[24] Sunmont Island
"APA?"
"Ada apa, Raquela? Kenapa kau kaget begitu?"
Raquela mengerjap. Masih tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar, gadis itu mengerjap-mengerjap lagi. Lebih lambat. Bukan hanya mata, kemampuan otaknya pun kini susah diajak bekerja sama. Ia terlalu kaget mendengar penjelasan Delbert Atkinson, executive pastry chef—pemegang jabatan tertinggi di bakery, pastry, and dessert section Covey Dovey—yang beberapa menit lalu memanggilnya ke ruangan lelaki empat puluh tahunan itu.
Belum sempat Raquela mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengumpulkan suara yang hilang karena terkejut, Delbert sudah berteriak, menggantikan Raquela yang histeris sebelumnya.
Bukan karena alasan yang sama.
Tapi karena..
"Jessica-ku sampai terbangun mendengar seruanmu, Raquela." protes Delbert dengan bibir mencebik, memandangi ikan karper dalam botol kaca di atas meja kerjanya. Raquela baru menyadari, ikan berukuran sekitar lima inci—menjadi penyambut Raquela pertama kali saat memasuki ruangan—itu kini bergerak-gerak cepat di dalam air yang menempati botol. Padahal sebelumnya, hewan berwarna hitam dengan sirip panjang melambai dan ekor lebar itu bergerak lamban. Bahkan sempat hanya melayang, menandakan jelas bahwa seruan Raquela tadi sudah menghancurkan tidurnya si karper yang Dalbert beri nama Jessica.
Seolah marah, mata menonjol ikan jenis black moor seakan tengah menantang Raquela. Gadis itu tersentil hingga balas memelototi ikan hias kesayangan Dalbert tersebut. Ia tidak terima di salahkan. Jelas-jelas, majikan Jessica-lah yang menjadi penyebab Raquela hampir tersengat serangan jantung mendadak.
"Cup cup, sayaang.. ayo tidur lagi, tidur lagi. Chef Raquela memang suka usil."
Pupil Raquela bertambah lebar mendengar perkataan Dalbert saat lelaki itu berusah menghibur Jessica-nya.
Berdeham, Raquela mencoba duduk kembali setelah sebelumnya terlonjak kaget sampai spontan berdiri. Ditatapinya lagi sang EPC yang duduk di seberangnya, hanya dipisahkan sebuah meja kerja.
"Kenapa? Ada hal mengejutkan dari kata-kata saya barusan?"
Raquela menggeleng sebelum mengangguk, lalu bergeleng lagi.
"Setelah tadi berteriak, sekarang kau sedang senam leher?"
Terkesiap, Raquela menjerit dalam hati. Bisa-bisanya, kepala dia mengikuti suara hati yang kebingungan harus bagaimana menjawab pertanyaan Dalbert.
"Bu—bukan, Chef." jawabnya terbata. "Aku... maksudku.. anu.."
Raquela tak sadar, ucapan kacaunya justru semakin mengerutkan kening Dalbert.
"A—aku hanya terlampau senang.." Raquela sedikit menunduk, menatap jemari kedua tangannya yang kini sibuk meremas sisi-sisi ujung dari jaket chef berwarna hitam yang ia kenakan di hari Sabtu. "..bisa diberi kesempatan bekerja sekalian jalan-jalan ke pulau Sunmont, Chef." akunya.
Raquela menghela napas samar. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Ia begitu senang saat tahu dirinya dipilih menjadi perwakilan Covey Dovey dalam kegiatan tahunan milik seluruh angkatan bersenjata Sceybia, Camp Blaze, sebuah kegiatan latihan militer selama sebulan demi meningkatkan keahlian serta membangun kerjasama yang bersinergi antar tiap angkatan.
Dalam acara itu, seluruh pasukan angkatan akan berpartisipasi. Ada Les Titans yang memimpin darat, Les Vortex yang memegang kendali atas udara, serta Les Saint yang cakupan kuasanya meliputi seluruh wilayah perairan di Negeri Sceybia.
Bukankah itu hal baik? Akan ada banyak lelaki tampan yang ikut, dan siapa tahu Raquela bisa menemukan pangerannya yang selama ini tersembunyi di sana, kan? Di kehidupan lampau, ia terlalu sibuk mencintai Nacio hingga tak mau melirik sana-sini untuk menemukan tambatan hati yang pasti jauh lebih akan membuatnya bahagia.
Ya, itu hal baik. Jika saja pemimpin Les Titans dan Les Vortex bukanlah Calvino dan Nacio.
Susah payah Raquela menghindari Nacio, sekarang dia malah harus berada di lingkungan yang berdekatan dengan lelaki bermulut pedas itu?! Yang benar saja?!
"Ya, ya.. tentu saja." Suara Dalbert membuat Raquela terkesiap. Suaranya menyadarkan Raquela bahwa gadis itu rupanya masih belum beranjak dari ruangan ini. Terjebak bersama atasan yang tampaknya masih tidak percaya dengan jawaban Raquela.
"Jaycee dan Kit yang kuberitahu tadi, juga kesenangan sampai gigi-gigi mereka kelihatan saat tersenyum. Tapi, reaksimu lebih mirip mendengar berita duka. Atau seperti baru putus cinta. Apa kau memang baru saja diputuskan pacar?"
"Saya senang, kok, Chef." Raquela berusaha meyakinkan sekali lagi.
Tak butuh lebih dari lima detik, Dalbert menjawab setelah menggedikkan bahu. "Baiklah, Raquela." Ia menepuk tangan sekali. Menegapkan tubuhnya yang semula bersandar pada kursi kerja.
"Kuharap kau memang benar-benar senang dengan keputusanku memilihmu sebagai perwakilan covey dovey bersama Jaycee, Kit, dan, Serena." Dalbert berdeham sekali. "Karena bagaimana pun, aku ingin para chef, khususnya junior chef dan traine benar-benar mendapatkan pengalaman bagus dan menyenangkan dengan mengikuti Camp Blaze ini."
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku ingin kalian mulai terbiasa bekerja untuk memasok makanan buat para anggota di lokasi yang cukup ekstrim, ketimbang membuat makanan dan kue di dapur istana saja. Latihan ini membantu kalian handal menjalankan tugas di keadaan genting seperti perang, misalnya."
Raquela mengangguk-angguk paham.
Benar. Ketakutan akan Nacio hanyalah masalahnya sendiri yang harus ia hadapi. Harus ia selesaikan. Mungkin, Camp Blaze bisa membantunya membiasakan diri dengan kehadiran Nacio di hidup keduanya ini.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan, Raquela. Tenanglah. Kemampuan membuat kuemu sangat baik, aku sendiri mengakuinya. Jadi, lebih baik kau segera bersiap-siap. Karena kalian akan berangkat besok."
Cemas?
Raquela meremas sisi roknya semakin keras.
Sesungguhnya, ia bingung apa yang ia cemaskan secara berlebihan?
Ketakutan akan dibunuh sekali lagi oleh Nacio, atau ketakutan akan perasaannya sendiri yang sejujurnya.. selama beberapa kali ini ia berhadapan dengan lelaki itu, detak gemuruh itu masih menyala di tempat yang sama. Meski detak itu lemah, tidak sekuat ketika ia mengagumi Nacio dengan sangat di kehidupan pertama.
*
"Raa!"
Seruan seorang wanita yang sangat ia kenal, membuat Raquela mengalihkan fokusnya dari kapal penumpang besar di pinggir laut, berganti ke arah kanan dengan kening berkerut dalam. Itu suara Laura, bukan?
Pertanyaan yang sempat bersarang di benaknya terjawab cepat ketika gadis cantik yang rambutnya dikepang satu hari ini—hingga kecantikan alaminya benar-benar memancar ke berbagai penjuru, bisa dilihat dari beberapa orang yang memandang ke arahnya ketika ia lewat—tersebut sudah berdiri setengah meter di hadapannya.
"Kau ikut juga ke Pulau Sunmont?"
"Kau juga?"
Laura mengangguk, menjawab pertanyaan balik yang Raquela ajukan dengan wajah kejutnya.
"Perusahaanku mengirim lima orang petugas medis dan obat-obatan, termasuk aku. Ah, kami juga membantu para dokter dari Genesis." Laura menyebut nama rumah sakit yang bernaung di bawah Kerajaan Sceybia. Rumah sakit yang menjadi pusat utama dari seluruh rumah sakit di negeri ini.
Menanggapi Laura yang kini sibuk berceloteh mengenai keberuntungan dirinya bisa bertemu Raquela lagi sejak mereka mulai bekerja di tempat masing-masing, Raquela hanya menyunggingkan senyum tipis.
Ketakutan akan Laura memang tetap ada, tapi Raquela selalu berharap gadis itu mulai berubah. Karena di kehidupan sekarang, Raquela berjanji mematikan perasaannya untuk Nacio.
"Kudengar dari Nacio,"
Detak itu timbul mendadak lagi, membuat Raquela menggigit bibir. Tangannya mengepal di sisi tubuh, memerintahkan tubuhnya sendiri untuk tidak terlalu kaget saat Laura menyebut nama lelaki yang baru saja Raquela pikirkan.
"jika latihan ia dan para pasukannya berjalan lancar sesuai jadwal, akan ada waktu berlibur dua hari untuk para pekerja seperti kita. Aku sangat berharap kita bisa jalan-jalan bersama di sana nanti." Laura bertepuk girang dua kali, tersenyum memandangi Raquela yang balas melakukan hal sama.
"Rasanya tidak sabar sekali, Raa.."
Raquela mengangguk setuju. "Aku juga."
"Kau berangkat dengan apa?"
"Kapal." jawab Raquela. Satu alisnya terangkat. "Bukankah kita akan berangkat bersam—"
"Laura.."
Belum genap pertanyaan Raquela, suara yang kembali melahirkan denyut di jantungnya itu muncul.
Raquela menoleh ke sumber suara. Bibirnya terbuka kecil, terperangah mendapati Nacio yang sedang berjalan menujunya—tidak, menuju Laura.
Raquela hampir cegukan saat pandangan Nacio sempat jatuh padanya. Hanya sekilas, karena setelah itu Nacio segera mengalihkan tatapan pada gadis di sebelahnya.
"Ayo, kita harus berangkat sekarang." ujar Nacio, menatap Laura. Ada satu yang mencubit hati Raquela begitu melihat tatapan itu.
Tatapan kasih. Persis seperti dulu.
Raquela mengerjap begitu menyadari perih itu masih ada.
Sial, umpatnya dalam hati.
Memalingkan wajah, Raquel berjuang melawan respon tubuh yang ingin melesakkan cairan di mata. Ia tidak boleh menyerah pada prinsip untuk melupakan Nacio.
"Nacio, bolehkah aku pergi bersama rombongan Raquela saja?"
Pertanyaan Laura membuat Raquela menoleh pada sahabatnya itu lagi. Laura sedang mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memohon pada Nacio yang mengernyitkan dahi.
"Bukankah kau bilang mau merasakan naik pesawat tempur?" Nacio bertanya, serta merta menurunkan bahu Laura. Gadis beriris mata abu-abu itu menghela napas. "Benar juga, sih." ungkapnya jujur.
"Ayo naik sekarang, Raa!" Tak hanya Laura dan Nacio yang menoleh ke belakang, tapi Raquela yang semula terkesiap pun mengalihkan fokus netranya pada Calvino yang mendadak bergabung. Lelaki itu tidak menyadari kehadiran Nacio dan Laura, malah sibuk mengulurkan tangan memberi suatu isyarat pada Raquel.
"Kapalnya akan berangkat setengah jam lagi. Kemarikan tasmu, biar aku saja yang bawa."
Takut pada tatapan Nacio yang langsung mengerutkan dahi mendengar tawaran Calvino, Raquela sontak mendekap tas miliknnya sendiri di depan dada sembari menggeleng.
"Ti—tidak perlu, Pangeran. Saya bisa membawanya sendiri." ujar Raqula. Dan seakan sengaja bersikap enggan mengacuhkan Calvino dan Raquela, Nacio tiba-tiba saja bicara. Hanya pada Laura.
"Laura.. kita harus cepat. Hector sudah menunggu kita di lapangan landas."
Meski Laura mendesah lesu, pada akhirnya ia tetap mengangguk lalu melambaikan kedua tangan pada Raquel sambil tersenyum lebar.
"Kita bertemu di Pulau Sunmont saja, ya. Sampai jumpa di sana, Raa."
Menatap punggung Nacio dan Laura yang kemudian menjauh, Raquela menghela napas. Tidak bisa membayangkan akan bagaimana dirinya berada dekat-dekat dengan mereka selama sebulan?
Melihat kedekatan yang sepertinya mulai terjalin erat di antara Nacio dan Laura barusan, Raquela tahu satu hal.
Takdir mendukungnya untuk membuat mereka bersatu.
Ya.
Raquela hanya perlu membiasakan diri untuk benar-benar tidak menempatkan nama Nacio Alvaro Baldwin di satu sudut dalam hatinya lagi.
NOTE :
1. Angkatan Bersenjata Sceybia => Sceybia Les Forcen
- Angkatan Darat : Les Titans
Jenderal : Calvino
- Angkatan Udara : Les Vortex
Marsekal => Nacio
- Angkatan Laut : Les Saint
Laksamana Madya : Albie Edwards (Teman Nacio)
2. Markas Besar : Bataillon des Flammes
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro