[23] Terima Kasih
"KAU MAU DIPENGGAL, YA?!"
Raquela tersentak berkat badai topan yang keluar dari mulut Nagia. Gadis yang berdiri di hadapannya itu berkacak pinggang, menatapi Raquela nyalang. Iris hijaunya seolah mengobarkan nyala api yang siap menghanguskan Raquela jika sekali lagi saja ia berbicara.
Menghela napas, Raquela bermaksud mengulang kembali perkataannya tadi, tapi bibirnya mengatup kembali ketika suara Ratu Tamara yang masih duduk di kursi paviliun—tidak jauh dari mereka yang berdiri di depan meja kecil yang sudah diletakkan tiga botol isi berbeda di atasnya, di mana Raquela segera mengambil botol-botol itu dari covey dovey sesegera Nagia menyetujui usulnya—terdengar.
"Nagia.." Suara lembut Tamara mengingatkan sang putri bungsu. "jangan bicara seperti itu, Sayang."
Menanggapi ibunya, Nagia hanya menghela napas panjang sebentar, sebelum menyembur Raquela lagi dengan pertanyaan. "Kau tidak punya cara lain selain tiga barang ini?" Ia menunjuk botol-botol di atas meja.
Belum juga Raquela menjawab, lagi-lagi bibirnya yang sudah membuka mengatup kesekian kalinya akibat Nagia menyambung omelan dengan penuh dramatis.
"Bagai—" Nagia memegangi kening, rautnya menunjukkan seolah 'tidak habis pikir'. Satu tangannya mengangkat rambutnya sendiri untuk ditunjukkan pada Raquela.
"bagaimana bisa.." Nagia menjeda, mencoba bersabar. "rambutku yang setiap harinya dirawat dan diberi vitamin lidah buaya dan stroberi berkualitas iniii, kau suruh baluri selai kacang, cuka, dan minyak goreng, huh?!"
Gadis itu menggedikkan bahu ingin menghindari ketiga barang di atas meja. "Iuuh, minyak goreng pasti bau! Rambutku juga bisa rusak terkena air cuka! Apalagi selai kacang! Memangnya rambutku adonan?!" Keluhnya jijik.
Gantian Raquela yang kini menghela napas, meski samar. Ia tidak ingin Nagia benar-benar merealisasikan perintah untuk memenggalnya.
"Maaf, Yang Mulia Putri. Tapi, saya hanya tahu tiga cara ini. Kalau Tuan Putri takut saya gagal melakukannya, jangan khawatir. Karena saya pernah melakukannya beberapa kali dulu dan berhasil."
"Untuk rambutmu?"
"Bukan. Untuk surai kuda milik tetangga saya."
Tidak menyadari pupil Nagia yang dua kali lipat melebar, Raquela terus melanjutkan penjelasan dengan penuh kebanggaan.
"Surai kuda itu ditempeli permen karet oleh anak-anak jahil di desa kami, jadi saat itu saya membantu un—"
"KENAPA KAU SAMAKAN RAMBUTKU DENGAN RAMBUT KUDA, HAH?"
Raquela terkesiap dan spontan memejam. Ah, suara Nagia ketika marah benar-benar mengalahkan gelegar petir.
"Ma—maaf.." Sambil menunduk, Raquela memainkan jari-jarinya yang mulai punya kesibukkan memilin seragam putihnya sendiri. "ba—bagaimana pun tekstur rambut manusia dan surai kuda hampir mirip, Tuan Put—"
"Berhenti bicara!" tukas Nagia memotong. "Lama-lama kau bicara, aku bukan cuma stress karena permen karet ini, tapi kepalaku juga panas karena ulahmu!"
Serta merta Raquela mengangkat wajah. Menawarkan ide yang dianggapnya bisa mencairkan sikap dingin sang putri. "Kalau begitu, bagaimana jika saya buatkan ice cream untuk mendinginkan kepala Tuan Putri?"
"Kau pikir aku bisa makan di saat seperti ini?"
"Ah, tidak mau ya." Raquela menghela napas kecewa.
Hentakan kaki Nagia yang kekanakan kemudian, membuat Raquela segera membentuk gerakan mengunci bibir dengan cepat. Kemudian ia menunduk. Meski kesal pada Nagia, tapi Raquela harus sabar. Apalagi di sini ada Ratu Tamara. Kalau tidak, sudah dari tadi Raquela... kabur.
Raquela malas terlibat dengan Nagia. Meski kasihan karena gadis itu diusili oleh keponakannya, tapi ia tidak bisa mengambil resiko mendengar rentetan kata menghina dari gadis itu lagi—seperti biasanya. Tapi, karena ada ratu, Raquela merasa lebih-lebih tidak bisa membiarkan masalah ini begitu saja. Bagaimana pun, dirinya menghormati Ratu Tamara yang baik hati.
"Nagia.. ikuti saja cara yang disarankan Raquela. Ibu yakin, itu tidak akan membahayakan dan merusak rambutmu. Kalau pun bau, pasti hanya sebentar saja efeknya. Ikuti saja, ya, Nak." pinta Tamara setelah lelah melihat drama antara anaknya dan Raquela.
"Benar, Grandma. Meski cara yang paling ampuh tetap saja caraku, potong rambutnya maka semua masalah akan selesai sampai ke akar." Sahutan Elisa dengan tampang polos membuat mata Raquela dan Nagia memandang frustrasi padanya.
Jika sebelumnya, Elisa sibuk menikmati cookies, maka kali ini, bocah perempuan itu lebih tertarik memerhatikan interaksi dan percakapan antara Raquela dan Nagia sambil melipat kedua tangan di depan dada bak orang tua. Kedua gadis itu tidak tahu, bahwa sejak tadi Elisa terus bergeleng-geleng heran. Mengapa perempuan-perempuan tua itu lebih memilih berdebat daripada mengikuti caranya yang praktis?
Lain Elisa, lain lagi Aaron. Kembaran Elisa yang menjadi biang masalah dari kasus permen karet itu sudah hilang entah ke mana. Terakhir dia sibuk mengitari paviliun dengan bermain aksi bela diri sendirian. Berseru seolah-olah dirinya adalah pahlawan penyelamat kota. Padahal ia lari dari tanggung jawab.
"Lihat saja setelah ini, aku akan menceburkanmu di air mancur depan istana.." Raquela menoleh pada Nagia yang baru saja berdesis kesal sambil menatap sebal Elisa. Tanpa sadar, Raquela mengangguk-angguk. Baru kali ini ia satu suara dengan si sombong Nagia.
Hening.
Tampaknya Nagia sibuk berpikir. Hingga tiba-tiba, ia berseru pasrah.
"Baiklah! Aku mau minyak goreng saja! Lakukan dengan cepat!" perintahnya yang disambut dengan anggukan mantap Raquela. Lebih cepat lebih baik. Raquela khawatir, telinganya akan perlu pengobatan ke rumah sakit bila mendengar amukan Nagia sekali lagi.
*
"A—AA—AAKH! Hey! Tidak bisa lebih keras lagi kau tarik rambutku?!"
"Oh, Yang Mulia Putri mau ditarik lebih keras?"
"Aku sedang menyindirmu, bodoh! Awas, ya, kalau—aakh!"
Teriakan adik semata wayangnya menjadi sambutan menakjubkan yang cukup memekakan pendengaran Nacio begitu ia tiba di paviliun barat, bagian istana yang menjadi lokasi kesukaan ibunya dalam menikmati teh bersama kudapan.
Yang lebih mengangetkan, Nagia membiarkan rambutnya dipegang oleh seorang pelayan—selama ini tidak satu pun orang yang diperbolehkannya menyentuh rambut hitam yang senantiasa ia rawat, kecuali ibu mereka. Nacio saja bisa langsung mendapat omelan sepanjang hari bila tidak sengaja melakukan itu. Nagia sangat mencintai rambutnya.
"Pelan-pelan, pelayan! Kau sengaja menjambakku, hah?" teriakan Nagia terdengar lagi ketika Nacio sudah duduk tepat di sebelah Elisa yang langsung kegirangan menyadari kehadirannya.
Sebenarnya, suara girang Elisa cukup terdengar dalam suasana hening. Tapi sepertinya Nagia dan Raquela terlalu khidmat dalam upaya penyelamatan rambut Nagia dari permen karet—hal yang baru Nacio sadari begitu duduk dan bisa melihat jelas bahwa Raquela sedang membantu adiknya melepaskan permen karet yang menempeli rambut hitam lebat Nagia.
"Maaf, Yang Mulia Putri. Tangan saya hanya terlalu licin." Raquela beralasan atas tindakannya tadi yang menarik lebih keras rambut Nagia. Kedua tangan pelayan itu sudah penuh dengan baluran minyak yang ia oleskan di sekitar rambut Nagia yang terkena permen karet.
"Sedikit lagi.. sedikit lagi.. tolong menunduk sedikit lagi, Tuan Putri.."
"Ayo menun—duk lagi!" Karena Nagia tidak mengindahkan permintaan Raquela, Raquela tak punya pilihan selain menarik kencang permen karet yang sudah hampir lepas dari rambut, hingga menyebabkan rambut Nagia seolah dijambaki.
"Hilang kau permen! Hilang!"
Nacio mengerutkan kening melihat sikap Raquela yang di matanya selalu terlihat 'unik'. Bagai seorang dukun, pelayan itu seolah sedang memberi mantra sambil meniup-niup rambut Nagia yang kepalanya semakin menunduk dalam.
"Benar-benar kau, ya, pelayan! Aku kesakitan!" protes Nagia.
"Tolong bersabar. Ini ujian, Tuan Putri."
Perdebatan itu terus terjadi hingga sepuluh menit kemudian. Sambil menikmati cookies pemberian Elisa, Nacio cukup santai menikmati drama di sore ini. Kapan lagi melihat Nagia yang selalu mengedepankan keanggunan dalam bersikap, menjadi sangat sefrontal itu bersama Raquela yang memang sudah Nacio kenali sebagai gadis aneh nan barbar?
"Berhasil.. berhasil, Tuan Putri!" seruan tiba-tiba Raquela mengalihkan pandangan Nacio dari teh yang baru diteguknya kepada gadis itu.
"Benarkah?!" Nagia bertanya tak percaya, berusaha mengangkat kepala untuk melihat.
"Iya!" Raquela membuang permen karet di tangannya ke mangkuk kecil di atas nampan yang sebelumnya memang sudah ia siapkan.
Bersorak kegirangan, kedua orang itu saling menatap penuh haru selama beberapa detik, menghela napas lega bersama, hingga berakhir saling memeluk dan berloncat-loncat girang seperti dua bocah yang senang karena berhasil mendapatkan undian.
"Syukurlah! Permen karetnya sudah lepas, Tuan Putri!" Raquela bertepuk tangan.
"Kau benar! Leganyaaa! Berkatmu, aku tidak jadi menggunting rambutku." Nagia berseru tidak kalah bahagia.
Kedua gadis itu terus saling berputar-putar sambil cekikikan kekanakan, membuat Ratu Tamara tertawa sampai memegangi perut.
Pemandangan ibunya tertawa selebar itu membuat Nacio diam-diam mensyukuri kehadiran Raquela di istana ini. Nacio harus mengakui bahwa berkat Raquela, ibunya bisa merasakan kebahagiaan seperti sekarang.
Sudah lama.. perempuan yang telah melahirkannya itu tidak tertawa selepas dan setulus apa yang Nacio lihat sekarang.
Bukan karena badut atau pelawak terkenal di negeri ini, tapi hanya karena tingkah Raquela yang lebih cocok disebut unik atau 'bodoh'. Sikap pelayan itu bisa membuat ibunya tertawa sampai terpingkal-pingkal. Tentu saja, Nagia juga ikut andil kali ini.
Sejak dulu, hanya kebahagiaan untuk ibu dan adiknya yang menjadi kekuatan dan harapan bagi Nacio.
"Tidak, Tuan Putri. Itu sudah tugas saya." Suara Raquela mengalihkan perhatian Nacio padanya lagi.
"Tidak, tidak." Nagia mengibaskan tangan, seolah lupa bahwa beberapa menit lalu dirinya sudah seperti kucing dan anjing bersama Raquela. Nagia memeluk Raquela lebih erat.
"Kau telah menyelamatkan hidupku! Terima kas—"
Tersadar salah, Nagia spontan menarik tubuhnya dari Raquela yang langsung tersentak kaget karena didorong begitu saja menjauhi Nagia. Nagia mengacung-acungkan telunjuknya menunjuk Raquela dengan mata menyipit tidak suka. Raquela mengernyit bingung.
"Hey! Kenapa kau memelukku, Pelayan?!" bentak Nagia.
"Tuan Putri yang lebih dulu memeluk saya." Raquela menjawab tidak terima.
"Kau menuduhku?!"
"Tidak.." Mungkin bingung menjawab kelanjutannya, Raquela menunduk. "maaf, Yang Mulia Putri."
Nagia menghela napas panjang. Menatap Raquela penuh peringatan. "Pokoknya, ya! Jangan pikir hanya karena ini aku mau bersikap baik padamu. Jangan terlalu percaya diri!"
Raquela mengangguk. Dalam hati berusaha meredam amarah. Kalau tidak ingat Nagia adalah putri raja, sudah dari tadi Raquela membaluri seluruh wajahnya dengan selai kacang biar mirip adonat donat. Ugh.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Tuan Putri." Raquela menunduk sedikit pada Nagia, sebelum melakukan hal yang sama pada Ratu Tamara yang menanggapinya dengan senyuman. "Yang Mulia Ratu."
Saat itulah, gadis itu terhenyak mendapati Nacio di kursi samping Elisa. Duduk sembari memangku tangan di depan dada.
Tanpa sadar Raquela menggigit bibir. Cemas. Kegiatannya selama ini adalah menghindari Nacio sebisa mungkin. Tapi sekarang malah dipertemukan dalam kondisi yang cukup memalukan lagi.
Menekan rasa takut dalam-dalam, Raquela berusaha membangkitkan keberanian untuk terus berjalan menuju pintu masuk paviliun barat bagian dalam. Langkah cepatnya membuat Nacio mengerutkan kening. Kembali heran, mengapa gadis itu seperti dikejar setan?
Lelaki itu hanya tak sadar, Raquela memang menganggap Nacio jelmaan makhluk halus.
Demi Tuhan, ketimbang bertemu Nacio, Raquela lebih suka dibuat frustrasi oleh Nagia.
Saking takutnya, Raquela sampai lupa pada tiga benda bawaannya yang masih ada di atas meja. Saat Nagia berseru mengingatkan Raquela untuk membawa botol-botol tadi, dalam gerak cepat Raquela berbalik, meletakkan botol di atas nampan kembali, lalu membawa nampan itu menuju pintu paviliun. Mengabaikan kewajibannya untuk berpamitan pada sang Pangeran Sceybia.
Sebelum kakinya melewati pintu paviliun, ucapan Nagia tiba-tiba membuat Raquela berhenti melangkah dan mematung.
"Terima kasih..." suara Nagia terdengar tulus. Meski tetap saja, kebaikan gadis itu bersifat sesaat. Tidak sepenuhnya menghilangkan sikapnya yang sangat menyebalkan dan membuat Raquela ingin sekali menghajarnya sampai pingsan.
"Terima kasih, Pelayan." sambung Nagia, cukup bernada ikhlas walau terdengar mengesalkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro