa bersalah pada Bibi Ruth yang dulu juga sering menunjukkan ekspresi serupa ketika mereka berdua tinggal bersama di Askor.

Raquela meremas coat putih yang ia kenakan hari ini. Dalam hati mengutuki kebodohannya yang tidak bisa menyelamatkan sang bibi dari orang-orang jahat kemarin.

Gadis itu menggeleng untuk menjawab pertanyaan Margot. Ia tidak mungkin memberitahu perihal keadaan Bibi Ruth yang sangat dirinya cemaskan, kan?

Helaan napas Margot terdengar.

"Maaf Raquel, sebenarnya aku ingin menyuruhmu istirahat. Tapi.." Margot menjeda. Menunduk sesaat dengan kedua jemari saling terkait, seakan ragu melanjutkan. Saat kepalanya terangkat lagi, ia mengucapkan sebaris kalimat yang membuat jantung Raquela nyaris berhenti dan seketika mendatangkan perhatian dari seluruh orang padanya lagi.

"tapi barusan Kepala Pelayan menemuiku. Dia bilang.. Raja Lucian dan Ratu Tamara ingin bertemu denganmu. Sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro